3 MARVIN

Nadine memasuki ruang kampusnya dengan tergesa karena waktu sudah terlambat sepuluh menit.

Denganmemakai kaca mata hitam, Nadine menutupi matanya yang agak memerah dan sedikit bengkak akibat tangisannya semalam. Dengan kepala yang sedikit pusing Nadine mencari kursi yang kosong.

Hampir seluruh kursi sudah terpenuhi, mata Nadine melihat ada kursi kosong di ujung belakang dekat cendela.

Tergesa Nadine melangkah menuju kursi kosong itu dan langsung menghempaskan tubuhnya untuk duduk tanpa melihat kanan kirinya.

Nadine mengeluarkan buku catatan kecilnya dari dalam tasnya. Namun bulpointnya tidak di temukannya. Di carinya lagi bulpoinnya berulang kali dalam tasnya, namun tak di temukan juga.

Nadine menghela nafas kesal.

"Perasaan aku sudah masukin dalam tas deh." dalam hati Nadine sambil mencoba mengingat di mana bulpoinnya.

Nadine sedikit gelisah karena tidak ada yang bisa di tulisnya kecuali mendengarkan Pak Anwar dosennya berbicara.

"Apakah ini yang kamu cari?" ucap seorang yang duduk di samping Nandine dengan memegang bulpoin yang di carinya.

"Loh..kok bisa di kamu?" tanya Nadine dengan wajah herannya.

"Aku melihatnya di bawah..tadi pas kamu ngeluarin buku catatanmu, bulpoinmu terjatuh." jelas seseorang itu, seorang pria yang sangat tampan ,dengan tubuh yang jangkung dan rambutnya yang sangat tertata rapi seperti anak kebanyakan anak orang kaya lainnya.

Nadine menerima bulpoin tersebut tanpa bertanya lagi, selain hanya mengucapkan terimakasih.

"Kenalkan namaku Marvin." Marvin pria itu mengulurkan tangannya pada Nadine.

Dengan terpaksa Nadine menerima perkenalan Marvin.

"Nadine." balas Nadine dengan singkat.

"Hemmm..nama yang manis..aku pikir aku tidak akan bisa mengenalmu..tapi sekarang aku sudah bisa mengenalmu berkat bulpoinmu yang jatuh." kata Marvin dengan tersenyum.

Nadine menoleh dan melirik Marvin, alis nadine terangkat naik.

"Maksudmu?" tanya Nadine tak paham.

"Maksudku aku sudah lama memperhatikanmu, ingin berkenalan denganmu, tapi sepertinya kamu lebih asyik dengan kesendirianmu." Marvin melepaskan terus senyumannya.

"Ohh." Nadine menjawab singkat dan kembali memperhatikan Pak Anwar yang berbicara.

Marvin melirik Nadine yang sudah tidak memperhatikannya.

"Sungguh wanita yang berhati dingin, apakah ketampanan dan senyumanku tidak cukup untuk membuatmu memperhatikanku?" batin Marvin masih fokus menatap Nadine.

"Tuan Marvin?" panggil Pak Anwar pria setengah tua yang usianya sudah setengah abad itu, menyadarkan keterpukauan Marvin pada Nadine.

"Apakah kecantikan Nona Nadine lebih penting di banding materi saya?" lanjut dosen Pak Anwar.

"GEEEERRRRR"

Semua yang di dalam ruangan tertawa, tersenyum, bahkan ada yang usil mensuiti Marvin.

Marvin tersenyum dengan manisnya, di lihatnya wajah Nadine yang bersemu merah menahan malu dengan apa yang telah di lakukan Marvin.

"Sebagai hukuman karena mengindahkan materi saya..saya minta Tuan Marvin untuk bisa menyelesaikan wawancara dengan pengusaha termuda yang sekarang lagi menjadi topik trending di kota kita, dan tentu saja Tuan Marvin dalam menyelesaikannya akan di bantu Nona Nadine." kata Pak Anwar lagi.

Nadine terperangah karena dia terkena imbas dari hukuman Marvin.

Nadine menatap Marvin dengan kesal.

"YESSSS." teriak Marvin bersorai dalam hati.

"Berapa hari waktu yang di berikan pada saya Pak?" tanya Marvin.

"Dalam dua minggu, saya berharap hasil wawancara anda sudah ada di meja saya." jawab Pak Anwar menatap Marvin dan Nadine secara bergantian.

"Oke untuk kali ini materi saya sampai di sini dulu..jika ada yang kurang jelas dengan tugas yang saya berikan, bisa menemui saya di ruangan biasanya." Pak Anwar menatap mahasiswa dan mahasiswi nya.

Di anggap semua yang di dalam ruang sudah paham, Pak Anwar melenggang keluar dari ruangan.

Marvin menggeser kursinya mendekat disamping Nadine.

Nadine yang bersiap akan bangkit dari duduknya, menghentikan gerakannya dan menatap Marvin.

"Ada apa?" tatap Nadine tajam.

"Bukannya kita harus membahas materi yang akan kita kerjakan berdua?" tanya Marvin.

"Maaf hari ini aku harus pulang cepat, aku akan segera memberitahu kapan bisanya kita membahas ini." jawab Nadine agak tergesa.

Marvin manggut manggut, mendengar alasan Nadine.

"Oke..besok pagi aku akan menjemputmu, dan kamu tidak bisa menolaknya, karena jika kamu menolak maka aku akan bicara sama Pak Anwar." ancam Marvin dengan bibir terangkat menahan senyum.

"Apa katamu saja." kata Nadine dan segera berlalu dari hadapan Marvin.

Marvin tersenyum, memandang punggung Nadine yang sudah menghilang dari balik pintu.

"Aku akan sabar menunggu sampai hatimu yang dingin..bisa mencair hanya untukku." itu janji seorang Marvin.

avataravatar
Next chapter