webnovel

My Slave, My Servant, My Daughter

kisah tentang Pak Sumi, seorang intel kepolisian yang berhasil membuka kedok rumah Bordil dan menemukan hal yang lebih buruk daripada PSK (Pekerja Seks Komersial) yaitu menemukan seseorang yang akan merubah hidupnya untuk selamanya. kisah tentang keluarga, masa lalu, dan ambisi seorang anak. Kisah tentang suatu keluarga kecil yang berperan besar dalam beberapa kasus skala nasional, masa lalu yang penuh dengan intrik, persahabatan, juga kengerian dan kekejian, serta ambisi seorang anak untuk mendapatkan kepercayaan, cinta dan kasih sayang... ah dan juga tubuh. Cerita akan berkutat pada Marie dan Pak Sumi, lalu orang-orang yang terdekat seperti Bu Rati (Istri Pak Sumi), Tiga anggota daun Semanggi (Clover), dan tokoh antagonis. Apakah Marie bisa mendapatkan apa yang diinginkannya? berakhir bahagia atau tidak, itu semua pilihan anda, pembaca. *Penulis sangat tidak menyarankan untuk dibaca oleh anak-anak tanpa pengawasan Orang tua. Isi konten dan konflik cerita sangat mungkin TIDAK SESUAI untuk anak-anak (atau mungkin sebagian remaja baru). dimohon kedewasaan pembaca. **pict source: https://www.trekearth.com/gallery/Africa/photo1403560.htm

Cloud_Rain_0396 · Horror
Not enough ratings
102 Chs

Miya kembali dengan selamat, "Selamat telah menjajaki tangga kedewasaan"

Miya kembali ke ruangan itu. Tapi tidak dengan Sialan.

Marie senang ketika melihat Miya kembali. Apalagi dengan pakaian bagus yang ia kenakan, jari jemari tangannya juga diperban, dia telah diobati, pasti ia telah mendapatkan pengalaman yang menyenangkan ketika tiga hari berada diluar. Tapi kenapa Miya kembali lagi? hal ini ada di dalam benak gadis kurus itu.

Sunandar mendorong tubuh Miya untuk masuk ke dalam, dia bersama tiga anak (termasuk Miya) juga masuk ke ruangan itu. Lalu Sunandar mengambil dua anak yang lainnya. Ini seperti Sunandar mengambil dua dan memasukkan tiga ke dalam ruangan itu.

Miya dari tadi selalu memasang muka tersenyum aneh. Anak itu berjalan menuju ke samping Marie. Dia duduk tanpa menyapa Marie. Marie menoleh dan melihat kearah wajah tersenyum Miya.

"Miya?" Kata Marie.

Miya hanya terdiam, menaikkan kakinya dan merangkul lututnya.

"Miya? kenapa denganmu?" Tanya Marie.

Kata-kata Marie tak direspons sedikit pun oleh Miya. Dia hanya tersenyum dengan pandangan lurus ke depan.

Marie diam. Dia takut jika dia bertanya dan tidak dijawab, kemungkinan hal itu akan membuat Miya membencinya, maka Marie memilih untuk diam. Lima menit berselang, Marie mulai tak tahan dengan diamnya Miya. Dia menggoyang badan Miya, dan ketika itulah semua terjadi. Miya memeluk Marie dengan erat. Marie merasakan bahunya basah. itu adalah air mata Miya. Posisi Miya membelakangi CCTV di ruangan itu, dari CCTV terlihat punggung Miya.

Miya dari awal masuk ruangan itu, jiwanya sudah menangis. Otaknya menyuruhnya untuk tidak menangis, karena jika dia melakukan hal itu, maka ia akan dibawa oleh Sunandar yang kini Miya tahu jika itu hal terburuk yang pernah ada.

Marie tahu jika Miya ingin menyembunyikan tangisannya, Lalu dia membalas pelukan Miya dan memasang wajah yang senang, seolah Miya juga melakukan hal yang sama. Marie bertanya apa yang terjadi, Miya menjawabnya.

Kini Marie tahu jika semua anak yang ada disini akan dijual ke orang berbaju hitam. Miya juga bercerita tentang bagaimana Ia bertemu dengan ibunya.

"Marie, kamu tahu sekarang sudah berapa tahun sejak kita disini?" Kata Miya berbisik di bahu Marie.

"Tidak, ah, apa sudah 2 tahun? lalu kamu bertemu ibumu kembali?" Tanya Marie.

"Iya aku bertemu dengannya." Jawab Miya.

"Lalu kenapa Miya kembali lagi ke sini?" Sambung Marie.

"Marie, bukannya sudah ku katakan tadi, saat aku berlari kepadanya, aku dipukul sampai pingsan?" Kata Miya.

"Maaf, maaf Miya, Marie lupa." Kata Marie.

"Lalu aku terbangun dan sudah berada di atas ranjang, ada tuan disampingku." Kata Miya.

"Miya, lalu bagaimana dengan ibumu?" Tanya Marie.

"Marie, dia berkata jika anak yang sudah mati tidak bisa disini lagi. Aku sudah Mati Marie. Menurut Ibuku aku ini sudah Mati." Kata Miya.

Tubuh Miya bergetar. Marie terdiam. Marie mengelus punggung Miya.

"Jangan lakukan itu!" kata Miya.

Miya tahu jika Marie melakukannya, itu seperti Marie menghibur orang yang menangis di CCTV.

"Ah maaf." Kata Marie

"Tetap diam seperti ini, Aku mohon." Miya memeluk semakin erat.

"Baiklah." Kata Marie.

Semua anak-anak yang lain, mereka melihat Marie dan Miya disana berpelukan satu sama lain. Seorang anak mempunyai rasa empati yang besar. Mereka bisa merasakan rasa sakit yang dialami oleh Marie dan Miya. Sebenarnya mereka telah menahan rasa ingin menangis mereka sejak lama, sejak saat Marie dipasung disana, tapi Marie selalu berucap hal yang sama dengan senyum diwajahnya.

"Jangan Menangis, jangan Sakit, jangan Lapar, jangan Mati. Tetaplah Tersenyum dan jadi Anak Baik." kata Marie setiap kali akan ada yang menangis.

Persis seperti apa yang dikatakan oleh Ratu sebelumnya.

Kemudian salah seorang tergendut dari mereka tiba-tiba menangis. Badan membola itu menangis menjadi-jadi. Satu, dua, semua anak di ruangan itu menangis. Marie dan Miya tentu kaget karena hal ini.

"Tolong, hentikan tangisan kalian..." Suara Marie tenggelam dalam tangisan se-lusin anak-anak.

Miya berbisik pada Marie,

"Marie, setelah ini tunjukkan senyumanmu yang paling bahagia."

"Apa maksudmu, Miya?" Marie bingung.

Lalu pintu terbuka dan Sunandar berdiri di depan pintu. Tak ada ucapan untuknya dari anak-anak yang sedang menangis. Hanya ada Miya yang berdiri dan tersenyum sambil mengucapkan,

"Selamat datang tuan"

sedang Marie diam.

Kini Marie paham dengan apa yang dikatakan Miya, jika dia harus tersenyum lebar-lebar. Pasalnya, orang gila itu masuk ke dalam ruangan dengan membawa gunting 'Pinking Shears' yang bergantung diantara dua jemarinya lalu menghampiri si gendut yang menangis. Dengan satu kata yang menggema di setiap sudut raungan, Sunandar berkata "Diam!".

Marie tak bisa berbuat apa-apa ketika gunting itu memutus jari telunjuk kanan anak gendut itu. Si gendut menggeliat kesakitan. Dia berguling-guling seperti bola. Anak yang lain ikut menangis melihatnya, sampai salah satu anak disana menyerang Sunandar. Anak yang lain jadi ikut menyerangnya.

Marie dan Miya diam tak bergeming. Marie tak bisa apa-apa dengan kaki yang terpasung dan infus darah yang masih menancap. Tiga hari Miya meninggalkannya, berarti tiga hari tanpa makanan. Tidak ada anak lain yang membantu Marie selama tiga hari. Tenaganya dicukupkan bagi Marie untuk membuatnya tetap bernapas. Marie bertahan selama ini karena petuah Ratu yang lalu, karena Ratu mengisyaratkannya untuk tetap hidup.

Miya juga demikian. Miya ingin ikut mengeroyok orang yang telah merenggut keperawanannya, tapi Miya tahu dia tidak bisa meninggalkan Marie sendirian. Dia terlalu takut dengan Sunandar sekarang. Yang ada di pikiran Miya sekarang hanyalah bertahan hidup. Dia tidak bisa menyerangnya. Tidak, setelah tahu kekuatan Sunandar. Jadi Miya hanya menggumam mengutuk Sunandar tanpa selangkahpun berpindah dari tempatnya berdiri. Miya berdiri, melihat dan merapalkan kutukannya. Sedang Marie menutup matanya karena takut.

Beberapa saat kemudian, ke-10 anak yang mengeroyok, 5 anak tewas di tempat dengan luka di seluruh tubuhnya, 2 anak dibiarkan sekarat begitu saja, dan 3 anak lainnya selamat, karena berlari ketakutan dan bersembunyi dibalik tubuh kering Marie setelah Sunandar memakan mata salah seorang dari lima anak yang tewas.

Darah. Satu sisi ruangan sekarang bercat merah darah.

"Ah sial, aku melakukannya terlalu jauh." Ujar Sunandar.

Sunandar merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. Kemudian ia mendekatkan ponselnya ke telinganya. Dia menelepon seseorang. Miya berdiri membeku. Marie sibuk menenangkan ketiga anak yang lain yang sedang menangis tersendu-sendu.

"Halo, Vigor, bisa kesini sekarang?... 10 menit? ya, bawa mobil dan alatnya sekalian. huh apa? ya aku kelepasan. Oke." Sunandar mematikan ponselnya.

Sunandar menoleh ke belakang, kearah mereka berlima dan berjalan menghampiri mereka. Marie dan Miya saling menatap dalam sekejap, lalu kompak berkata,

"Ada yang bisa kami bantu tuan?"

Kata mereka berdua sambil tersenyum lebar. Sunandar membalas senyuman mereka dengan tersenyum juga lalu berlalu menuju ke atas. Lalu Marie berkata kepada ketiga anak yang lain,

"Jangan Menangis, jangan Sakit, jangan Lapar, jangan Mati. Tetaplah Tersenyum dan jadi Anak Baik."

Tak lama Sunandar kembali ke ruangan itu dengan membawa sekotak kardus. Ia meletakkan kotak itu di depan Marie. Sunandar membuka kardus itu yang ternyata berisi semprotan pembeku. Lalu dia menyuruh Miya mendekat padanya. Miya diberi satu semprotan pembeku itu.

"Bantu aku menyemprot mayat yang ada disana." Kata Sunandar kepada Miya.

Miya diam dan tak menjawab sepatah kata pun. Organ pendengarannya terlalu bising dengan kata-kata yang terngiang-ngiang di otak untuk tidak pernah mengendurkan otot wajahnya yang menjaga mimik muka tertawa.

"Hei?" Kata Sunandar ketika melihat Miya membeku.

"Aaaa mataku! Ba-baik tuan! saya lakukan, saya lakukan!" Kata Miya setelah mata kirinya terkena semprotan pendingin langsung.

Miya langsung bergegas menuju ke mayat semua anak. Sunandar tidak ikut menyemprot Mayat. Dia bergeming menatap Marie. Marie tersenyum.

"Ada yang bisa saya bantu tuan?" Tanya Marie.

"Sudah berapa lama, terakhir aku melihat mu sedekat ini, Marie-nya Sunandar, ah tidak, Marie ku sayang." Kata Sunandar.

Marie diam dan terus tersenyum.

"Marie sudah makan dengan benar?" Tanya Sunandar.

"Iya tuan." Jawab Marie.

Sunandar mengangkat tangannya kearah kepala Marie. Lalu dia memberikan Marie sebuah elusan kepala.

"Marie, Marie patuh pada tuan?" Tanya Sunandar.

"Iya tuan." Jawab Marie.

Sunandar mendekat ke telinga Marie, seraya berbisik,

"Marie, tetaplah hidup sampai Aku memintamu untuk mati."