15 HATIKU YANG LEMAH

Dengan sedikit sempoyongan Ardham berjalan masuk ke dalam rumah, rasa pusing dan mual, serta matanya yang sedikit perih membuat Ardham susah berjalan.

Dengan tangan yang seakan menggapai sesuatu, Ardham tersaruk-saruk menaiki tangga selangkah demi selangkah, sambil menekan sedikit perutnya yang terasa mual ingin muntah.

Ardham terus melangkah tanpa tahu lagi arah, kakinya melangkah menuruti kata hatinya, hingga menuntunnya melangkah ke kamar Nadine.

Langkah Ardham berhenti tepat di pintu kamar Nadine, wanita yang sangat di cintainya, wanita yang mampu membuat hatinya hancur tak tersisa.

Dengan menempelkan keningnya di pintu, serta tubuhnya yang tidak mempunyai tenaga lagi untuk berdiri, Ardham memanggil lirih nama Nadine.

"Nadine, peri kecilku." tangan Ardham membelai pintu Nadine. Matanya memerah dan berair.

Pintu Nadine terbuka, tampak Nadine berdiri terpaku dengan wajah penuh kesedihan dan kecemasan.

"Nadine." panggil Ardham lirih dengan tubuh yang langsung limbung. Nadine dengan cepat menangkap tubuh Ardham yang hampir terjatuh.

Dengan tenaga penuh, Nadine memapah tubuh Ardham masuk ke dalam kamarnya, dan membaringkannya ke ranjang.

Nadine berdiri terpaku di samping ranjang. Hatinya gelisah, sungguh tak bisa di pungkiri dengan adanya Ardham di kamarnya , rasa rindu di hatinya telah terobati, tapi saat mengingat Ardham telah beristri, dan diapun sudah memberikan janjinya pada Marvin. Nadine ragu untuk mendekati Ardham, apalagi Ardham dalam keadaan mabuk sekarang.

Nadine menatap wajah Ardham yang terlihat lelah dan pucat.

Dengan pelan Nadine menaikkan kaki Ardham yang menggantung ke atas ranjang. Di lepasnya sepatu dan kaos kaki Ardham, telapak kaki Ardham terasa hangat. "Mungkinkah paman Ardham demam?" batin Nadine. Nadine ragu untuk memegang kening Ardham, ingatannya kembali saat Ardham menolak saat dia memeluknya, bahkan kata-kata Ardham yang menyakitkan masih teringat jelas di pikiran Nadine.

Nadine menggigit bibir bawahnya, dia tidak tahu lagi harus bagaimana.

"Baiknya aku memberitahu Bi An, kalau paman mabuk dan sekarang berada di kamarku. Aku tidak mau Bi An salah paham nantinya."

Dengan cepat nadine mengambil ponselnya di atas meja, dan menekan panggilan ke Anna.

"Bi An."

"Ya Nad, ada apa?"

"Paman Ardham baru pulang dalam keadaan mabuk, dan..."

Agak ragu Nadine untuk melanjutkan ucapannya.

"Dan kenapa Nadine?"

"Paman Ardham sepertinya sudah sangat mabuk, hingga paman salah kamar. Tadi paman berdiri di depan kamar nadine kemudian pingsan, sekarang paman di kamar nadine, masih belum sadar. Apa Bi An bisa ke sini? biar Nadine nanti tidur di kamar tamu."

"Bi An tidak bisa Nad, kan Bi An lagi di kota sekarang? pulang baru besok malam sayang."

"Lalu...Nadine harus melakukan apa Bi An?"

"Jaga dan rawat pamanmu Nadine, beri air minum yang banyak saat dia terbangun. Kabari Bi An jika ada apa-apa ya?"

"Ya Bi An."

Nadine mematikan ponselnya, dan melihat pamannya yang masih dalam keadaan pingsan.

Nadine menghampiri Ardham yang masih terbaring. hatinya bergejolak antara perasaan cintanya dan rasa bencinya.

Berlahan di sentuhnya telapak kaki Ardham, memastikan masih hangat atau tidak. 

"Masih Panas."

Nadine duduk di tepi ranjang di samping Ardham. Di sentuhnya kening Ardham dengan gemetar, semoga pamannya tidak marah jika tahu dia telah menyentuhnya.

"Panas sekali." hati Nadine menjadi cemas. "Apa yang harus aku lakukannya sekarang?"

"Nadine." suara lemas Ardham memanggil Nadine, membuat Nadine kaget dan langsung berdiri dari duduknya.

"Nadine..Nadine." panggil Ardham berulang-ulang nampaknya Ardham demam tinggi hingga mengigau.

Nadine tetap bergeming dari tempatnya. kedua tangannya berkeringat, hatinya terasa sesak saat Ardham memanggil namanya berkali-kali.

Nadine ingin mendekat, ingin memeluk, ingin mendekap, ingin menangis di dada Ardham, tapi Nadine menjadi takut dan merasa trauma jika mengingat penolakan dan hinaan Ardham terhadapnya saat dia memeluk Ardham.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang paman?" tanya Nadine masih berdiri dengan airmata berlinang.

Airmatanya semakin mengalir saat Ardham terbangun dengan susah payah berdiri dan berjalan sempoyongan ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi yang ada dalam perutnya.

Tubuh Ardham semakin terasa lemas, dengan badannya yang terasa panas, kepalanya mulai berputar dan matanya mulai berkunang-kunang ,tangan Ardham mencoba menggapai pegangan pintu kamar mandi, namun tubuhnya sudah tak kuat lagi. Dan...

"Bruuukk"

"Paman!" Nadine menangkap cepat tubuh pamannya yang hampir jatuh untuk kedua kalinya.

Nadine menangis terisak, sungguh tak sanggup lagi menahan hatinya yang sangat pedih melihat keadaan Ardham yang kini tersiksa.

Di peluknya erat tubuh Ardham yang pingsan tak bergerak.

"Paman." ratap Nadine sambil menangkup wajah Ardham yang sangat panas .

"Paman, sadarlah paman ..jangan membuat Nadine takut. Nadine mohon." isak Nadine memeluk erat tubuh Ardham.

Dengan sekuat tenaga dan susah payah Nadine mengangkat tubuh Ardham ke atas ranjang.

Nadine mengambil nafas panjang, setelah berhasil mengangkat tubuh Ardham dan membaringkannya di atas ranjang.

Nadine bergegas turun dari ranjang dengan keringat bercucuran di wajahnya. Nadine melangkah ke kamar mandi, membersihkan dan menyiram muntahan pamannya yang berserakan di kamar mandi.

Setelah membersihkannya Nadine membasuh mukanya yang terasa lengket oleh keringat. Sambil membawa gayung yang berisi air, Nadine mengambil handuk kecil di alamarinya.

Dengan hati-hati Nadine mengompres kening dan leher Ardham dengan handuk yang sudah di perasnya secara berulang-ulang sampai demam Ardham mulai turun.

Berlahan Ardham membuka matanya, mulai tersadar dari pingsannya. Dengan cepat Nadine menarik tangannya kembali sebelum Ardham melihatnya. Ardham menatap ke sekeliling kamar, ternyata dia berada di kamar Nadine.

Di lihatnya Nadine duduk di sampingnya sambil memegang handuk basah. Ardham berusaha duduk sambil memegang kepalanya yang sedikit pusing. Namun tangan Nadine menahannya.

"Paman berbaring aja dulu, jangan banyak bergerak. Demam paman masih belum turun." ucap Nadine kemudian beralih duduknya dari ranjang ke kursi. Nadine menjaga jaraknya setelah Ardham sadar.

"Apakah kamu membenci paman Nad?" tanya Ardham. Nadine menggeleng lemah.

"Tatap mata paman Nad, apakah kamu membenci paman? karena paman telah tega melukai hatimu." ulang Ardham.

"Jawablah Nad?"

Tangis Nadine pecah, menangis dengan pilu.

"Di sini, di hati Nadine...sangat sakit paman, saat paman dua kali telah menolak Nadine, dan mengatai Nadine sebagai wanita yang tidak baik. Hati Nadine sangat sedih dan terluka." Ucap Nadine di sela-sela tangisnya.

"Maafkan paman Nad, kemarilah...peluk paman." ucap Ardham merentangkan kedua tangannya, dengan tatapan mata yang begitu lembut.

Nadine bangkit dari duduknya, menubruk dada bidang Ardham yang selama ini di rindukannya.

"Paman,...hiks,...hiks ..." Nadine menangis terisak di dekapan Ardham.

Kasih sayang pamannya telah kembali untuknya.

Ardham membelai rambut Nadine dengan penuh kasih, di ciumnya pucuk kepala Nadine dengan sejuta cinta di hatinya yang masih tertata rapi di hatinya.

"Jangan menangis lagi sayang, maafkan paman yang telah melukai hatimu. Paman berjanji tidak akan pernah melukai hatimu lagi, paman janji." lirih suara Ardham sambil mengusap airmata Nadine, dan mendekapnya kembali dalam rengkuhannya.

Bagaikan bunga yang kering tersiram air, hati Nadine merasa tenang di dalam dekapan pamannya.

"Hatiku ternyata sangat lemah paman, terlalu lemah untuk bisa membencimu." bisik hati Nadine.

avataravatar
Next chapter