89 Bab 89

"Pagi," sapa Elly ketika melihat Soully sudah duduk di meja makan untuk sarapan. Elly membawa dua piring nasi goreng yang sudah ia buat ketika Soully sedang mandi tadi.

"Thanks." Soully tersenyum lemas.

Pagi tadi, rasa mual itu menyerangnya kembali sehingga dengan terpaksa membangunkan dirinya untuk segera membersihkan diri dan mengingat jika memang ini saatnya dia harus bekerja kembali.

"Apa masih terasa mual?" Elly memberikan segelas es lemon tea pada Soully.

Soully meneguk es lemon tea itu. "Sudah mendingan. Dan lemon tea ini cukup membantu." meletakkan gelas es lemon tea-nya lalu menyendokkan satu suap nasi goreng ke dalam mulutnya.

"Nona, apa sebaiknya kau periksakan diri ke dokter tentang kondisimu? Ini sudah hampir seminggu kau seperti itu. Lihatlah, kau pucat sekali," saran Elly merasa khawatir akan kondisi Soully. Mulutnya sambil mengunyah dan terisi penuh sarapannya.

"Makan pelan-pelan, Elly." Soully menggeleng melihat tingkah laku Elly. "Dan panggil aku Soully saja tanpa embel-embel nona," tutur Soully.

"Tapi kau istri atasanku," tukas Elly hampir membuat Soully tersedak saat makan.

Dari mana Elly tahu? Apa dia tahu Yafizan suamiku? Tidak-tidak, atasan kami bukan Yafizan. Tapi...

Mata Soully mendelik seakan hampiir keluar dari tempatnya. "Jangan bilang kau mengetahui jika suamiku adalah..."

"Bos Miller," tukas Elly lagi memotong ucapan Soully. "Aku tahu, kalian adalah suami istri," tegasnya yakin.

Tawa Soully pecah. Bagaimana mungkin Elly berfikiran jika Miller adalah suaminya?

"Bukan aku saja," sambungnya. "Bahkan, staff dan kru yang lain berfikir jika kalian adalah sepasang suami istri. Terbukti ketika kau tak bersamanya sungguh membuat kami para pencari nafkah begitu tersiksa. Kau benar-benar mood booster untuk suamimu sendiri," celoteh Elly yang ditanggapi gelak tawa oleh Soully.

"Jangan tertawa, Nona. Sebaiknya kau segera pulang dan perbaiki masalahmu dengan suamimu itu. Dan jangan lupa segera periksakan dirimu saat ini." Elly merasa jengkel karena Soully tak menanggapinya.

"Kau mengusirku?" mata Soully membeliak.

"Ya, kau punya suami dan rumah sendiri, bukan? Tak baik kau meninggalkan suamimu lama-lama."

"Kau kejam, Dear..." Soully meletakkan sendoknya menghentikan sarapannya. Memasang wajah sendunya.

Bukan aku yang menginginkannya, tapi suamiku yang tak mengingatku...

"Kau memang menyebalkan, Nona." Elly tak peduli, ia terus menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya.

"Baiklah, aku akan menghubungi suamiku untuk menjemputku," sedih Soully yang sekarang dibuat-buat.

"Bagus. Lebih baik begitu. Selesaikan segera masalah kalian," lirih Elly.

"Kau takkan sedih jika aku pergi dari sini? Kita baru saja akrab. Kau takkan merindukanku?"

"Tidak."

"Tapi aku ingin tetap bersamamu."

"Kau juga akan melupakanku ketika kau sudah bersama suamimu, bos Miller yang tampan itu."

"Miller bukan suamiku!" hardik Soully membuat Elly menghentikan sarapannya. Dia menatap lekat wajah Soully. Tak ada kebohongan dalam matanya. "Miller...bukan suamiku..." sudah terisak kemudian saat Elly menatap wajahnya seolah bertanya, benarkah? Kau sungguh tak berbohong?

Elly merasa bersalah ketika candaannya tadi membuat Soully malah menangis. Padahal tadi Soully pun tak menanggapi serius perkataan Elly. Namun, entah mengapa saat Elly bersikeras tentang suaminya yang adalah Miller, hatinya terasa sakit. Karena Miller memang bukanlah suamimya.

Miller mungkin adalah sebagian dari masa lalunya. Tetapi ia sama sekali tak mengingatnya. Hanya mimpi aneh yang terasa nyata itu selalu terngiang di dalam ingatannya. Dan itu selalu berakhir dengan rasa sakit yang menggema dalam kepalanya.

"Maafkan aku..." Elly memeluk Soully menenangkannya.

***

Keheningan masih terjadi di antara tiga orang yang sedang berkumpul di meja makan, menikmati sarapannya. Hanya suara dentingan peralatan makan yang menghiasi suasana hening itu.

"Apa kau yakin akan ke kantor, Baby?" tanya Tamara memecah keheningan.

Yafizan bergeming dan tak menjawab pertanyaan Tamara. Ia masih menikmati sarapannya walau dengan tatapan kosong. Meski begitu, dirinya sudah begitu rapi dengan setelan kantornya. Setelah banyak pertimbangan, akhirnya Rona menyetujui keinginan tuan mudanya itu untuk pergi ke kantor. Walau sejujurnya Rona tak ingin membuat Soully semakin sakit hati karena suaminya yang masih belum mengingatnya. Apalagi jika Yafizan tahu Soully bekerja di gedung yang sama, tempat ia mendirikan usahanya. Mereka akan sering bertemu. Tapi, Rona sangat berharap dengan pertemuan mereka yang lebih sering akan membantu mempercepat ingatan tuannya itu kembali.

"Baby..." Tamara kembali bersuara ketika dirasa Yafizan mengabaikannya. "Apa kau masih marah padaku?" tak ada tanggapan. "Oh, ayolah ini tidak benar. Ini sudah satu minggu. Kau sungguh masih kesal padaku?" Tamara merasa jengah.

"Nikmati dan habiskan sarapanmu," ucap Yafizan dingin dan tanpa ekspresi.

"Kau benar-benar menyebalkan. Aku benci padamu!" Tamara membanting sendoknya, beranjak berdiri lalu pergi meninggalkan sarapannya.

Rona hanya menghardikkan bahunya, seolah tak peduli. Sedang Yafizan, entah apa yang difikirkannya. Apakah dia tetap harus mengabaikan Tamara ataukah membujuknya di saat ia merajuk seperti itu? Dia pun tak mengerti dengan perasaannya saat ini.

"Kau tak ingin mengejarnya?" Rona berujar sambil tetap menikmati sarapannya. Semata-mata hanya untuk mengetes tuannya.

Yafian terdiam. Entah apa yg difikirkannya. Namun, tak lama kemudian ia beranjak berdiri dan menyusul Tamara ke kamarnya.

Hah, benar-benar bos yang bodoh. Rona menghela nafasnya kesal.

.

.

.

"Maaf, jika sikapku tak baik tadi." Yafizan mendudukkan tubuhnya di tempat tidur samping Tamara yang sedang merajuk.

Tamara tak bergeming, ia masih berpura-pura merajuk. Hingga akhirnya Yafizan berusaha membujuk Tamara untuk tidak marah padanya lagi. Mungkin kali ini berhasil. Tamara dengan bakat aktingnya cukup membuat lelaki yang kini sudah menjadi suami orang lain ini mencairkan benteng es-nya. Ya, Tamara cukup tahu, walau begitu Yafizan tetaplah Yafizan yang sama. Yafizan yang begitu mencintainya, bahkan tak ingin Tamara marah berlama-lama padanya meskipun kesalahan ada pada Tamara.

"Dasar lelaki bodoh." Tamara menyeringai dibalik bahu ketika Yafizan memeluk dirinya.

***

"Elly, kau duluan saja ke dalam. Aku mau mengambil uang dulu," tutur Soully saat mereka sampai di lobby gedung kantor.

"Kau baru akan mengambil gajimu?" tanya Elly. Soully mengangguk dan Elly langsung mendelikkan matanya. "Serius? Kau tahu, sudah ke mana hilangnya hasil jerih payahku itu."

"Tentu saja karena kau pakai."

"Iya juga...tapi sebenarnya kau tak perlu mengambil gajimu karena mengingat suamimu cukup kaya untuk bisa menafkahimu." Lagi, Elly masih mengira Soully adalah istri Miller.

Padahal kejadian tadi pagi cukup mengatakan jika Miller bukan suaminya.

Namun, Elly cukup mengira jika Soully berucap seperti itu karena ia sedang kesal saja pada Miller. Sehingga enggan mengakui Miller adalah suaminya.

"Lihat, suamimu sudah tiba. Aku masuk duluan, oke. Semoga hari ini menyenangkan dan suasana hati bos Miller membaik." Elly mengendikkan dagunya menunjuk pada sosok sesorang yang dengan gagah berjalan setelah turun dari mobilnya.

Soully hanya geleng-geleng kepala menanggapi kekeraskepalaan Elly yang tetap keukeuh mengira Miller adalah suaminya.

Mata Soully dan Miller saling bertatap. Terakhir kali mereka bertemu satu minggu yang lalu. Miller tak mengalihkan pandangannya, rasanya ia ingin merengkuh tubuh perempuan yang ada di hadapannya saat ini. Setelah kejadian waktu itu, membuat ia semakin tak ingin menjauh dari perempuan yang sebagian besar ada dalam masa lalunya. Ia hanya ingin memperbaiki segalanya. Tak masalah walau perempuan itu bekas sahabat masa lalunya, yang terpenting ia harus mendapatkan apa yang sempat hilang darinya dulu, fikirnya.

Soully menundukkan pandangannya. Dengan tidak mengurangi kesopanannya, Soully memberi hormat terlebih dahulu sebelum akhirnya ia pergi berlalu mendahului Miller beserta pengawal setianya yang bernama Bimo itu untuk segera pergi ke tempat pengambilan uang yang berada di sebelah gedung kantor ini.

Pandangan Miller masih mengikuti ke mana arah langkah kaki perempuan yang dikasihinya itu melangkah.

"Tuan, apa Anda akan..." ucapan Bimo terhenti ketika Miller mengangkat tangannya.

"Kau duluan saja," perintah Miller tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun pada sosok mungil itu.

Miller berjalan melewati Bimo yang berdiri mematung menanggapi sikap tuannya yang menurutnya...aneh.

Bimo mengangkat bahunya, seolah ia menghibur dirinya sendiri. Ya, sudahlah!

***

Yafizan menatap keluar jendela kaca dalam mobilnya. Ia memandang takjub gedung-gedung tinggi menjulang yang menjadi pemandangannya saat ini. Dan pandangan itu terhenti tatkala mobil yang ia tumpangi sedikit bergoncang karena mobil tersebut mulai memasuki area gedung perusahaan yang tak kalah tinggi serta megahnya dengan gedung-gedung pencakar langit yang ia lihat selama dalam perjalanannya.

Sejenak ia memandang sekitar gedung perusahaannya. Benarkah ini perusahaan miliknya? Rasanya sudah terlalu lama sejak ia terakhir kali menginjakkan kakinya di gedung kantor miliknya sendiri.

"Kau tak ingin turun, Bos?" tanya Rona ketika dirasa Yafizan masih bergeming.

Sejenak tak ada jawaban dari Yafizan. Ia masih sibuk memperhatikan sekitarnya. Entah mengapa hatinya merasa berdebar?

Hingga akhirnya sudut matanya menangkap sosok yang tak bisa ia lupakan selama hampir satu minggu ini. Sosok yang selalu mememuhi fikirannya. Kejadian pertemuannya pertama kali pasca ia pulang ke apartement hingga melewati malam bersama tak kunjung surut dari ingatan serta bayangannya. Bibir mungil itu terasa manis dan candu untuk dirinya. Entah mengapa hatinya menghangat bila melihat sosok itu.

Hatinya menggerakkan tubuhnya untuk segera keluar setelah melihat sosok itu. Tangannya bergerak untuk membuka pintu mobil yang ada di sebelahnya, seakan mengajaknya untuk segera berlari, menghambur pada sosok itu.

Rona melihat gerak gerik bosnya yang ia rasa terasa aneh. Ekspresi yang tak biasa membuat Rons melihat arah pandangan mata bosnya itu.

Sejenak tak ada yang aneh, karena Rona memang tak melihat apapun atau siapapun. Namun, pandangannya teralihkan kembali ketika ia melihat Yafizan mengurungkan niatnya kembali untuk keluar dari mobil. Rona mengalihkan kembali tatapannya. Dan sekarang ia tahu dengan apa yang tadi dilihat bosnya itu.

Soully, perempuan mungil itu keluar dari tempat pengambilan uang dengan sosok pria yang sedang berdiri menunggu di depannya.

Bersambung...

Hai, Readers kesayangan...🤗

Yang sabar menanti up yaaa

Maafkan penulis abal² ini yg selalu stuck dalam menuangkan kalimat demi kalimat yg sebenarnya udah bersarang dalam otak tapi tidak tersalurkan dalam jari jemari ini 😭😭

Ditunggu kisah selanjutnya yaa dan cepet² aku bisa namatin ni cerita

Salam hangat 💕💖

avataravatar
Next chapter