"Satu langkah saja kau keluar dari sini, maka kau memang seperti yang aku fikirkan." Lagi, ucapan itu mengingatkan Soully saat terakhir kali ia berada di apartement.
Soully mematung di tempat sesaat ia hendak melarikan diri. Apa maksud dari ucapan suaminya itu? Memangnya apa yang ia fikirkan?
"Ya, seperti apa yang aku fikirkan saat ini," sahut Yafizan membuat Soully membulatkan matanya.
"Kau mendengarku?" tanya Soully.
"Apa kau mengatakan sesuatu?" Yafizan menghardikkan bahunya.
"Jangan membalikkan pertanyaan!" Soully mengerlingkan bola matanya.
Ada seulas senyum tipis nyaris tak terlihat di sudut-sudut bibir Yafizan saat ia mengamati ekspresi wajah Soully yang kesal padanya. Rasanya menyenangkan saat ia berhasil menggoda istrinya itu.
"Apa kau akan terus berdiri saja di situ?" Yafizan mendudukan tubuhnya di sofa, kemudian ia menepuk-nepuk ruang kosong pada sofa di sebelahnya. "Kemarilah," perintahnya.
Soully masih bergeming pada tempatnya berdiri. Hingga tepukan yang kedua kalinya, membuat Soully berjalan dengan enggan menghampiri Yafizan yang kini sedang terduduk santai seolah tanpa dosa.
Soully mendudukan tubuhnya di sebrang sofa yang Yafizan duduki. Senyum sarkasme Yafizan sunggingkan ketika ia melihat tingkah Soully yang sedikit membangkangnya.
"Baiklah, katakan. Ada apa?" tanya Soully dengan ketus. Ia melipat tangan di dadanya dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Yafizan hanya tersenyum melihat tingkahnya.
Hening...
"Ke mana saja kau selama satu minggu ini? Tinggal di mana?" tanya Yafizan memecah keheningan.
Soully memalingkan wajahnya, menghadap pria yang sedang berada di depannya itu. Dengan ekspresi tak percaya.
"Kenapa kau menanyakan hal itu? Justru kau yang ke mana saja," cebik Soully.
"Kau kan tahu aku tinggal di apartement dan tak ke mana-mana. Seharusnya kau yang pulang," sanggah Yafizan.
Skak matt, mungkin itu yang dirasakan Soully saat ini. "Hah, kau memang menyebalkan!" beranjak berdiri dari sofa.
Lalu mengapa kau tak mencari atau menjemputku? Ingin Soully berteriak seperti itu, namun rasanya ia enggan mendebat perkataan suaminya. "Sudahlah, aku terlambat bekerja," desahnya pamit.
Soully tak mempedulikan Yafizan yang masih duduk di hadapannya. Dia harus segera pergi karena hatinya akan bergejolak bila terus di dekat suaminya. Ya, hatinya sungguh lemah bila menyangkut Yafizan.
"Aku tak tahu!" seruan Yafizan membuat langkah Soully terhenti saat ia hendak menekan handle pintu untuk segera keluar. "Aku, tak tahu kau di mana. Maka dari itu aku tak mencarimu," ucapnya pelan.
Soully terkesiap, bagaimana Yafizan bisa tahu apa yang difikirkannya?
Tanpa mengabaikan ucapan Yafizan, Soully melanjutkan niatnya untuk segera pergi dari ruangan itu. Soully membuka pintu lalu menutupnya dengan rapat. Sambil menghela nafas dalam, Soully bersandar pada pintu yang sudah ia tutup di belakangnya.
"Soully, kau baik-baik saja?" tanya Rona membuat Soully membuka matanya yang semula ia pejam.
"Aku baik-baik saja. Aku permisi kerja dulu, Kak," pamit Soully tanpa menatap wajah Rona.
"Soully, tunggu," Rona menahan lengan Soully. "Maafkan aku," sesalnya. Namun Soully tak bergeming. Ia melepaskan pegangan tangan Rona dari lengannya.
Rona mendesah pasrah, ia tahu, Soully kesal padanya.
***
Miller mencuri pandang menatap Soully dari kursi kebesarannya. Sejak kembali dari ruangan Yafizan, wajah Soully terus saja ditekuk, bahkan ia tidak fokus pada pekerjaannya. Miller mengepalkan tangannya. Seharusnya hari ini hari berbahagia karena Soully sudah mau masuk bekerja kembali dan berada di sisinya.
Yafizan sialan!
Kilat penuh amarah terpancar di manik-manik matanya. Dendam yang semula ia redam, sekarang muncul kembali ke permukaan. Sudah cukup baginya menahan diri sekarang. Tadinya ia ingin melupakan apa yang telah terjadi di masa lalu. Karena dia sendiri yang salah, adiknya tewas oleh kekuatannya sendiri. Tapi, Yafizan juga salah, karenanya Malika pergi meninggalkannya juga. Malika tewas dalam pangkuannya dengan bersimbah darah. Ia bahkan masih mengingat bagaimana aroma darah itu tercium memenuhi tubuhnya. Malika pergi di saat ia menyadari jika dirinya pun sebenarnya telah jatuh hati pada gadis yang menjadi tunangannya itu.
Bimo melihat perubahan pada raut wajah Miller. Ekspresi gelap yang sebelumnya selalu menghiasi wajah tuannya itu kembali lagi. Apa yang terjadi? Benak Bimo bertanya-tanya. Ia mengalihkan pandangannya kepada Soully. Perempuan itu hanya melamun dan menghela nafas berkali-kali. Lalu kembali lagi kepada Miller yang tak melepaskan tatapannya kepada Soully. Ia harus melakukan sesuatu supaya kekejaman tuannya tak terjadi lagi.
"Tuan, lama-lama kau akan jatuh cinta padaku jika menatapku terus seperti itu!" celetuk Soully tiba-tiba tanpa mengangkat wajahnya yang sedang ditekuk itu sambil tetap fokus pada kertas kerjanya. Membuat Miller terperangah akan ucapan Soully. Tak terkecuali Bimo yang memang berada di antara mereka.
"Aku memang jatuh cinta padamu," sahut Miller merasa sumringah. Akhirnya Soully mau bicara padanya.
Sejenak, aura gelap seketika hilang dari wajah tuannya. Bimo hanya tersenyum melihat tingkah Soully yang ternyata bisa mencairkan sisi gelap tuannya, Miller.
"Kau memang menyebalkan, Tuan," desah Soully mencebik, tanpa melepaskan kertas kerjanya.
Miller tergelak, sudut-sudut bibirnya menyeringai. Ia begitu senang, Soully mau berbicara padanya. Dan ia rasa, masalahnya dengan Yafizan tak sesulit yang ia fikirkan. Walaupun Miller tahu, Soully memendam perasaan yang berkemelut dalam hatinya saat ini.
"Apa kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu?" Miller sudah berdiri menjulang tepat di hadapan Soully yang sedang duduk menunduk.
Soully sedikit berjingkat kaget, entah sejak kapan bosnya itu berdiri di depannya? Hanya meja kerja saja yang menghalangi mereka.
"Tentu banyak sekali, bukan? Mengingat sudah seminggu lebih kau absen," sindirnya. Soully memejamkan matanya seraya menggigit bibir bawahnya bagian dalam, ia sungguh merasa malu.
"Maaf," lirihnya. Soully bangkit dari tempat duduknya lalu berdiri kemudian hendak membungkukkan setengah badannya untuk meminta maaf sebelum pada akhirnya tangan Miller menahan tubuhnya.
"Apa-apaan kau?" ucap Miller dengan nada yang cukup keras. Tangannya mencekal, merasa tak suka akan apa yang hendak dilakukan Soully. Soully mendongakkan wajahnya menatap Miller. "Jangan pernah meminta maaf padaku, sekali pun kau mempunyai kesalahan padaku," tegasnya menggelengkan kepala.
Masih jelas teringat bagaimana dulu ia membiarkan Malika terus meminta maaf padanya sekalipun itu bukan kesalahannya. Dan itu adalah penyesalan terbesarnya sampai saat ini.
"Tapi aku memang bersalah. Aku minta maaf karena sudah absen selama seminggu lebih ini..." kembali, Soully menekuk wajahnya serta menundukkan kepalanya.
"Tak apa, aku mengerti. Kembalilah bekerja." Miller membalikkan badannya lalu mengerjapkan kedua matanya tak ingin Soully melihat kesedihannya.
"Terima kasih."
Miller hanya menganggukkan kepala tanpa melihat Soully.
***
Sore hari, ketika semua karyawan menyelesaikan pekerjaannya. Soully dan Elly berjalan beriringan untuk pulang. Langkah Soully terhenti ketika ia melihat sosok yang sangat ia kenal sedang berdiri di luar lobby kantor sambil memasukkan kedua tangannya di saku celananya. Pandangannya tajam menatap Soully dari kejauhan.
"Kenapa?" tanya Elly ketika Soully menghentikan langkahnya.
"Tak apa-apa. Ayo!"
Mereka melanjutkan kembali untuk segera pulang. Detik-detik ketika langkahnya hampir mendekati sosok suaminya yang entah sedang menunggunya atau bukan, tepat di saat itu pula sosok wanita yang Soully kenal menghampiri Yafizan.
Ekspresi Yafizan berubah ketika tangan Tamara bergelayut manja padanya. Begitu pun dengan Soully.
Dengan menganggukkan kepala sebagai tanda pamit kepada atasan, Elly menarik tangan Soully untuk segera berlalu. Elly menyadari sikap Soully yang berubah ketika bertemu dengan Yafizan. Apakah fikirannya tentang Miller adalah suami Soully itu salah?
Dan tepat saat itu pula Yafizan menghentikan langkah Soully ketika dia menyerukan suaranya.
"Kau mau ke mana?" tanya Yafizan melepaskan tangan Tamara yang bergelayut padanya, membuat Tamara kesal akan sikap Yafizan yang tiba-tiba berubah. "Mau ke mana?" sudah berada di samping Soully.
"Kami mau pulang, Tuan." Elly menjawab.
"Yang aku tanya Soully," tegas Yafizan.
"Maaf." Elly mencengkram tangan Soully merasa ucapan Yafizan mengintimindasinya.
"Seperti kata Elly, kami mau pulang." Soully menimpali dengan tersenyum yang dipaksakan.
"Baby, ada apa? Ada perlu apa dengan perempuan ini?" Tamara datang menginterupsi mereka.
"Kami permisi," pamit Soully namun Yafizan menarik lengannya.
"Tolong tinggalkan kami," pintanya pada Elly.
Sejenak Elly menatap temannya itu, dan Soully mengangguk mengiyakan. Dengan enggan Elly meninggalkan tiga orang tersebut.
Yafizan masih tak mengalihkan tatapannya kepada Soully. Rasa yang bercampur aduk dalam hatinya begitu menyiksanya. Dia sangat merindukan perempuan yang ada di hadapannya saat ini.
Ya, selama satu minggu ini Yafizan yang hanya mengurung diri dalam kamarnya berusaha mengingat apa yang telah terjadi menimpanya selama ini. Walau ia terus merasakan kesakitan luar biasa dalam kepalanya, tapi setidaknya membuahkan hasil yang sebenarnya belum sepenuhnya kembali.
Kilas-kilas bayangan ketika Yafizan bertemu lalu menikahi Soully membuat ia setidaknya tahu jika istrinya yang sesungguhnya adalah perempuan mungil yang berdiri tepat di hadapannya, mungkin.
Ia memang masih belum bisa mengingat semua hal yang sudah ia lalui bersama Soully, tapi setidaknya keyakinan hatinya yang mengatakan jika Soully istrinya cukup membuat dirinya tahu siapa istri sesungguhnya. Apalagi ketika ia memasuki ruangan kantornya dan memandang semua foto-foto pernikahan mereka yang terpampang jelas di dinding serta di atas meja kerjanya menunjukkan bukti yang cukup kuat untuk diyakini.
Sedang, Tamara? Yafizan pun tak mengerti, mungkin perasaan yang ia punya sampai saat ini hanyalah perasaan iba yang tertinggal karena perasaannya terdahulu. Perasaan seorang pria yang ditinggal kekasihnya ketika perasaannya terlalu dalam sehingga ia terobsesi hanya untuk menemukan kembali wanitanya.
"Sayang..." Yafizan memeluk Soully tiba-tiba. "Sayang..." panggilnya kembali seakan panggilan itu adalah nafas dalam kehidupannya.
"Baby! Apa-apaan kau ini? Lepas!" Tamara mencoba memisahkan keduanya. Namun, tangan Yafizan sepertinya terlalu kuat untuk dilepaskan dari tubuh Soully.
Tamara begitu kesal karena Yafizan masih bergeming di tempatnya. Sepertinya ocehannya sama sekali tak dipedulikan.
"T-tuan, le-lepaskan," ucap Soully pelan merasa tak enak karena orang-orang memandang ke arah mereka dengan penuh tanya.
Soully berusaha mendorong tubuh Yafizan untuk melepaskan pelukannya. Namun, tubuh tegapnya itu tak mau bergeser sedikitpun. Yafizan malah semakin merekatkan pelukannya.
"Baby! Kau ini apa-apaan?" Tamara berusaha melerai mereka. Tapi dengan sigap Rona segera menarik tangan Tamara untuk menjauh.
"Lepaskan! Dasar pengawal sialan!" Tamara meronta. Rona kewalahan karena Tamara memberontak dengan kuat. Entah kekuatan darimana Tamara kembali menghampiri Yafizan yang sedang memeluk istrinya dengan erat. Kemudian dengan segenap kekuatannya ia melepaskan pelukan Yafizan dari tubuh Soully dan memisahkannya. Seketika satu tamparan mendarat pada pipi mulus Soully.