1 Roti Oven

Seorang gadis berusia lima belas tahun melangkahkan kakinya di tengah keramaian kota. Atasan putih berlengan panjang dan rok berwarna hijau tua bermotif kotak-kotak sedikit di atas lutut, berhasil mempercantik tubuh gadis itu.

Wajah mungil dengan mata belo membuat siapa saja yang melihatnya pasti merasa gemas, ditambah dengan rambut berwarna cokelat sedikit ikal yang tergurai indah membuat banyak orang terus meliriknya tanpa berkedip. Namun raut wajah dingin gadis itu membuat para pria yang ingin mendekatinya jadi mengurungkan niat.

Jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya menunjukkan waktu pukul empat sore. Tepat setelah pulang sekolah, gadis ini akan berkencan.

Ya, dengan paras cantiknya itu, dia sudah memiliki kekasih.

Kaki gadis itu yang mulanya terus bergerak menuju tempat yang dia dan kekasihnya sepakati kini berhenti, pandangan yang mulanya terus menatap layar benda pipih kini terfokus di satu titik, saat dia mendongakkan kepala ke arah jalanan.

Seorang pria bertubuh tinggi berseragam sekolah terkemuka sedang berhenti di dekat traffic light dengan tangan kiri yang dimasukkan di dalam saku celana, terlihat dia sedang menunggu lampu hijau untuk pejalan kaki.

Hatinya berdebar, pandangannya langsung tak tentu arah dan dia segera pergi dari tempatnya berdiri agar orang yang membuat hatinya tidak bersahabat ini tidak melihat dirinya.

Ini salah, tidak seharusnya dia begini. Kenapa dia harus kabur dari pria itu? Kenapa hatinya seenaknya? Kenapa dia berlari? Kakinya kembali berjalan normal setelah dirasa jauh dari pria yang dia maksud.

Toh, pria itu hanya cinta pertama, masa lalu, dan bukan siapa-siapanya.

Namun pemikiran itulah yang semakin membuat gadis ini merasa kesal pada dirinya sendiri.

Dia kembali berhenti tepat di tempat kekasihnya mengirimkan lokasi, tapi apa yang gadis itu lihat adalah kekasihnya yang sedang bertautan tangan dengan gadis lain.

Diam dan menunduk, itu yang dia lakukan. Anehnya, dia tidak merasakan sakit hati seperti saat dia melihat masa lalunya tadi.

Diriku pengecut, lari dari masalah lagi. Batinnya.

Seketika seseorang memeluk tubuhnya dari depan, membuatnya tertutupi tubuh orang ini. Tentu saja, dia terbelalak karena terkejut. Siapa yang berani sekali memeluknya di tempat umum?

Setelah pria yang notabene kekasih gadis itu pergi bersama gadis lain, barulah pria tadi melepaskan pelukannya.

"Mereka sudah pergi, kau tak apa? Lain kali carilah pria dengan lebih berhati-hati, banyak yang seperti dirinya. Kau jangan bersedih..." ucap pria itu.

"Oh iya, aku Bima." lanjutnya seraya mengulurkan tangan ingin berkenalan.

Gadis yang masih terbelalak pun mendongakkan kepalanya, menatap wajah Bima.

Bukannya membalas uluran tangan atau pun membalas ucapan tadi, dia langsung mendorong tubuh pria itu dengan kuat.

"Dasar mesum!" pekiknya lalu pergi meninggalkan Bima yang langsung dapat plototan mata dari orang-orang yang berlalu lalang.

"Sok tau! Siapa yang bersedih karena pria tadi? Seenaknya peluk-peluk! Memang mesum pria itu!" gerutunya kesal.

"Kalau pun aku diminta putus, ya putus saja. Karena memang aku tak cinta, dia saja yang ingin jadi kekasihku." lanjut gadis itu selama perjalanan.

Di sisi lain, pria itu menatap punggung yang semakin lama semakin mengecil pun tersenyum miring.

Cantik. Batinnya seraya meletakkan telapak tangan di atas dada yang sudah berdetak kencang.

Dari seragam yang dipakai dan papan nama yang terpasang di seragam gadis tadi dapat dia simpulkan,

"Senja Dahlia, kelas sepuluh, SMK Bangsa." ucapnya lalu tersenyum manis.

=====

2 tahun kemudian

"Happy birthday Senja, happy birthday Senja, happy birthday, happy birthday, happy birthday Senja~"

Nyanyian kompak terdengar saat Senja baru saja masuk ke dalam ruang kelasnya.

"Happy sweet seventeen, honey." ucap pria di balik roti ulang tahun berwarna peach kesukaan Senja.

Gadis itu terdiam, matanya mulai menjelajah seluruh ruangan kelas beserta teman-temannya.

Papan tulis penuh dengan tinta berwarna bertuliskan kata-kata yang penuh dengan pesan kasih sayang, dinding-dinding berhiaskan pita dan balon warna-warni, ada beberapa orang yang membawa terompet-terompet kecil.

Senja mengeryitkan keningnya, terdengar bisikan bahkan tawaan yang terkesan mengejek dari teman-teman sekelasnya. Senja tahu hal ini sangat berlebihan, apa lagi mereka sudah duduk di kelas dua belas. Dia merasa sangat malu dengan ulah kekasihnya. Dia kesal.

"Tiup ya!" pinta pria itu.

Senja tersadar dari pemikirannya lalu menghela napas,

"Naufal..." ucapnya berjeda membuat pria bernama Naufal itu mengangkat kedua alisnya, "kita putus." lanjut Senja, dia pun melangkah keluar dari kelasnya tanpa berniat untuk meniup lilin yang menyala tadi.

"Liat! Sudah berapa pria yang dia putusin?" bisik seseorang kepada teman di sampingnya.

=====

Ini masih jam pelajaran, kaki Senja terus bergerak menelusuri lorong yang sangat sepi. Dia ingin segera sampai di kantin untuk membeli es krim, menenangkan rasa kesal dan pusingnya akibat Naufal. Senja tidak habis pikir karena Naufal melakukannya di saat jam pelajaran biologi milik Bu Endang yang kosong.

Dia memilih pergi karena tidak ingin merasa bersalah dan memberi waktu pria itu untuk membersihkan masalahnya sendiri.

"Senja tungguin!" pinta gadis berponi rata yang berhasil menyamakan langkah kakinya dengan Senja.

Yang dipinta malah memainkan bola mata dan menirukan ucapan gadis itu tanda mengejek.

"Rere lagi..." keluh Senja kemudian.

"Biarkan saja karena hanya aku sahabat terbaik yang kau punya." balasnya seraya merangkul lengan teman yang sudah dikenalnya hampir tiga tahun ini.

Benar, Senja juga merasa hanya Rerelah yang mengenal dan memahami sifat Senja. Meskipun teman sekelasnya banyak, tapi teman yang suka menggosipkannya pun juga banyak. Senja sudah terkenal dengan sebutan playgirl, karena mudah menerima pernyataan cinta dan mudah juga untuk memutuskan hubungan itu. Tapi, Rere tetap mendampinginya di saat orang-orang terkadang hanya berpura-pura baik di depannya.

Rere tahu, Senja pasti memiliki alasan tersendiri mengapa dia terbiasa untuk melakukan hal seperti itu, meskipun Rere tidak pernah diberitahu dan Rere juga tidak ingin mengungkitnya. Senja bisa saja sedih, itu yang Rere pikirkan.

=====

Kantin terlihat sangat sunyi karena hanya ada mereka berdua di tempat ini. Kantin di sekolah ini terbilang sangat luas bahkan para penjualnya tidak ada yang berkeliaran karena mereka sudah ditempatkan di dapur yang ada di balik kaca, jadi para siswalah yang mengantri dan mengambil makanan mereka sendiri.

Rere meletakkan nampan yang sudah berisi makanan di atas meja panjang, lalu dia duduk tepat di hadapan Senja yang sedang asyik menikmati es krim cokelatnya.

"Menu hari ini ayam tepung. Memang benar enak, tapi sayurnya banyak sekali. Ini tidak seimbang. Apa iya nasinya 30%, kuah 10%, telur goreng 10%, ayam 10%, sayurannya 40%. Sangat tidak cocok dengan harganya." protes gadis itu.

Senja menatap Rere kesal,

"Meracau saja kau!, menurutku itu sangat cocok." balas Senja.

"Kau tau aku tak suka sayur, Senja..." ucapnya seraya memilah-milah sayuran yang penuh dengan warna mencolok.

Sayur yang sudah diolah boleh saja, masih sedikit enak juga. Tapi ini sayur mentah, pahit. Rere benar-benar tidak suka.

"Rere, kau sebegitu tak suka dengan sayur? Kau lupa kita mengambil kejuruan apa?" tanya Senja tak mau kalah seraya mengangkat kedua alisnya, menunggu jawaban dari Rere.

"Farmasi." balasnya lirih lalu melahap sayuran itu dengan cepat, menelan dengan rasa mual yang mendadak muncul dari dalam perutnya, dia ingin Senja puas sudah memojokkannya.

Benar saja, Senja tertawa keras jika sudah menang dari adu mulutnya dengan Rere.

Gadis itu segera meminum air mineralnya,

"Seneng sekali kau melihat temen tersiksa." celoteh Rere, Senja mengangguk-angguk sangat menyetujui pernyataan itu.

"Eh apa kau tahu? Seorang Naufal tadi bagaimana raut wajahnya setelah kau pergi begitu saja?" tanya Rere seraya terkekeh.

Senja yang memasukkan sisa es krim ke dalam mulutnya pun berdecak,

"Mana ku tahu, bukankah diriku sudah tak berada di sana? Ya.. kalo saja aku ini mempunyai jurus seribu bayangan. Aneh sekali pertanyaanmu." balasnya sarkas.

Rere menyendok kembali nasinya,

"Iyaa.. salahkan saja diriku. Fyi ya, dia tadi langsung mematung. Terkejut. Dia sudah mengeluarkan banyak uang dan kau tak mempedulikannya, memutuskan hubungan pula." ucap Rere lalu tertawa.

"Pria alay hanya membuatku malas saja." balas Senja.

"Jika kau tahu dia terkenal alay, kenapa kau menerima permintaannya?" tanya Rere.

"Terserah aku." sahutnya ketus.

Jawaban itu lagi, Rere paham atau mungkin Rere sudah terbiasa.

"Untung saja, jamkos. Untung juga tak ada wali kelas kita yang suka muncul tiba-tiba seperti biasanya. Jikalau ada, mampus kita mendapatkan omelannya." lanjutnya lalu melahap sisa makanannya.

"Siapa wali kelasnya?" tanya seseorang yang baru datang dan berdiri tepat di belakang tubuh Rere.

Gadis itu menghabiskan minumannya,

"Pak Bimalah, siapa lagi." balasnya tanpa menoleh.

Senja menghela napas seraya menunduk dan menutup wajah dengan telapak tangannya, dia menyerah mengisyaratkan sesuatu pada Rere.

"Rere, Senja, jam istirahat nanti langsung ke kantor guru. Kita bahas tentang apa yang Rere katakan dan tentang kenapa kalian ke kantin di jam pelajaran seperti saat ini." ucap pria itu.

Dia Bima, guru magang yang baru satu bulan bekerja di sini. Sekolah SMK Bangsa adalah sekolah milik Kakak Bima, jadi dia diberi tanggung jawab untuk menjadi guru matematika sekaligus menggantikan wali kelas XII Farmasi 1 yaitu Bu Nurul yang sedang cuti karena melahirkan.

Kalau diamati, Bima memang mempunyai paras yang tampan dan terlihat muda karena masih mahasiswa semester tiga di kampusnya. Dia banyak penggemar tapi murid-muridnya sendiri tidak suka kepadanya karena sikap ikut campur, suka menghukum, dan sikap sok kegantengannya.

"Iya, Pak." balas Rere dan Senja bersamaan, pasrah karena tidak ada cara untuk menghindari omelan guru muda itu.

Sebelum Bima melangkah pergi, kakinya berhenti sejenak. Dilemparnya sesuatu yang sempat dia ambil dari dalam saku jasnya, Senja pun menangkap dengan sempurna. Gadis itu menatap dengan heran makanan berbungkus plastik yang sudah ada di tangannya.

"Selamat ulang tahun." lanjut Bima lalu pergi keluar dari kantin.

Senja kembali teringat kejadian beberapa tahun yang lalu di saat dirinya dipeluk Bima, kejadian yang sangat memalukan sekaligus menyebalkan. Senja meletakkan roti itu di atas meja.

"Roti oven harga lima ribuan." ucap Senja datar.

avataravatar
Next chapter