webnovel

My Slave, My Servant, My Daughter

kisah tentang Pak Sumi, seorang intel kepolisian yang berhasil membuka kedok rumah Bordil dan menemukan hal yang lebih buruk daripada PSK (Pekerja Seks Komersial) yaitu menemukan seseorang yang akan merubah hidupnya untuk selamanya. kisah tentang keluarga, masa lalu, dan ambisi seorang anak. Kisah tentang suatu keluarga kecil yang berperan besar dalam beberapa kasus skala nasional, masa lalu yang penuh dengan intrik, persahabatan, juga kengerian dan kekejian, serta ambisi seorang anak untuk mendapatkan kepercayaan, cinta dan kasih sayang... ah dan juga tubuh. Cerita akan berkutat pada Marie dan Pak Sumi, lalu orang-orang yang terdekat seperti Bu Rati (Istri Pak Sumi), Tiga anggota daun Semanggi (Clover), dan tokoh antagonis. Apakah Marie bisa mendapatkan apa yang diinginkannya? berakhir bahagia atau tidak, itu semua pilihan anda, pembaca. *Penulis sangat tidak menyarankan untuk dibaca oleh anak-anak tanpa pengawasan Orang tua. Isi konten dan konflik cerita sangat mungkin TIDAK SESUAI untuk anak-anak (atau mungkin sebagian remaja baru). dimohon kedewasaan pembaca. **pict source: https://www.trekearth.com/gallery/Africa/photo1403560.htm

Cloud_Rain_0396 · Horror
Not enough ratings
102 Chs

Kepulan Anak-Anak yang Berusaha Bertahan Hidup

"Um, terima kasih." Kata Marie kepada anak yang berkata 'akk' itu.

Teriakan anak itu membuat semua anak yang ingin menyentuh Marie, kini menjaga jarak. Terlihat di mata Marie postur tubuh anak itu yang kurus tinggi, seorang anak laki-laki berkulit putih berambut pirang. Bagi Marie, ini adalah kali pertama baginya melihat anak dengan rupa seperti itu. Marie baru pertama kali melihat seorang 'bule' (1).

Kemudian anak-anak yang lain pergi meninggalkan Marie. Mereka hanya duduk, sesekali jalan, dan duduk lagi. Tidak ada yang bisa dimainkan di dalam ruangan itu.

Kemudian Marie berkata pada anak berambut pirang itu,

"Kamu siapa?"

Anak itu tiba-tiba duduk di sebelah Marie. Namun, Dia tak menjawab, anak itu hanya menoleh dan menekuk kepalanya ke samping kanan, tanda jika dia bingung dengan apa yang Marie bicarakan. Marie tahu jika dia kebingungan, lalu Marie berkata dengan tersenyum,

"Marie."

"Sialan!" Katanya sambil tersenyum.

"Si Alan? Alan?" Kata Marie.

"Sialan." Katanya.

"Alan... kan?" Kata Marie.

Sambil menggeleng-gelengkan kepala Ia berkata,

"Sialan!"

Marie kini kebingungan. Kemudian ada anak perempuan yang menghampiri Marie dari sebelah kiri. Dia menarik baju Marie. Marie menoleh.

"Kak, Sialan tidak bisa berbicara dengan kita." Kata Anak itu.

"Oh, oke! Marie!" Kata Marie sambil memandang Sialan.

Anak itu menganggukkan kepala dengan riang. Kini Marie tahu jika nama anak itu memang Sialan.

"Makasih! Marie!" Kata Marie menengok ke arah anak perempuan yang barusan di belakangnya.

"Miya." Kata Miya tersenyum.

Miya, anak itu badannya jauh lebih kecil daripada Marie, namun, lebih berisi. Dia berpakaian lebih rapi dan lebih bersih daripada anak yang lain yang ada di sini. Dia memakai kacamata minus dan silinder. Miya duduk di samping Marie juga. Marie diapit mereka berdua.

"Jadi sebelum ini kakak dimana?" Tanya Marie.

"Di rumah." Kata Miya polos.

"Iya juga, ya ha-ha." Kata Marie.

"Um, kenapa tangan kakak? sakit?" lanjut Miya sambil menunjuk tangan Marie yang putus.

"Ini, ehehe (Marie berusaha tertawa) dipotong sama ibu." Jawab Marie polos.

"...Oh um." Kata Miya.

Miya menyesal telah bertanya.

"Tapi, tapi itu karena Marie nakal. Marie gak 'nurut' sama ibu." Lanjut Marie.

"I-iya ehehe." Kata Miya.

"Miya juga, itu kenapa?" Tanya Marie sambil melihat pada ujung jari Miya.

Ujung jari tangan anak itu hampir semuanya berlumuran darah.

Tapi Miya bergeming. Miya masih berpikir. Selama ini saat Dia masih di rumahnya, tak sekalipun ibunya berbuat seperti itu, meskipun Dia telah membuat ibunya terluka. Paling keras, ibunya hanya memukul pantatnya.

"Itu kenapa Miya?" ulang Marie.

"Ah, ya.. bagaimana ya, ehehe." Kata Miya.

Lalu Marie, anak yang duduk dan terpasung kakinya sedangkan tangan yang satu terangkat ke atas itu bertanya lagi,

"Miya, umur?"

"13 tahun. Kakak?" jawab Miya.

"Gak tau (>.<)!" Kata Marie.

Marie sendiri berumur tepat sepuluh tahun. Marie lebih muda 3 tahun dari Miya.

"Kau tahu kak, Kata ibu, Miya akan dijemput saat Miya berumur 15 tahun nanti. Lalu Miya akan keluar dari sini." Kata Miya dengan antusias.

"Keluar dari sini?" Tanya Marie.

"Iya dong! kalau kakak bagaimana?" Miya bertanya.

Sambil tersenyum Marie tertunduk. Dia berkata,

"... Marie rasa ibu membenci Marie."

"Oh, aa..." kata Miya.

Miya merasa tidak enak sekarang. Dia keceplosan lagi bertanya tentang Ibu Marie.

Tiba-tiba suasana mendadak berubah. Ada salah seorang anak yang menangis. Dia terjatuh saat berlari, mukanya terbentur lantai begitu saja. Marie kaget karena anak yang berada disampingnya, Sialan, berdiri dan menghampiri anak yang menangis itu. Dia lalu menampar anak yang menangis itu. Dia cengkeram rapat-rapat anak itu dan berteriak pelan pada telinga anak itu.

"Hentikan, jangan bertengkar!" Kata Marie.

"Sialan..." Kata Miya.

kemudian Miya berdiri menghampiri mereka berdua.

"Jika Kamu tetap berkata tidak jelas begini, bagaimana dia bisa tidak menangis lagi. Sudah tak apa, jangan menangis lagi." Kata Miya.

Lalu Miya berbisik sesuatu kepada anak itu. Akhirnya anak itu diam dan berjalan ke pojok ruangan. Dia duduk disana sambil memeluk dengkulnya, sedang Sialan dan Miya kembali duduk di samping Marie. Mereka bertiga duduk bersebelahan dengan Marie berada di tengah, sedangkan anak-anak yang lain ada di sisi yang lain. Anak-anak itu sedang duduk, ada yang berdiri, atau jalan.

"Miya, Tadi Miya berkata apa sama dia?" Kata Marie.

"Miya bilang begini 'dek, kalau adek berhenti menangis nanti kakak 'beliin' es krim loh' begitu." Kata Miya.

"Oh ahaha." Marie tertawa.

Lalu mereka diam sebentar. Tak lama setelah itu Marie berkata,

"Miya, Miya sudah lama?"

"Sudah lama?" Tanya Miya.

"Disini." Kata Marie.

"Iya, Miya sudah 2 tahun di sini. Ah iya juga. Marie, nanti kalau ada Orang itu, Marie harus tersenyum ya, jangan menangis." Kata Miya.

"Orang itu?" Tanya Marie.

Kemudian pintu terbuka. Suara pintu yang berdecit membuat semua anak-anak yang ada di ruangan itu menutup telinga. Orang yang masuk adalah Sunandar.

"Halo anak-anak!" Kata Sunandar.

Dia memakai kaus dalam dan celana pendek berkolor.

Seluruh anak-anak itu berdiri. kecuali Marie karena Dia terpasung.

"Kalian kedatangan teman baru." Kata Sunandar.

Datang dari belakang Sunandar adalah dua orang anak perempuan. Kedua anak itu memakai baju kumal. Sunandar baru saja memungut anak-anak itu dari jalanan.

"Ah tadi Aku melihat ada yang menangis. Siapa itu ya?" Kata Sunandar.

Sunandar bisa melihat ke dalam ruangan itu menggunakan CCTV yang terpasang di dalam ruangan itu.

"Apa itu kamu Sialan?" Kata Sunandar.

Sialan tersenyum lebar.

"Wahahaha Kamu masih saja tidak bisa apa-apa. Hm, tapi Aku rasa bukan kamu. Atau mungkin kamu Miya atau kalian semua?" Kata Sunandar.

"Tidak tuan, Miya tidak menangis." Kata Miya

Miya terlihat tersenyum.

Kemudian Pak Awan mendekat ke Miya.

"Hm? ah tinggal dua tahun lagi ya Miya." Kata Sunandar kepada Miya.

"Iya tuan!" Jawab Miya bersemangat.

"Ya, tunggu saja dulu, jadi anak baik di sini, dan jangan menangis." Kata Sunandar.

"Iya!" Jawab Miya.

Lalu Sunandar melihat jam tangannya.

"Cukup. Ya sudahlah. Cepat ikut aku." kata Sunandar sembari berlalu dari ketiga Marie, Sialan, dan Miya.

Lalu Sunandar mengambil anak yang menangis tadi dan pergi ke atas lagi. Pintu ditutup, terdengar bunyi pintu yang terkunci. Semua anak kembali seperti pada awalnya, sedang Sialan dan Miya kembali duduk ke samping Marie.

"Kak Marie lihat tadi, jika kita menangis, Kita akan langsung dibawa sama orang itu." Kata Miya.

"Miya tahu kita mau dibawa ke mana?" Kata Marie.

"Tidak tahu, tapi yang jelas yang dibawa tak pernah kembali ke sini. Setiap yang dibawa pasti sebelumnya menangis, dia datang, lalu dibawa. Padahal tuan tidak di sini waktu anak itu menangis. Bagaimana ya cara Tuan melihat siapa yang menangis?" Kata Miya.

"Tapi-tapi, Miya kurang sedikit lagi bisa ketemu dengan keluarga kan?" Tanya Marie.

"Iya! kurang dua tahun lagi." Jawab Miya.

"Tahun itu apa ya?" Kata Marie polos bertanya pada Sialan.

Sialan diam saja di tanya oleh Marie. Marie ingin melibatkan anak di sebelahnya juga dalam pembicaraan.

"Ee.. Kak Marie, Sialan gak bisa ngomong." Kata Miya.

"Ah, ehehe." Kata Marie.

"Hmm apa ya tahun itu... kalau kata ibu pokoknya..." Kata Miya terpotong.

Anak itu berlari ke tumpukkan kerikil di sudut ruangan itu.

"Ibu berkata padaku, Jika aku telah mengumpulkan batu dan sudah sampai 365 batu, maka sudah satu tahun." Kata Miya.

Miya mengumpulkan kerikil lalu menempatkannya di sudut ruangan sekali setiap hari. Miya lakukan itu saat sarapan datang.

"Um, Miya, itu berapa jumlahnya?" Tanya Marie.

"Hmm, mungkin baru 300-an." Jawab Miya sembari dia berjalan dan duduk lagi di samping Marie.

"Ah tapi bukan hanya itu saja." Sambung Miya.

"Um?" Marie kebingungan.

"Marie, coba lihat di sekitar sini, coba lihat dindingnya." Kata Miya sambil melepas kacamatanya karena lelah.

Lalu Marie menoleh ke belakang. Marie baru menyadarinya. Dinding putih kusam di tempat ini, jika dilihat baik-baik, memiliki pola polkadot putih merah (dengan merah sebagai titik). Lalu Marie menghadap lagi ke Miya.

Sambil menunduk melihat ke arah jemari yang terluka miliknya, Miya berkata,

"Aku tidak menemukan lagi kerikil di sini. Lalu Aku tandai hari dengan ini." Kata Miya sambil memperlihatkan jemarinya yang berdarah, lalu Miya tersenyum.

Di lain sisi Sunandar membawa anak yang menangis itu menuju ke ruangannya.

Malam itu, saat semua anak telah tidur pulas, Marie melihat ke samping, terlihat Miya yang sedang tidur.

"Um, Marie masih tidak mengerti, kenapa Kita tidak menangis saja agar kita semua bisa keluar dari tempat ini." Kata Marie.

Miya yang menutup matanya, melek dan melihat Marie. Dia berkata,

"Setelah keluar, lalu bagaimana? Aku takut." Kata Miya.

"Apa yang Miya takutkan?" Tanya Marie.

"Kak, aku takut jika, mungkin keluar dari sini bukan sesuatu yang baik." Kata Miya.

"Apa maksud Miya?" Tanya Marie.

"Bisa saja kita akan dimakan oleh orang yang jahat. Sudah, ayo tidur." Kata Miya sembari memberikan elusan kepala kepada Marie.

"Ehehe, iya." Marie menutup matanya.

Intuisi Miya benar. Jika Mereka keluar karena menangis, Mereka akan dimakan oleh orang lain.

(1) Bule: orang kulit putih (terutama orang Eropa dan Amerika); orang Barat. -KBBI

Cloud_Rain_0396creators' thoughts