Malam itu Deni pulang ke rumah berdua. Satu yang masih hidup membawa yang mati. Dia memaksa mengangkut sendiri jenazah istrinya dengan mobilnya, tanpa melakukan autopsi. Pihak keluarga istrinya baru diberitahu atas kematian Sarah sehari setelah hari kematiannya. Namun, disaat yang bersamaan hari itu adalah hari dimana Deni harus ke Malaysia. Semua pertanyaan yang menyerang Deni tentang penyebab kematian istrinya selalu dijawab dengan jawaban yang sama, yaitu Migrain.
Seperti kematian istrinya, hanya sedikit orang juga yang menyaksikan kepergian Deni. Sang istri yang dilihat oleh Deni dan Deni yang dilihat oleh Lili dan Pak Warno. Hujan yang turun membuat malam itu semakin menyedihkan, terlebih bagi Lili. Pada pagi hari, Pak Warno dan Deni bertolak ke bandara. Rencananya Lili ditinggal sendirian di rumah, tapi anak itu terbangun dan merengek ingin ikut. Dia tidak ingin ditinggal papanya. Dia ingin bersama papanya itu.
Saat mereka berada di Bandara.
"Den, apa kau yakin dengan ini?" Kata Pak Warno.
"Tiket pesawat sudah dipesan, besuk juga adalah hari pertama masuk ke kampus." Jawab Deni.
Mereka sedang berada di depan pintu masuk batas penjemput dan penumpang.
"Lalu?" Kata Pak Warno terpotong.
"Papa? Papa mau pergi kemana? Papa… mama... mama hilang, papa juga, papa juga mau meninggalkan lili?" Kata anak itu sesenggukan.
"Lili…" kata Deni.
"Kak, amnesianya Lili makin parah." Lanjut Deni kepada Pak Warno.
"Kalau Kau jadi ke Malaysia hal ini akan semakin parah. Bahkan disaat ibunya meninggal pun dia tidak ingat." Kata Pak Warno.
Deni lalu membungkukkan badan, memosisikan kepalanya sama dengan tinggi badan Lili.
"Lili, dengar nak, ini memang lama, tapi tolong janji ya sama papa." Kata Deni.
*Hiks-hiks "janji apa itu, Papa?" Tanya Lili.
"Ingat apa yang papa selalu ucapkan pada mama? 'papa pasti akan kembali pada Lili, Tapi Lili jangan nakal, papa pasti kembali." Kata Deni tersenyum palsu dengan mata yang telah mati.
"Jadi kalau Lili tidak nakal, Papa akan kembali kesini?" Tanya Lili.
"Tentu, tapi jangan nakal ya selama di Pak Warno." Kata Deni.
Deni memeluk Lili untuk yang terakhir kalinya. Kemudian Deni berdiri memalingkan muka ke Pak Warno.
"Kak, titip Lili, mungkin lebih baik jika aku ke luar negeri. Ini juga untuk menenangkan pikiranku." Kata Deni.
"Baiklah jika itu maumu, jangan kuatir Lili aman di sini." Jawab Pak Warno.
Kemudian Deni pun berangkat ke Malaysia.
Besuk adalah hari ini, Deni belajar di UM. Baru juga sehari kuliah ia telah rindu pada istrinya. Dia banyak bengong dan tak memperhatikan pelajaran. Hari pertama Ia lalui dengan buruk, sampai akhirnya Dia pulang di apartemen.
Telepon genggamnya berdering, itu adalah telepon dari Pak Warno. Bukannya suara bapak-bapak lapuk, dia hanya mendengar suara berwarna nada tinggi Itu adalah suara Lili. Anak kecil itu rupanya sudah kangen sama papanya. Mereka bertelepon sampai satu jam lamanya, karena lelah, Lili tertidur. Lalu ganti pak Warno yang mengangkat teleponnya. Dia bertanya satu pertanyaan yang menohok bagi Deni, yaitu tentang tas sekolah Lili.
"Memang apa yang salah dengan tas kecil warna pink?" Tanya Deni.
"Bukan itu, tapi barang bawaannya, kenapa Kau menyiapkan sebuah racun tikus di tas Lili?" Tanya Pak Warno.
Deni kaget. Pak Warno tidak tahu tentang racun tikus yang merupakan penyebab terbunuhnya Sarah.
"Lah mana mungkin Aku yang melakukannya." Kata Deni.
"Tapi di tas Lili ini ada satu kotak racun tikus. Hm ya mungkin teman-temannya di sekolah iseng." Kata Pak Warno.
"Aku tidak tahu, kak, tolong tanyakan dari mana Lili mendapat racun tikus itu. Aku khawatir dengannya." kata Deni.
"Ee, baiklah, sudah dulu den aku ada urusan, Assalamualaikum." Kata Pak Warno.
"Waalaikumsalam." Jawab Deni.
Kemudian Telepon ditutup.
Deni memejamkan mata sebentar dalam posisi duduk. Lalu Ia bangkit dan berjalan keluar apartemen dan menuju ke lantai paling atas apartemennya. Pada malam itu kondisi rooftop apartemen selalu sepi, kenyataannya rooftop apartemen itu selalu sepi pada malam hari. Kemudian Deni berteriak sekencang yang ia bisa. Suara pekikkan itu tiada yang dapat mendengarnya meskipun ia berteriak sekencang apa pun.
Pikiran Deni sederhana "LILI MEMBAWA RACUN TIKUS, RACUN ITU YANG MEMBUNUH SARAH, LILI MEMBUNUH SARAH."
Deni berteriak sampai letih. Kemudian azan isya berkumandang, Ia segera ke masjid seperti biasa. Deni adalah orang yang sangat rasional namun dilain sisi dia juga sangat emosional. Dengan ke masjid untuk salat bersama orang-orang lain (berjamaah), ia menjaga tingkat kewarasannya agar tetap terjaga di saat Ia merasa tertekan. Bukan karena tuntunan tuhan atau apa, tapi motivasinya hanya ini semata, untuk membuatnya tetap waras.
Hari kedua di kampus.
Tidak ada yang menarik disini baginya, bahkan dengan materi perkuliahan. "Semua hambar." Bukan hanya karena kematian istrinya, tapi juga kemungkinan jika Lili, anak kandung idiot itu yang membunuh Sarah. Namun, bagi orang ber-IQ 200 itu, pelajaran kuliah hanya menjadi hal yang kecil baginya. Meskipun Ia tidak pernah sekalipun mendengarkan paparan dosen, otaknya cukup mampu menjawab semua kuis dadakan yang diadakan hari ini. Sampai siang hari belum ada kabar dari Warno.
Dengan tampang 'Baby face' nya, baru hari ke-2 dan Deni sudah dipalak oleh mahasiswa lain yang lebih muda (*namun mukanya terlihat lebih tua dari Deni). Hal itu terjadi saat Deni duduk di kafetaria, saat Dia akan santap siang. Lalu ada 4 orang bertubuh tinggi besar menghampirinya.
Mereka mengira Deni adalah mahasiswa yang baru lulus dari SMA. Mereka meminta uang. Tanpa diduga Deni memberikan mereka uang, Deni memang selalu ringan tangan. Tapi jika hanya RM 50 itu tidak cukup bagi mereka. Mereka meminta lebih. Deni mulai kesal dengan tingkah mereka. Deni menolaknya. Lalu mereka membawa Deni dengan paksa ke toilet pria. Lelaki 32 tahun itu sekali lagi dipaksa untuk memberikan uangnya.
Tapi Deni bergeming, seakan pikirannya sekarang hanya tertuju pada pertanyaan Pak Warno kemarin. Lalu sebuah pukulan menyasar ke perutnya. Tersungkurlah lelaki itu. Seketika Deni sadar dari pikirannya sendiri. Lalu Dia berdiri.
"Maaf, tapi apa yang sudah ku perbuat pada kalian (Sehingga aku dipukul)?" Kata Deni.
Ia benar-benar tidak sadar dengan lingkungan sekitarnya apa yang terjadi sebelum ini.
"Ha? Kami minta uangmu." Kata salah seorang dari mereka.
Kemudian dia (yang berkata demikian) hendak melayangkan satu pukulan lagi ke bagian perut. Sedangkan tiga orang yang lain, tidak membantu apa-apa mereka menyangka tidak akan ada masalah jika tubuh lawannya terdapat perbedaan yang mencolok.
Bak pepatah mengatakan buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, dan keniscayaan bahwa terdapat perbedaan yang sedikit antara seorang idiot dan seorang jenius, mereka berempat seperti membangunkan sesuatu yang lain dalam tubuh Deni.
Dengan cepat Deni mengubah laju pukulan tangan kanan itu dengan tangan kirinya, dan secara bersamaan Ia menarik tangan kanan orang itu dan menariknya ke arah kanan milik Deni. Tubuh orang itu tidak goyah jika hanya itu yang dilakukan, maka Gerakan itu diikuti dengan tangan kanan Deni yang memegang bahu kanan orang itu dan ikut menarik tubuhnya ke arah kanan. Kenyataannya Deni hanya memanfaatkan momen ketika badan gempal itu maju kedepan ketika memukulnya.
Tak cukup sampai disitu, Deni mengarahkan siku kanannya ke depan. Bukan ke arah kepala, melainkan kearah leher. Deni melakukannya dengan sekeras yang dia bisa. Sontak orang itu langsung tersungkur karena lehernya terkena pukulan siku. Itu membuatnya sulit bernafas hingga akan merasakan kematian.
Meliat hal itu ketiga orang yang tadinya hanya menonton ikut menyerang Deni. Tentu saja ada perbedaan kekuatan yang jelas disini. Ketiga orang itu dengan tangan kosong, Deni dengan pulpen di saku dan Cutter yang didapatnya dari orang yang pertama jatuh. 4 jam telah berlalu, dan kejadian ini membuat Deni dalam masalah. Bukannya ia harus dibawa ke fasilitas kesehatan, tapi ia harus berurusan dengan polisi setempat karena telah membunuh 4 orang mahasiswa tingkat 3 di UM.