Entah kenapa tidurku akhir-akhir ini tidak tenang. Sangat ingin kukatakan,
"hei aku sedang berusaha tidur di sini," tapi tentu tidak mungkin bisa ku lakukan.
Aku sedang tidur. Meski Aku bangun pun lidahku tetap tak bisa bergerak sesuai yang Ku inginkan. Bahkan Aku merasa jika saat bangun, Aku merasa jika diriku bukan diriku yang sama. Aku selalu tidak bisa mengatakan apa yang ingin Ku katakan, tak bisa merasakan apa yang ingin ku rasa. Juga emosi sedih, senang, hampa, kenyang, lapar, tak bisa… tak pernah kurasakan lagi.
Namun sekarang mungkin berbeda.
Akhir-akhir ini mungkin ada yang benar-benar menyayangiku. Akhir-akhir ini mungkin ada yang benar-benar merawatku. Akhir-akhir ini mungkin Aku benar-benar merasa nyaman.
Aku lupa, sejak kapan Aku bisa tersenyum seperti ini. Ah maksudku tersenyum karena aku ingin tersenyum bukan karena Aku harus melakukannya. Namun tetap saja... Aku masih harus belajar mempelajari bagaimana caranya mengungkapkan ekspresi yang benar-benar Aku inginkan.
Aku dibawa oleh orang yang (kemudian) kuanggap sebagai ayah. Dia membawaku dari mimpi buruk (hm, atau mungkin itu bukan mimpi buruk, tapi kenyataan buruk yang terus berulang hingga Aku tidak merasakan hal itu sebagai kenyataan tapi sebagai mimpi buruk, hei bahkan Aku sudah melupakan mimpiku) ke tempat yang mungkin akan ku sebut itu rumah, ah Aku akan mempertimbangkan ajakannya itu. Itu membuat seolah Aku mendapatkan hal yang baru meskipun sekarang Aku pikir harus melepaskan temanku, karena dia jahat.
Seorang teman yang membuat ku tetap hidup. Seorang teman yang kadang menggantikanku saat Aku harus tersakiti. Dia itu bukan manusia, karena selama ini Aku belum pernah melihatnya makan ataupun minum. Kadang Aku merasa jika hanya Aku yang dapat melihatnya.
Waktu itu Aku bangun dengan perasaan yang berbeda. Tak seperti biasanya, Aku yang seharusnya melihat langit-langit kamarku malah melihat ruang tamu.
"Wah aku terbang, apa ini yang namanya kematian?" Batinku.
Tapi ternyata tidak. Kulitku merasakan ada sesuatu yang hangat. Ah ternyata ada seseorang yang sedang menggendongku.
Apa itu adalah Ayah? Tapi kenapa dia menggendongku? Bukankah Dia rahu kalau Aku keluar dari kamar itu, dari ranjang yang ada alat penunjang hidupku, Aku akan segera mati? Apa dia yang menggendongku ini adalah Ayah? Apakah dia orang yang sama dengan orang yang berkata padaku 'apa kamu ingin bebas' seperti yang Ayah lakukan?
Hal itu tidak mungkin. Orang itu sangat baik. Dia Ayahku! Dia tidak mungkin membunuh anaknya sendiri. Atau mungkin... ternyata Ayah sama seperti ayah-ayahku yang sebelumnya, yang selalu mencoba untuk menyakitiku? Membuang dan membunuhku?
Tapi tidak. Rasanya berbeda. Jika Ia adalah Ayahku (saat ini), ini (cara menggendongnya) akan terasa lembut. Namun, cara menggendongnya kali ini membuat badanku sakit semua. Kemudian Aku mendengar suara yang sangat keras. Lalu orang yang menggendongku jatuh. Aku pun jatuh jua. Tapi untung bagiku, ada tangan yang lebih kecil, tangan yang sangat kecil dan pas di badanku. Dia menangkapku. Aku melihatnya, Ah Ia adalah seseorang yang kuanggap sebagai kakakku, Lili. Dia melindungiku.
Setelah itu pun, tangan mama yang hangat membawaku kembali ke kasur dan menyambungkan kembali alat-alat itu. Aku langsung tahu kalau itu tangan mama, karena... ee, pokoknya tahu saja!
Aku selamat. Untuk saat ini. Karena Aku merasa Aku seperti melihat memori kehidupanku saat lampau tanda jika kematianku sudah dekat.
Tapi, tapi... mungkin Aku ini memang seseorang yang tidak pantas untuk hidup. Mungkin Aku seharusnya sudah mati sejak dulu. Sejak pertama kali Aku lahir, harusnya Aku langsung mati.
Aku tidak tahu apa itu kebahagiaan, ataupun kesedihan. Aku tidak tahu apa yang membuat ku tertawa atau menangis. Namun ada satu hal yang Aku tahu. Mungkin saja, Aku sempat berpikir jika mungkin Aku masih hidup karena orang lain berkorban untukku.
Dream, one of them is mine. Nightmare. One of them is my life.
Ini adalah kisah ku, seorang anak yang diberi nama Marie. Entah kenapa itu menjadi namaku, tapi karena orang-orang di sekitarku mulai memanggilku dengan sebutan itu, Aku pun menyadari kalau itu adalah panggilanku. Namaku itu seperti sebutan orang yang suci dari kota 'An-nashira', Kota Nazareth. Namun dipelesetkan menjadi namaku sekarang ini.
Aku tidak tahu apakah kehidupanku ini termasuk menyedihkan atau menyenangkan karena Aku tidak mempunyai tolak ukurnya. Namun, saat bertemu Ayah, Aku tahu jika kehidupanku itu buruk. Lagi-lagi, seharusnya aku sudah mati disana.
Sejak pertama kali Aku bisa mengingat, paling jauh ingatanku adalah bau busuk. Bau yang busuk seperti bau bahan organik yang telah teroksidasi atau bahan organik yang setengahnya terurai oleh pengurai (dekomposer). Aku tidak tahu itu apa, tapi itu seperti berkutat di sekitarku. Aku menangis, terus menangis, tanpa tahu apa sebabnya. Saat itu semuanya gelap, senyap. Hingga Aku mendengar suara. Entah suara apa itu, namun yang pasti itu seperti suara tepuk tangan. Satu, bergerombol, jadi banyak dan bersahut-sahutan.
Kemudian suasana gelap itu berganti terang. Ada sesuatu yang membuat di sekitarku menjadi terang. Aku masih menangis. Kemudian Aku merasakan sesuatu yang menarikku ke arah atas. Dia perlakukan Aku dengan lembut. Benda yang menyentuhku itu terasa kasar. Ah itu adalah tangan. Tangan itu kasar, tapi menyapu secara perlahan dan lembut. Aku menemukan kehangatan baru. Aku berhenti menangis. Hal itu tidak berlangsung lama. Kenyataannya setelah itu Aku seperti mendengar suara orang yang gaduh. Kemudian Aku mendapati tubuhku sedang dibawa.
...
...
Kenyataannya hal tersebut adalah kenyataan dari apa yang dialami oleh Marie saat pertama kali dia dilahirkan. Marie, adalah anak dari Rupiah. Wanita itu membuang (baca: meletakkan) bayinya sendiri di tong sampah. Tak berhenti bayi itu menangis, Bayi itu, Marie. Marie terus menangis sejak di dalam tong sampah. Jika saja Pak Awan tidak menemukan bayi itu Marie pasti mati hari itu juga.
Pada waktu itu adalah Hari Minggu. Pak Awan saat itu sedang menuju ke Gereja untuk misa mingguannya. Awalnya Ia melakukan hal itu hanyalah sebagai penyamaran belaka, tapi karena Ia melakukannya dengan rutin akhirnya Dia benar-benar terdoktrin akan ajaran agama, dan kemudian suatu hari Dia terbesit untuk bertobat. Takdir berkata kematian dan ungkapan dosanya di depan Pak Sumi akan menjadi caranya untuk bertobat.
Pak Awan menemukan Marie. Seseorang wanita dari gereja menegur Pak Awan dengan keras. Hal yang lumrah bagi orang yang melihat seseorang yang mengeluarkan seorang bayi dari tempat sampah. Dengan cepat Pak Awan masuk ke dalam gereja dan menemui biarawati yang ada di dalam. Biarawati itu terkejut. Pak Awan terlihat ingin memberikan bayi itu kepada suster untuk kemudian dirawat di sana. Tapi, seperti yang Ia duga kepala biarawati menolaknya mentah-mentah dan sepenuhnya menyerahkan bayi itu ke Pak Awan.
Pak Awan memang menginginkan hal ini. Dia berhasil memperoleh pengakuan gereja akan anak ini. Jika Ia langsung membawa anak itu ke rumahnya, rumor tidak enak baginya pasti akan tersebar dan itu akan mengganggu pekerjaannya. Pak Awan akan terganggu karena pekerjaannya adalah 'pabrik pembuat anak' untuk para pelanggannya.
Oleh pihak gereja dan persetujuan Pak Awan, kemudian bayi itu diberi nama Marie.