14 Bermain Kerumah Tetangga

"Nanti main kerumah gue ya Fin."Ajak Jihan saat dirinya baru saja menurunkan Fiana didepan rumahnya.

"Malu... gk mau."Tolak Fiana sembari membenarkan letak tali ranselnya. Sesekali ia menatap kearah pintu rumahnya yang masih terkunci rapat.

"Gak papa anjir, udahlah, kan kita tetangga, masa gak kenal satu sama lain, cepet ganti pakaian, gue tunggu."Paksa Jihan tanpa gugat yang dibalas dengusan kesal oleh Fiana.

"Yaudah, masuk dulu kerumah, ya kali lu mau kepanasan disini, ayo!"Ajak Fiana sembari berbalik menuju kedepan pintu rumahnya.

Jihan segera turun dari motornya dan menyusul Fiana dari belakang. Ia meneliti setiap sudut rumah Fiana, tak cukup buruk baginya, walaupun rumahnya tak sebagus rumah penghuni lain di komplek.

Tapi tetap saja, rumahnya begitu bersih dan rapi, jadi terkesan amat nyaman bisa berteduh sementara disini.

"Assalamualaikum."Salam Jihan dengan sopan sembari melepas sepatu sekolah miliknya.

"Waalaikumsalam."Balas Fiana yang sudah memasuki rumahnya terlebih dahulu. Gadis itu segera menuntun Jihan untuk duduk ruang tamu terlebih dahulu, mengingat ia ingin membuatkan es teh buat Jihan.

Sederhana memang, tapi mau bagaimana lagi, setidaknya Jihan ini tak pilih-pilih akan makanan sederhana yang disajikan kepadanya.

Pemuda itu mengambil ponsel yang berada di saku celananya dan membuka galeri. Ia tersenyum kecut saat melihat foto masa kecilnya bersama seorang gadis manis.

"Saya rindu kamu."

Kembali, mengingat memori masa kecilnya bersama seorang gadis manis, mulutnya tergerak kecil dan terkekeh sinis.

"Dasar... kenapa harus pergi segala..."

Menghela nafas, mencoba menghilangkan segala beban pikiran yang ia pikul, pemuda itu mengusap wajahnya kasar agar segera tersadar akan realita.

"Yah, semoga saja kita bisa berjumpa di lain waktu."

Suara derap langkah kaki yang tergesa-gesa membuat Jihan segera menorehkan pandangannya, ia tersenyum simpul melihat Fiana yang sudah memakai setelan baju sederhana.

Berdiri dari posisi duduknya, pemuda itu mengangguk kecil sembari memberikan isyarat. "Ayo, kita main kerumah gue sekarang."

Fiana mengangguk singkat dan segera mengikuti Jihan dari belakang. Sebelumnya, gadis itu sudah mengunci pintu rumahnya rapat-rapat.

Kaos oblong berwarna hitam dengan desain sederhana itu terlihat cocok melekat di tubuh mungil Fiana, ditambah celana jeans panjang berwarna hitam. Terlihat sederhana memang, tapi pakaian itu terlihat amat cantik dipakai gadis muda itu.

Kali ini sudah terduduk manis di jok belakang motor Jihan, gadis itu sesekali hanya menghela nafas cemas, merasa takut tak diterima menjadi teman Jihan kelak.

Tak butuh waktu sampai 5 menit, oh atau bahkan sampai waktu 2 menit saja, mereka berdua sudah sampai didepan mansion megah milik Jihan.

"Loh? kok bunda tumben udah pulang."Gumam Jihan sembari turun dari motornya saat merasakan Fiana sudah tak terduduk di jok belakang.

Merapikan seragam yang lumayan kusut dan rambut acak-acakan agar tak ketauan membuat ulah, pemuda itu memimpin perjalanan memasuki mansionnya dengan Fiana yang mengekor dari belakang.

"Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam nak... eh itu siapa? teman Jihan? sini nak masuk saja."Sambut Bunda Jihan dengan ramah membuat Fiana menghela nafas dengan lega.

Sedikit melirik kearah Jihan yang tampak lebih sumringah dari biasanya, Fiana terheran-heran didalam hati, apa yang tiba-tiba kepada Jihan?

Menerka-nerka apa yang sebenarnya merasuki pikiran sang Kanjeng Jihan ini, Fiana tetiba saja melebarkan kedua bola matanya saat Jihan memeluk bundanya dengan sangat manja.

"Sepertinya... Jihan itu bayi besar..."Batinnya tak percaya sembari tersenyum kecil, geli sendiri mengingat sikap sangar seorang Kanjeng Jihan.

"Fiana sini sayang, jangan hanya berdiri disana."Ajak Keysha—Buna Jihan sembari menuntut Fiana agar segera terduduk di ruang tamu.

Gadis berambut panjang sepunggung itu membalas dengan tersenyum ramah sembari terduduk disalah satu sofa.

Ia mengerutkan keningnya saat melihat pigura besar di dinding yang menampilkan foto kedua lelaki kecil yang saling berpelukan.

"Han, itu siapa?"Jari telunjuk yang menunjuk salah satu pigura membuat Jihan segera menolehkan kepalanya.

"Gue sama Rezvan."Jawabnya singkat yang kali ini sudah seperti ekspresi biasanya, terkesan amat tak peduli dengan sekitar.

"Siapa... Rezvan?"Kembali bertanya dan kali ini dengan tatapan penuh kekepoan, Jihan mendelik kecil, entah sejak kapan Fiana jadi tertular sikap kepo Trio Ampas begini.

"Cuman sepupu gak waras gue, soalnya kadar kegilaan dia udah sampai ke ubun-ubun."Menjawab dengan perasaan tak minat, pemuda itu kali ini selonjoran di sofa tanpa memperdulikan Fiana yang masih mencerna ucapannya barusan.

"Jadi lo punya sepupu gila?"

"Iya."

"Kenapa gak dibawa ke RSJ?"

"Dianya pasti kabur."

"Kasian banget, masih muda kenapa bisa gila, ada tragedi yang bikin dia jadi gila gak Han? soalnya kasian, kenapa gak dibawa ke psikiater ae?"

"Itu—"Jihan menggantungkan kalimatnya dengan mata yang kali ini benar-benar menatap lurus kearah Fiana.

"Lo anggep Rezvan gila beneran?"

"Loh? yang bilang gila duluan kan Jihan, bukan gue, ya gue cuman cari kesimpulan dong, salahnya dimana...?"Wajah bah anak bayi yang masih belum mengerti akan kejamnya dunia luar.

Jihan hanya bisa mengumpat dalam hati melihat teman perempuannya ini terlampau polos—bego.

BRUAGH

"HALLO JIHAN KU SAYANGGGGG!"

"Ternyata bakalan ada orgil lain yang ngerusuh di hidup gue selain Rezvan."

"APA LO BILANG!?"Gertak gadis yang baru saja datang itu dengan galak membuat Jihan memasang wajah julidnya.

"Telinga lo budeg?"Sarkas pemuda itu sembari salto kebelakang akibat baru saja dilempar sepatu oleh sang gadis.

"Matamu!"

"Ada dua makasih."Jawab kembali Jihan tanpa dosanya sembari menepuk celananya yang agak kotor.

Fiana hanya berdiam diri saja tanpa berniat berbicara karena memang ia tak mengenal gadis dihadapannya sekarang ini. Kan gak mungkin juga dia sksd begitu.

"Hey hey... siapa ini?"Gadis yang tengah membawa tas besar itu mendekati Fiana sembari mengulurkan tangan kanannya.

Beruntung saja Fiana cepat tanggap dan membalas uluran tangan itu dengan senang hati. Dengan tersenyum penuh keceriaan, Fiana mulai berucap.

"Salam kenal, gue Fiana Alarice Grissham."

"Bianca Cecilia Caldwell, salah satu sepupu Jihan yang terkenal akan ke tomboy an nya, salam kenal Fiana."

"Jauh-jauh Fin dari tuh nenek lampir, dia galak bener soalnya jadi cewek, gak ada soft-soft nya."Kompor Jihan yang sudah ikut mendekati kedua gadis cantik itu.

"JIHAN AARAV CALDWELL! MAU MATI DITANGAN GUE HAH!?"Teriak Bianca menggelegar akibat emosinya yang sudah menguap.

Jihan hanya cengengesan saja sebagai jawaban sembari kembali salto dengan gabutnya.

"Kek bocah dongo lo salto mulu."Protes Bianca dengan tangan yang menuntun Fiana agar ikut terduduk bersama di salah satu sofa.

"Suka-suka cogan dong, masalah lo?"

"BAMSAT!"

"Tenang Ca tenang..."Mengusap lembut lengan Bianca, Fiana hanya bisa mengucapkan kata penenang kepada Bianca agar gadis itu menenangkan diri.

Bianca menarik nafasnya dan mulai tenang kembali, setelah itu, tiba-tiba ia menatap serius kearah Jihan.

"Ada hal penting yang mau gue omongin."

avataravatar
Next chapter