Hari pertama telah Marie dan Lili lalui dengan baik. Hari kedua bukan merupakan hal yang sulit. Marie tidur dan bangun. Lili mulai peremajaan ototnya. Untuk alasan yang tidak diketahui, entah mengapa Lili masih ingat dengan kesalahannya kemarin.
Lili masih tidak mengetahui pasal kematian ayahnya. Baik Pak Warno maupun Pak Sumi merasa harus melihat sendiri jasadnya untuk konfirmasi kematiannya, meskipun memang telah dikonfirmasi oleh kepolisian setempat. Sebenarnya hal itu (Pergi ke luar negeri) adalah hal yang tidak perlu dilakukan, namun, Pak Warno mempunyai alasan tersendiri mengapa dirinya melakukannya. Pak Warno juga ingin mengajak Pak Raymond untuk hal ini, tapi saat ini Pak Raymond sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Lili mempunyai ingatan yang buruk. Tapi sepertinya tidak dengan ayahnya, dengan janji manisnya dengan ayahnya untuk bersua kembali. Setidaknya hanya dua hal itu sudah memenuhi kapasitas otaknya. Marie telah sangat akrab dengan Lili, meskipun baru dua hari, um 4 jam bertemu, karena dia hanya bertemu saat bangun. Marie memang pernah punya teman. Tapi itu dulu. Temannya itu sudah tidak hidup. Tidak berbentuk.
Marie tertidur lagi setelah puas bermain dengan Lili. Lalu Lili melanjutkan bersih bersihnya. Mencuci piring, baju, menyapu, mengepel, mengelap kaca. Sampai akhirnya pintu terketuk. Lili menuju ke depan, mengintip melalui tirai jendela. Seorang pria tersenyum dan berkata "Lili."
"Papa!!" Kata Lili. Gugup, Lili berusaha membuka pintu meskipun tahu jika pintunya terkunci. Kemudian Lili berlari ke belakang, membuka pintu, meloncat pagar kayu pemisah taman berlari menuju orang yang telah dikabarkan mati, Papanya. Lili memeluk orang itu.
Sementara itu, Pak Sumi dan Pak Warno keduanya hari ini dijadwalkan terbang jam 9 pagi. Semua seperti rencana Pak Sumi malam tadi. Mereka diantar oleh Quora ke Bandara Juanda. Pesawatnya delay (terlambat) satu jam, Mereka baru bisa naik pesawat jam 10 pagi.
Pak Sumi mengirimkan foto ke istrinya jika ia baru bisa berangkat jam 10 pagi. Bu Rati membalasnya dengan berucap,
"hati-hati di jalan."
Saat di dalam pesawat, baik Pak Sumi dan telepon genggamnya ada dalam mode pesawat. Telepon genggam Pak Sumi kehilangan fitur penerima telepon, sms dan internet karena tidak ada jaringan apa pun. Pak Sumi juga kehilangan kesehatan primanya, karena mabuk udara.
*Hoek, Hoek. Pak Sumi memuntahkan semua sarapannya ke dalam kantong plastik hitam di pesawat.
"Kau ini sum, ternyata tidak kuat saat seperti ini. Kita baru saja take off loh." Kata Pak Warno.
"Maaf.... (hoek)" Kata Pak Sumi.
"Ahahaha! Ya keluarkan saja dulu. Nanti kita pesan katering." Kata Pak Warno
Lima menit kemudian kondisi Pak Sumi mereda. Mereka memesan katering di pesawat yang harganya tidak masuk akal (terlalu banyak margin yang ditambahkan disana, sehingga harganya mahal, tapi harga tidak menjadi masalah bagi Pak Warno)
"Ngomong-ngomong, kenapa aku juga diajak ke saudaramu war?" Tanya Pak Sumi.
"Kenapa? aku terlalu malas kalau aku sendirian, ah mbak, pesan air putih lagi, sama kresek hitam dua." Kata Pak Warno pada pramugari pesawat yang baru saja menyiapkan makanan bagi mereka berdua.
"Hanya itu? War, kalau begitu lebih baik bagiku jika aku berada di kantor. Kau bisa mengajak yang lain, kau tahu urusan pembunuh berantai itu belum selesai kan?" Kata Pak Sumi.
"Ya aku tahu itu, tapi sebenarnya ada hal yang lain mengapa harus kau dan atau Raymond yang menyertaiku." Kata Pak Warno seperti menyembunyikan sesuatu.
"Huh? Kenapa?" kata Pak Sumi dengan mulut penuh potongan daging asap.
"Pertama alasan sampingannya adalah karena kalian teman baik ku, aku juga ingin ke luar negeri bersama. Kedua alasan utamanya aku ingin tahu kenapa kematian saudaraku itu bisa terjadi."
"Ah, hm... katamu Dia lompat dari apartemennya dan tubuhnya hampir tidak bisa di identifikasi karena langsung tertimbun lapisan semen baru..." Kata Pak Sumi.
"Ya itu yang dikatakan oleh kepolisian Malaysia kepadaku." Kata Pak Warno.
"Itu yang kau katakan padaku kemarin war, memang apa salahnya?" Tanya Pak Sumi.
"Saudaraku itu, orangnya agamis, dia tidak mungkin bunuh diri. Sangat tidak mungkin." Jawab Pak Warno.
"..."
"Kalaupun dia memutuskan bunuh diri..." Kata Pak Warno.
"Huh?" Kata Pak Sumi bingung.
"...Pasti ada alasan yang sangat kuat." Lanjut Pak Warno.
"Oh jadi kau mengajakku untuk menyelidiki motifnya? lalu Raymond sebagai pertimbangan klinis tentang mayatnya?" Tanya Pak Sumi.
"Yes. Kau benar ah Aku ke toilet dulu." Kata Pak Warno.
Kemudian Pak Warno beranjak dari tempat duduknya.
Perjalanan dari bandara Juanda ke Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur membutuhkan waktu tempuh sekitar 1,5 jam. diatas awan Pak Sumi dan Pak Warno berada. Tak butuh waktu yang lama sampai tak terasa mereka telah hampir sampai ke tempat tujuan.
"Ah hampir lupa sum." Kata Pak Warno.
"Hm? apa?" Kata Pak Sumi menengadah menghadap Pak Sumi.
"Nanti kita langsung ke kantor kepolisian di sana, Aku punya kenalan. Katanya Dia juga akan menjemput kita di Bandara." Kata Pak Warno.
"Oke." Jawab Pak Sumi singkat.
Pak Warno berlalu. Baru memalingkan muka, Pak Warno kembali lagi dan berkata,
"Ah iya, Satu hal lagi."
"?" Pak Sumi bingung.
"Sampai kapan Kau akan terus memegangi kresek hitam itu didepan muka mu?" Kata Pak Warno.
"Ya kau tahu kata orang kalau take off saja sudah seperti itu, apalagi saat landing nanti." Kata Pak Sumi.
Satu jam setelah itu
"Kepada seluruh penumpang Air Asia, diharapkan memakai sabuk pengamannya, pesawat akan segera mendarat, terima kasih." Kata pramugari di sound pesawat.
(Hoek)
...
Sementara itu di kediaman Pak Sumi, orang yang dianggap sebagai papa oleh Lili, ditarik badannya oleh Lili ke dalam rumah melalui pintu belakang. Mereka kini duduk di ruang tamu. Senang sekali Lili, dia memeluk lengan besar itu, sepanjang waktu. Orang itu memang Ayah Lili. Tidak mungkin Lili melupakan yang satu ini.
Orang itu membawa sebuah tas. Lili yang terbuai dalam perasaan bahagia, menanyakan apa isi tas tersebut. Dia berharap itu adalah buah tangan dari sang papa. Ternyata benar. Itu adalah sesuatu untuk Lili.
Kemudian lelaki setengah tua itu mulai membuka tasnya. Isinya adalah sebuah kotak makan. Lili kebingungan apa maksud ayahnya yang menyiapkan sebuah kotak makan. Lalu kotak tersebut diberikan kepada Lili.
"Apa ini Pa?." Kata anak kecil itu masih kebingungan.
Dia pikir itu adalah benda yang bukan sebuah makanan.
"Ini untuk Lili, buka saja." Kata lelaki itu dengan senyum di wajahnya.
Dari luar rumah, terlihat rumah Pak Sumi yang sedang sepi. Meskipun kediaman Pak Sumi sedikit lebih ramai karena banyak pemuda mahasiswa/i yang 'berkeliaran' di sekitar. Namun tetap saja, karena kondisi rumah yang terkunci rapat tampak tidak ada yang terjadi disana.
Rasa bingung Lili kemudian hilang lantaran dia tahu jika itu memang untuknya. Dia membuka itu dan isinya hanyalah sebuah ubi yang sudah dipotong-potong.
"Makan Nak." Kata lelaki tua itu.
Lili pun menurutinya dan memakannya, akan memakannya.
"Uh....Uh~" Kata Marie di dalam Kamar.
Secara tiba-tiba Lili dikejutkan dengan bangunnya Marie. Tak jadi memakan ubi itu, Lili buru-buru melihat kondisi Marie.
"Lili? mau kemana?" Kata Lelaki itu yang masih duduk di sofa.
"Anak itu sudah bangun. Ayo yah aku tunjukan teman baruku! Ayo sini!" Kata Lili yang kemudian menarik tangan Ayahnya masuk ke kamar Marie bersamanya.
Kali ini ada yang aneh dengan bangunnya Marie. Namun keanehan itu tidak bisa ditangkap oleh Lili. Marie kali ini bangun dengan tujuan yang berbeda. Marie bangun kali ini untuk Menyelamatkan Lili dari kematian. Sebuah keniscayaan bahwa Marie hanya punya waktu sekali dalam sehari untuk membuka matanya. Namun, belum ada 24 jam sejak Marie tidur, Anak itu sudah bisa terjaga lagi.