(kisah ini terjadi sebelum Pak Sumi bekerja di kepolisian dan dia juga belum menikah dengan Bu Rati)
Pak Awan membawa Seorang bayi menuju ke kediamannya. Dia membungkus bayi itu dengan kain yang diberikan oleh Biarawati yang ada di gereja itu. Di sepanjang perjalanan, langkahnya selalu terhenti oleh orang-orang yang bertanya kepadanya. Setiap pertanyaannya hampir sama, yaitu siapa anak itu? Anaknya siapa itu? Atau ada yang bergurau dengan berkata jika akhirnya ada juga seorang pria yang melahirkan seorang bayi, namun Pak Awan menganggap semua bualan itu dengan enteng, dan menjawab semuanya dengan mengatakan nama anak itu, Marie.
Sampai di depan rumah, Pak Awan membuka pintunya. Dia disambut oleh seorang perempuan, itu adalah istri Pak Awan. Istri Pak Awan terkejut dengan bayi yang dibawa oleh suaminya, dia juga menanyakan hal yang sama dengan orang-orang di jalan. Pak Awan menjawabnya dengan jawaban yang berbeda.
"Kau bercanda bertanya begitu? Tentu buat usaha lah!" Kata Pak Awan. Kemudian Pak Awan masuk ke dalam rumah.
"Oh begitu, baiklah, tapi pak, apa tidak apa-apa jika anak dari luar (peternakan) kita, kita jual?"
"Huh? Apa maksudmu? Apa kau mau bilang jika kita harus bersikap suci sekarang dengan tidak menculik bayi lain untuk dijual? "kata Pak Awan sambil menampar istrinya itu.
"Bukan begitu pak, tapi bagaimana…" Kata Istrinya terhenti.
Pak Awan meletakkan Marie di atas sofa disampingnya. Kemudian Ia mulai menjambak rambut ekor kuda istrinya itu.
"Sudah berani melawanku sekarang!" Kata Pak Awan.
"Maaf! Maksud Saya bukan seperti itu. Tapi bagaimana dengan kualitas bayi yang kita hasilkan? Bukankah bapak sendiri yang melarang kami untuk mengambil bayi dari luar?" katanya sambil menutup mata karena takut.
Mendengar hal tersebut Sikap Pak Awan lalu berputar 180°. Ia lalu melepaskan tangannya dari kepala istrinya itu lalu ia segera menepuk pundak istrinya.
"Kau mengatakan hal yang benar, maafkan aku. Tapi istriku, kau ternyata peduli terhadap nasib kita, tolong maafkan perlakuan kasarku." Kata Pak Awan.
"Ah pak, kamu tidak perlu sampai seperti itu! I..iya iya aku maafkan ya." Kata Istrinya.
"Jangan begitu, tolong katakan, apa yang bisa ku lakukan untukmu?" Tanya Pak Awan.
"Apakah tidak apa-apa jika aku mengatakannya?" Kata Istrinya.
"Selama Aku bisa memberikannya, ya! Akan ku lakukan." Kata Pak Awan.
"Ya.. hehehe, baiklah." Kata Istrinya.
"Iya katakan saja." Kata Pak Awan.
"Yang pertama Aku mau melakukannya malam ini." Kata Istrinya.
"Oh itu? Hmm baiklah. Yang pertama? Yang kedua?" Kata Pak Awan.
"Eh!? Kamu mau? Yeay, Terakhir Aku ingin anak ini dirawat saja disini. Kita tidak bisa menjualnya, selain itu mungkin akan bagus jika kami punya pengalaman merawat anak, tentu kita bisa membunuhnya ketika dia sudah bukan anak-anak lagi." Kata Istrinya.
"Huh!?" Tanya Pak Awan.
"Maaf kalau tidak bisa tidak apa-apa." Kata Istrinya.
"Ee… (huh) ya… apa boleh buat. Tapi… ya terserahmu ., kalau tidak keberatan." Kata Pak Awan.
Sangat penting bagi Pak Awan untuk menjaga tingkat kewarasan istrinya untuk menjaga kualitas bayi yang ada di kandungannya. Dan cara termudah yang bisa Ia lakukan ialah membenamkannya dulu dalam-dalam kemudian mengangkatnya lagi. Karena menurut Pak Awan, tinggi rendahnya tambahan tingkat kebahagiaan seseorang adalah tinggi rendahnya kenaikan yang dia terima.
Kemudian Pak Awan memberikan Marie ke istrinya itu. Dia membawa Marie ke atas kasur, anak itu masih tertidur, karena kelelahan menangis dan susu formula yang diberikan oleh biarawati. Kemudian Pak Awan masuk ke ruang makan. Istrinya mengikuti di belakangnya.
"Btw, bagaimana dengan stok spermanya?" tanya Pak Awan.
"Untuk sekarang masih ada dua tabung." Kata Istrinya.
"Hanya dua ya." Kata Pak Awan yang sedang menggeser meja makan.
"iya hanya tersisa dua. Tadi pagi setelah bapak keluar, aku memasukkan dua (yang lain) ke ternak nomor 6 dan 7." Kata Istrinya.
"Ah benar juga Aku yang menyuruhmu melakukan itu. Yah Aku rasa Aku juga harus lebih berusaha lagi agar tidak kehabisan stok." Kata Pak Awan.
"Sepertinya tidak perlu terburu-buru pak." Kata Istrinya.
"Kenapa? Oh lagi penuh ya semuanya?" kata Pak Awan sembari membuka pintu yang ada di lantai.
Pintu terbuka dan terdengar suara berdecit, tanda pintu itu sudah tua dan engsel pintu yang berkarat. Terdapat tangga ke bawah. Sama seperti tangga di tempat bordil milik Pak Sunandar yang digerebek Pak Sumi.
Rumah Pak Awan ini, dibangun oleh Pak Sunandar sebagai pabrik produksi.
"Iya, semuanya lagi mengandung dan nifas. Ah kalau aku besuk sudah 6 bulan (setelah melahirkan) ehehe." Kata Istrinya.
"Oh jadi kau mau melakukannya secara langsung?" Tanya Pak Awan.
Istrinya mengangguk.
"Ya, karena Aku sudah memarahimu, baiklah. Ah ngomong-ngomong, dimana Ratu?" Pak Awan menanyakan dimana istri ke-2 nya.
"Dia sedang belanja di pasar pak." Kata istrinya.
"Oh." Kata Pak Awan.
Mereka masuk. Di bawah pintu itu adalah tangga. Sekitar 2 meter tingginya. Mereka menuruni tangga itu. Ruangan itu sangat terang karena lampu yang dipasang, tidak pengap meskipun di dalam tanah karena ada ventilasi udara yang keluar melalui pipa yang dimodifikasi oleh Pak Awan menyerupai kipas angin AC. Di dalam ruangan 'rahasia' itu, Pak Awan mendapatkan sahutan yang meriah dari beberapa wanita.
"Selamat datang kembali, Master!" Kata lima wanita yang juga ternak Pak Awan.
Di ruangan itu terdapat bilik-bilik yang tidak tersekat, dan terdapat 7 kasur, dua kloset dan 3 bilik mandi yang juga transparan di sisi ruangan yang lain. 6 wanita di dalam ruangan itu semuanya tanpa busana. Iya 6, termasuk istri Pak Awan yang merupakan ternak nomor 1.
…
Dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, Pak Awan menunjukkan ternak nomor 1 dan 2-nya itu ke publik. Pak Awan mempunyai dua istri, begitu yang dikatakan masyarakat sekitar. Dokumen kartu keluarga, KTP (Kartu tanda penduduk) juga bertuliskan Pak Awan punya dua istri. Secara teknis, sebenarnya ke-5 wanita yang disekap di ruangan tertutup itu juga istri Pak Awan. Kebanyakan dari mereka adalah gelandangan yang kemudian diangkut oleh Pak Awan. Diberi makan dan minum, dibentak dan disayang, banyak makian dan jarang disayang.
Bagi Lelaki berstatus magister ilmu psikologi di PENN yang mengambil jalur peminatan kepribadian ini, membuat seseorang merasa tertekan lalu kemudian membuatnya gembira itu bukan perkara yang sulit. Dia tahu kapan harus marah, kapan harus senang. Bak seorang peternak kuda yang jago, yang tahu kapan kudanya harus diberi makan, dilatih atau bahkan kapan harus kawin, dan bagaimana teknisnya, Pak Awan juga tahu seluk beluk seluruh ternaknya.
Pak Awan sudah merubah psikis ketujuh manusia itu. Oleh Pak Awan rasa malu sudah dihilangkan dalam benak mereka. Bisa dikatakan jika itu praktik cuci otak yang dibenamkan kepada mereka secara berulang-ulang sehingga menjadi kebenaran (menurut mereka).
Lalu bagaimana caranya? Bagaimana cara Pak Awan memperoleh begitu banyak wanita yang mau dan bisa menjadi ternaknya seperti sekarang? Semua berawal dari perkenalannya bersama dosen baru dari kampusnya saat dia sedang menempuh pascasarjana-nya di University of Pennsylvania di Amerika beberapa tahun yang lalu.
Pak Awan adalah seorang jenius. Dia menyelesaikan pendidikan formal (SD-SMP-SMA) Hanya dalam waktu 8 tahun -dengan rincian SD 4 tahun; SMP dan SMA masing-masing 2 tahun. Diluar pencapaian yang luar biasa itu, Pak Awan merupakan seorang yang yatim piatu. Kedua orang tuanya mati sejak dia umur 3 tahun. Orang tuanya mati saat menjadi sasaran salah tembak oleh aparat polisi saat dikira mereka adalah pasangan teroris hanya karena berbusana muslim hitam dan cadar (yang dipakai ibu Awan).
Kehidupan Awan kecil berubah dari keluarga yang menganut paham Islam yang kuat menjadi Hindu yang taat, karena saat setelah kematian mereka (orang tua Pak Awan) Awan kecil langsung di asuh oleh seorang 'Pandita' yang beragama Hindu. Disana ia diberi pendidikan yang bagus oleh orang tua asuh, baik itu secara akademis maupun non akademis. Sang Pandita yang bijak membuatnya menjadi pribadi yang religius. Namun, hingga beranjak SMA Awan kecil tak pernah tahu jika orang bijak itu bukan orang tua aslinya.
SMA. Awan remaja sudah cukup umur untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Akhirnya sang bijak itu berkata yang sebenarnya. Pada waktu itu, ada hal yang tidak diketahui sang Pandita, bahwa saat itu Awan sedang dalam masa remaja. Dia sangat emosional, perasaannya sering tidak stabil (meskipun dalam hal ini, Pak Awan remaja selalu berlatih bermeditasi dan konsentrasi yang hingga taraf yang sulit dicapai semua orang dengan bantuan orang tua asuhnya itu).