1 My Shooting Star | 1

Seorang gadis menatap bayangannya pada pantulan cermin, rambutnya kuncir satu berponi, kacamata pink kotak membingkai wajahnya ditambah kawat gigi dan beberapa bekas jerawat pada wajahnya, gadis itu tersenyum cukup puas dengan penampilannya dengan seragam putih abu-abu yang sesuai dengan ketentuan sekolah, rok sedikit di bawah lutut, kemeja yang agak kebesaran, dasi yang terikat simpul rapih di kerah kemejanya, ikat pinggang yang kepanjangan, kaos kaki putih setengah lutut dan tas gamblok yang seperti koper berisi buku-buku dan alat tempur sekolah lainnya. Itulah Anaya Prameswati Wardana siswi baru SMA Garuda 1 yang baru akan menjalani masa orientasi hari ini

"NAYAAAA MAKANN" Teriak ibunya dari lantai 1 memerintahkannya untuk sarapan

"IYAAA" Saut gadis itu seraya bergegas menuruni tangga dengan bangga

Anaya menuruni tangga menuju ruang makan dengan senyum yang tak henti-hentinya menampilkan behelnya yang bewarna hijau pada semua anggota keluarganya

Anaya duduk di samping Natasya, kakak perempuannya yang lebih tua 6 tahun darinya, kakaknya sedang berada di tahun-tahun terakhir kuliahnya di salah satu universitas swasta di ibukota. Berbeda 180 derajat dengan kakaknya, jika mereka duduk bersebelahan seperti saat ini, mereka adalah perbandingan langit dan bumi yang sesungguhnya. Natasya Pramudya Wardana adalah sosok gadis yang gaul dengan segala pesona perempuan yang ia punya. Natasya menggerai rambutnya, kadang membuatnya bergelombang atau mengkuncir tinggi bergantung pada tema pakaian apa yang ia kenakan dan moodnya hari itu, dari SMA Natasya adalah seorang gadis yang populer di kalangan laki-laki, pada hari valentine, Naya akan puas makan coklat dari penggemar kakaknya, jika hari ulang tahun kakaknya tiba, ia akan mendapat barang yang tidak diinginkan kakaknya juga dari hadiah pada pengemarnya, ada boneka, pin rambut, banyak sekali puisi dan berbagai macam makanan yang tidak akan disentuh kakaknya karena kalori yang terlalu tinggi. Diantara Anaya dan Natasya tidak ada drama saudara tiri atau perbedaan kasih sayang yang diberikan oleh kedua orang tuanya, mereka diperlakukan sama dan memperlakukan satu sama lain dengan baik, ada kalanya mereka bertengkar dan marah kepada satu sama lain, namun itu umum terjadi pada setiap kakak beradik, mereka akan kembali berbaikan dalam hitungan jam. Tidak ada yang salah dengan Anaya atau Natasya, mereka hanya menjadi diri mereka sendiri, merasa nyaman dengan penampilan mereka dan kedua orang tua mereka menyukai dan menghargai pilihan penampilan mereka

"Kamu mau dianter papa atau nebeng sama kakak kamu?" Tanya Tomi pada putrinya itu begitu gadis itu duduk

Anaya menggeleng "Gak, aku nanti ditebengin Ares" Tukas gadis itu menyahuti ayahnya

Ibunya menggeleng-geleng "Kamu gak bosen apa ketemu sama Ares terus, dari TK kamu sekelas, trus SMP satu sekolah, sekarang SMA satu sekolah lagi" Tukas Nina sambil melirik pada putrinya dengan sebuah cengiran "Kamu gak naksirkan sama Ares kan?"

"Cuma Ares satu-satunya orang mau temenin aku" Tukas gadis itu kemudian menggeleng lagi dengan kencang dan kuat "Gaklah, tipe cewenya Ares itu kayak Kak Natasya bukan kayak Naya, gak mau Naya naksir Ares nanti sakit hati" Saut gadis itu kemudian mengoleskan asal selai coklatnya pada roti yang ada di tangannya, gadis itu memakan makanannya dengan lahap hingga ayah dan kakaknya hanya bisa terbengong-bengong melihatnya, sementara ibunya hanya menggeleng saja untuk beberapa saat sebelum mengabaikan gaya makan putri bungsunya itu dan fokus pada sarapannya sendiri

"Pelan-pelan aja makannya, gak ada yang mau ambil rotinya juga dari kamu" Tukas Tomi pada putri bungsunya

Sedetik setelah Tomi mengatakan itu seseorang memanggil nama anak bungsunya setengah berteriak "NAYYAAA"

Gadis itu segera bangkit dengan tidak rela dari tempat duduknya dan melahap rotinya dengan rakus "Rotinya emang gak diambil siapa-siapa, tapi akunya yang bakal gak bisa lama-lama nemenin rotinya untuk dimakan" Tukas gadis itu sengan mulut yang penuh dengan kunyahan rotinya "Aku pergi dulu ya yah, bu, kak" Tukas gadis itu lagi smabil menyalami satu persatu orang-orang yang ada di meja makan itu dan melangkah keluar rumahnya dengan terburu-buru

"NAYAA" Panggil suara itu lagi

"Iya sabar bentar, kaki gue pendek, ini lagi lari" Tukas gadis itu menimpali orang yang memanggilnya itu

Ayah, ibu dan kakak gadis itu membuntut di belakang Anaya dan mengintip gadis itu dari balik daun pintu

Ares memberikan sebuah helm pada Anaya "Lu bisa bawa motor?" Tanya gadis itu dengan polos tidak yakin melihat Ares dengan motornya

"Ares bisa bawa motor bu?" Tanya Tomi pada istrinya setengah ragu dengan apa yang dilihatnya

Nina mengerutkan keningnya "Itu bukan motor pak, lebih mirip skuter odong-odong"

"Bisalah" Tukas Ares pada Anaya

Dengan ragu gadis itu menaiki motor itu "Bismillah" Tukasnya bagai mantra "Gak bakal ambruk di tengah jalankan motor lu?" Tanya gadis itu memastikan

Ares hanya mengabaikan pertanyaan gadis itu dan melajukan motor antiknya

"Yah, ikutin anak mu sana, nanti kalo mogok di tengah jalan kasian, masa telat di hari pertama" Tukas Nina pada suaminya sambil menyikuti perut suaminya

"Kenapa aku?" Protes Tomi

"Kamu bapaknya" Tukas Nina

Tomi melirik pada Natasya

Gadis itu menyadari lirikan bapaknya "Kamu bapaknya" Tukas gadis itu sambil dengan cengiran jahil kembali masuk ke dalam rumahnya untuk melanjutkan sarapannya disusul oleh ibunya yang meninggalkan ayahnya di depan daun pintu yang membuat pria itu dengan terpaksa keluar dari rumah itu dan mengeluarkan motor tuanya juga yang sudah berdebu dan terbatu-batuk saat mesinnya disela kemudian membuntuti putri bungsunya dari belakang

Pagi itu sekolah sangat ramai dengan siswa-siswi baru, beberapa dengan orang tua mereka dan beberapa hanya sendirian datang ke sekolah itu, beberapa di antara mereka sudah saling mengenal satu sama lain dan yang lainnya masih terlihat seperti anak hilang di tengah kerumunan, Ares memarkir motornya dan Anaya kembali memberikan helmnya pada Ares sambil mengedarkan padangannya ke segala penjuru dan mendapati ayahnya dengan motor peninggalan jaman perang yang sudah terbengek-bengek muncul dari sudut jalan

Gadis itu tentu saja berlari mendekati ayahnya, pria itu untuk sesaat terkejut melihat anaknya yang seharusnya ia ikuti secara diam-diam malah berlari mendekat ke arahnya, membuat lelaki itu berusaha memundurkan motornya dengan kedua kakinya yang menginjak aspal namun tangannya masih memutar gas hingga motor itu menggerung dan mengeluarkan asap yang cukup pekat dari knalpotnya

"Ayah ngapain di sini?" Tanya gadis itu bertanya-tanya dengan kehadiran ayahnya

Tomi celingukan mencoba menghidari tatapan putrinya "Mau jalan-jalan aja ayah" Sautnya kemudian mengarang sebuah alasan

"Oh" tukas gadis itu mengangkat alisnya kemudian berbalik untuk kembali menuju sekolahnya, sementara Tomi menghela nafas dan berusaha memutarkan arah motor tuanya

"AYAHH" Tukas gadis itu setengah berlari memutar arah kembali ke ayahnya

Tomi tersentak dan tanpa sadar memutar gas sambil salah satu tangannya yang lain menarik rem membuat motor tua itu berdengung dan asap dari knalpotnya menjadi seperti kabut

Anaya terbengong-bengong melihat pemandangan di hadapannya

Tomi yang mengirup banyak sekali asap itu langsung terbatuk-batuk dengan heboh "Kenapa" Tukas pria itu setelah batuknya reda

Gadis itu menjulurkan tangannya "Uang jajan"

Dengan sedikit menganga kemudian pria itu merogoh kantongnya dan memberikan anak bungsunya itu uang saku kemudian pria itu kembali lagi menjalankan motor tuanya tanpa sadar jika mereka telah menjadi tontonan orang-orang yang ada di sekitar situ

Ares menatap Anaya sekilas "Kenapa bokap lu?" Tanyanya

Anaya menggedikan bahunya "Ga tau, maklumlah udah tua, kadang suka random" Saut gadis itu yang dibalas anggukan ringan oleh Ares

Hari itu berjalan dengan cepat, mereka diperkenalkan oleh beberapa senior dan dibagi-bagi menuju kelas-kelas sementara, dan Anaya berada di kelas yang terpisah dengan Ares. Hari itu mereka dikenalkan dengan lingkungan sekolah secara basic, lagu kebangsaan sekolah itu dan memainkan beberapa games jahil yang dirancang oleh senior mereka yang memang bertujuan untuk mengerjai mereka secara halus. Karena baru perkenalan hari pertama, kelas hanya setengah hari dan begitu saja kelas dibubarkan. Banyak anak-anak yang langsung pulang, atau berkumpul di beberapa tempat di sekitar sekolah, banyak dari mereka berkerubung di sekitar lapangan hingga balkon lantai dua yang menjorok ke arah lapangan dan kebanyakan dari mereka bersorak "RAKSA!" "RAKSA!" "AAAAAA!"

Penasaran dengan itu semua, Anaya memberanikan diri menyelip di antara kerumunan gadis-gadis yang tentu saja menatapnya dengan sinis karena mengganggu mereka dengan menyelinap-menyelinap untuk menuju ke pinggir lapangan

"RAKSA!" "RAKSA!" "AAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!" "SMA GARUDA" Teriakan itu semakin menjadi-jadi dan heboh ketika sekelompok tim basket memasuki lapangan, sebagian dari mereka menggunakan rompi kuning melapisi seragam basket mereka

"RAKSAAAAA!" Dan nama itu terus saja diteriakan dari kiri dan kanannya membuat telinga Anaya berdengung untuk sejenak

Lalu seorang lagi anggota basket yang ketinggalan muncul dan menyebabkan euforia yang lumayan mengguncang untuk Anaya "RAKSAAAAA" Teriakan di sekitarnya semakin menggila ditambah lompatan-lompatan gemas dari gadis-gadis di kiri dan kanannya membuat Anaya seperti adonan roti yang hendak diuleni setelah mendapat banyak ragi dan di tekan sana sini

Anaya antara sebal dan pasrah tidak dapat keluar dari kerumunan itu, matanya menatap lurus dan pandangannya dengan sosok yang membuat orang-orang di sekitarnya bersorak menatap lurus ke arahnya, pandangan mereka bertemu, tidak lama karena si pria itu kembali fokus pada rekan-rekannya yang berada di lapangan

Pria itu amat sangat tampan! Anaya hanya bisa bengong sambil terkagum-kagum di antara keramaian itu

Permainan dimulai dan semua gadis kembali berteriak dengan gila-gilaan, sementara Anaya hanya bisa diam dengan setengah menganga sambil bola matanya mengikuti pergerakan pria yang bernama Raksa itu

Permainan berlangsung seru dengan operan dan orang-orang yang berlari mengambil, merebut, dan menbawa bola, namun tidak satupun yang Anaya perhatikan karena fokusnya hanya pada Raksa. Seumur hidup baru kali ini ia merasak sebuah getaran yang berasal dari mata langsung turun ke hatinya, beberapa kali dalam hidupnya ia pernah bertemu aktor, artis, musisi dan orang-orang rupawan yang enak dipandang namun pandangan keindahan rupa itu tidak menjalar dan memberi getaran pada jantungnya seperti saat ini

Pria itu berlari membawa bola kesana kemari hingga berkeringat dan menambah kesan rupawan yang manly yang membuat jantung Anaya seperti mencuat dan berdetak dengan nada R-A-K-S-A. Ketika bola berhasil memasuki Ring, orang-orang kembali bersorak, mereka menyorakan beberapa nama dan pujian namun yang berhasil disaring telingan Anaya hanya "RAKSAAA!"

Permainan terus berlanjut, bertambah seru dan suasana semakin ramai, Anaya seperti terhipnotis, Raksa cukup sering memegang bola dan mengusainya, lelaki itu beberapa kalo mencetak skor yang membuatnya terlihat semakin keren di mata Anaya,

"SHOOTING STAR"

"SHOOTING STAR"

"SHOOTING STAR"

Orang-orang berteriak-teriak itu ketika Raksa memegang bola siap menembakannya ke ring, kemudian lelaki itu begitu saja melemparkan bola itu ke ring, semua orang yang menyaksikannya berteriak, menjerit dan menahan nafas, namun bola itu meleset, Anaya tidak melihat ke arah bola itu, pandangannya tidak teralihkan dari Raksa bahkan saat orang-orang berteriak mengarah padanya dan orang-orang di sekelilingnya seperti menghindar, sekilas gadis itu melihat bola yang terlepar keluar lapangan dan mengarah lurus kepadanya, Raksa melihatnya, mata mereka bertemu lagi, wajah pria itu seperti berusaha memberikannya peringatan "AWAAS" Teriak pria itu seperti suara terompet surga

"Gue Anaya, bukan Awas" Gumam gadis itu lalu 'DUAKKK' Bola basket itu mendarat menghantam jidat Anaya

Seketika pandangan gadis itu buram dan semuanya menggelap

Anaya tersadar di ruang UKS dengan pening yang segera menyambutnya ketika ia membuka kedua kelopak matanya. Ares di sana, pria itu menungguinya dengan tampang kesal dan segera saja menodong gadis itu tidak memperdulikan Anaya yang mengernyit akibat nyeri di kepalanya, gadis itu meraba kepalanya yang entah mengapa telah dilingkari oleh perban bukan hanya plester

"Lu ngapain si!" Tukas Ares menodong Anaya "Bola segitu gedenya bisa gak keliatan!"

Anaya mengernyitkan pandangannya sambil bibirnya mencebik, kemudian gadis itu kembali memejamkan matanya pura-pura pingsan

Ares memasang tampang jengah yang dilihat juga oleh Anaya yang mengintip dengan sebelah matanya

"Tau ah!" Tukas pria "Nginep aja lu di sini. Gue mau balik" Sambung pria itu sambil melangkah meninggalkan ruangan itu

Dengan segera Anaya segera bangkit mengabaikan segala nyeri yang berdenyut di sekitar kepalanya, ingatannya hanya mengingat saat Raksa berbicara padanya dan semuanya mendadak menjadi hitam seketika

"Aress" Tukas gadis itu mengekor di belakang Ares, pria itu diam saja masih dengan tampang kesalnya

"Resss, masa lu ngambek siiihhh" Tukas Anaya dengan raut wajah yang seperti sedang membujuk anak umur 5 tahun yang sedang merajuk

Ares masih diam saja tidak menanggapi

Anaya mencebikan bibirnya sambil terus berjalan di samping Ares yang masih merajuk kepadanya, gadis itu memerhatikan sekelilingnya, langit sudah menjadi jingga dan sekolah itu sudah sepi. Hanya ada beberapa anak baru yang mengobrol di beberapa sudut sekolahan dan para senior yang terlihat sibuk dan seolah sedang merancanakan dan merancang sesuatu yang serius

Anaya yang sibuk melihat ke sekelilingnya tidak menyadari jika Ares telah berbelok dan gadis itu masih berjalan lurus hingga ia menabrak sesuatu atau seseuatu menabraknya

"Awww" Tukas Anaya mengusap-usap pinggir kepalanya yang terluka dan sekarang terhantam itu. Gadis itu segera menoleh melihat apa yang menghalanginya bersiap marah-marah meskipun itu hanya sebuah tiang atau pilar sekalipun. Namun gadis itu beku setelah menoleh kepada sesuatu yang menabraknya itu

"Eh lu" Tukas pria itu dengan salah tingkah

"E..e...e.." Mendadak Anaya tidak bisa berkata-kata, padahal sebelumnya otaknya telah lancar sekali membuat kalimat makian yang hendak ia tumpahkan sedetik yang lalu

"Sorry ya tadi, gue sama sekali gak sengaja" Tukas pria itu lagi yang disambut anggukan yang sangat antusias oleh Anaya melebihi kecepatan anggukan badut mampang

Raksa tertawa melihat reaksi gadis itu "Gue Raksa btw" Tukas pria itu sambil mengulurkan tangannya

Anaya dengan canggung menjabat uluran tangan itu yang seperti mengalirkan aliran listrik ke tubuhnya "Gu..gu...gu..e Anaya" Saut gadis itu dengan tergagap-gagap

"Hmm, lu beneran ga apa-apa kan?" Tanya Raksa lagi memastikan

'Gue jatuh cinta deh kayaknya' Batin gadis itu "Gapapa kok" Tukas gadis itu segera dengan tatapan yang tidak terlepas dari Raksa

Pria itu tersenyumyang lebih mirip seringai tapi tetap saja membuat dada Anaya berdebar gila-gilaan "Oke" Tukas lelaki itu kemudian begitu saja berlalu

Pandangan Anaya masih mengikuti sosok lelaki itu hingga lelaki itu menghilang menuju sebuah koridor dengan senyum bodoh yang tidak luntur-luntur dari wajahnya

Ares di sana, di parkiran sudha menggunakan helm bertulak pinggang di dekat motornya ketika Anaya datang masih dengan senyum bodohnya mendekat ke arah Ares

"Lu kemana sih!" Tukas lelaki itu berang "Kenapa senyum-senyum?" Lelaki itu menempelkan telapak tangannya pada jidat Anaya "ALLAHUAKBAR" Tukasnya membuat gadis itu kelabakan karena pria bodoh di hadapannya dengan begitu saja menekan luka yang berada di keningnya

"APAAN SI LU!" Berang Anaya sambil menyingkirkan telapak tangan Ares

Wajah pria itu masih tidak bersahabat "Gue kira lu kesambet" Saut lelaki itu

"Enak aja!" Tukas Anaya memasang tampang kesalnya sekilas sebelum kembali tersenyum-senyum dengan bodohnya

"Lu kenapa si?" Tukas Ares kesal "Jangan bikin gue parno deh"

Gadis itu malah semakin menjadi-jadi, senyuman itu berubah menjadi tawa ringan yang terdengar bodoh dengan tatapan menerawang "Gue abis ketemu malaikat" Saut gadis itu kemudian

Ares mengabaikan bulu kuduknya yang meremang akibat tingkah laku temannya itu "Mau mati kali lu, ketemu malaikat maut" Seloroh pria itu sambil memberikan Anaya sebuah helm

Gadis itu menerimanya dengan senyuman yang belum juga pudar "kayaknya kalo malaikatnya kaya dia, orang-orang malah pengen cepet-cepet mati deh" Tukas gadis itu yang membuat Ares semakin bergedik

Pria itu mengeluarkan motornya dari parkiran dan memindahkan ranselnya ke sepan agar gadis itu bisa duduk dengan lebih leluasa "Sampe rumah mending lu bilang ke nyokap bokap lu, minta buat ke rumah sakit aja" Tukas pria itu "Kayaknya lu kena gagar otak deh"

Gadis itu masih saja sibuk memikirkan wajah tampan Raksa "Gue kena panah cinta" Sautnya sambil memeluk Ares dari belakang membuat pria itu dan motornya oleng seketika dan menepi setelah melaju hanya beberapa meter dari parkiran

Lelaki itu menoleh pada Anaya dengan tatapan kesal sambil membuka kaca helmnya "Jangan peluk-peluk!" Tukas pria itu

Anaya hanya memanyunkan bibirnya dan melepaskan pelukannya "Tadi gue gak sadar. Maap" "Kalo tau lu orangnya juga gak bakal gue peluk!" "Huh!"

Ares mengantarkan Anaya hingga rumahnya meskipun keduanya masih saling cemberut satu sama lain "Nih" Tukas Anaya mengembalikan helmnya "Maksaih" Sambung gadis itu masih dengan cemberut dan melenggang memasuki rumahnya

"Hmm" "Sama-sama" Saut Ares meskipun masih sambil cemberut dan pria itu kembali berkendara menuju rumahnya

Gadis itu masuk ke dalam rumahnya dengan ayahnya yang sedang menonton telenovela dan ibunya yang sibuk dengan koran pagi dan secangkir kopi di meja makan

"Udah pulang" Tukas ibunya

"Hmm" Saut Anaya sambil lalu

"Stop" Tukas ayahnya tiba-tiba menyadari perban di kepala putri bungsunya

Anaya menoleh pada ayahnya dengan wajah memberengut karena langkahnya diintrupsi

"Itu kepala kenapa?" Sasar ayahnya langsung menuding kepada kening Anaya yang dibalut perban

"Kesenter bola" Saut anak itu

"Bukan jatoh dari motornya Si Ares?" Tukas ibunya sinis

Hubungan antara Ares dan orang tuanya memang agak aneh, orang tua Anaya telah mengenal Ares sejak anak itu masuk TK yang sama dengan Anaya, mereka juga saling kenal dengan orang tua Ares, namun entah mengapa mereka tidka begitu menyukai Ares tapi juga tidak melarang Anaya berteman dengan Ares

"Bukan" Saut gadis itu "Kalo aku jatoh dari motornya Ares juga bakalan slow motion dan gabakal diperban gini, paling lecet dikit doang"

Ayahnya mengangkat sebelah alisnya sambil berjalan mendekat pada anak bungsunya dan menginspeksi setiap jengkal tubuh anak itu, ibunya menaruh korannya di meja dan mendekati anaknya juga

"Mau ke dokter saraf?" Tanya ayahnya dengan tatapan serius yang terkesan lucu

"Siapa yang nyenter bola ke kamu?" Tukas ibunya sambil bertulak pinggang

Gadis itu manyun sambil menggeleng "Ga usah, nanti kalo ketauan kena penyakit saraf malah repot" Tukas gadis itu asal

"Siapa yang nempong bola ke kamu?" Ulang ibunya lagi dengan kedua tangannya yang masih berada di pinggang

Gadis itu tidak menyahut malah tersenyum-senyum sendiri membayangkan wajah Raksa

"Aku pulang" Sentak suara dari arah pintu masuk

Natasya begitu saja melenggang dan ikut bergabung mengerubungi Anaya, dan tanpa dosa gadis itu begitu saja menoyor kening adiknya yang diperban itu

"AWWWW" Sentak Anaya sambil menatap galak kakaknya

"Gak usah akting deh lu, kepala di perban-perban gitu" Tukas kakaknya sambil sekali lagi menoyor adiknya

Anaya yang kesal dengan itu semua begitu saja membuka perbannya yang masih basah itu menampilkan memar bengkak yang menonjol seperti benjol "Nih! Beneran tau" Tukas gadis itu menunjukan jidatnya sambil menunjuk lukanya pada kakaknya

"Loh, beneran?" Tukas kakaknya memerhatikan luka itu sambil tersenyum salah tingkah

Ketiga orang itu, kakaknya, ibunya dan ayahnya memfokuskan tatapan mereka pada benjolan di jidat Anaya, kemudian memperhatikan wajah gadis itu secara keseluruhan

"Kayak tanduk de" Tukas Natasya

"Siapa yang senterin bolanya ke kamu Anaya?" Tanya ibunya agak menyentak untuk yang ketiga kalinya

"Abang kelas" Tukas gadis itu sambil lagi-lagi tersenyum-senyum sendiri

Ibunya mengernyit melihat reaksi putri bungsunya itu "Namanya?"

"Malaikat" Tukas Anaya sambil setengah melamun sambil tersenyum

Kesal dengan reaksi anaknya, Nina menjitak tepat di benjolan jidat anak bungsunya itu

"Mangkanya kamu jangan kebanyakan ngelamun, bola nyenter ke muka kamu bisa gak liat gitu, di jidat lagi! Kan depan mata kamu" Tukas Nina sambil lalu menuju ke meja makan melanjutkan aktivitasnya

Ayahnya juga kembali ke sofanya sambil mengernyit, pria itu tau jika anak gadisnya itu memang agak ceroboh dan mungkin saja bengong saat bola itu mengarah ke arah anak itu "Besok pake bando, atau ciput buat tutupin benjolnya"

"Cuma benjol dikit doang, dua hari juga sembuh" Tukas Natasya melenggang menuju ke lantai dua

Anaya memancungkan bibirnya "Ayah yang bener aja dong, masa pake bando di jidat! Lagian aku pake kerudung aja engga, masa pake ciput ke sekolah" Tukas gadis itu berang

"Yaudah pake kompres atau tempel koyo kek, pokoknya tutupin benjolnya" Tukas pria itu sambil kembali fokus pada telenovelanya

Gadis itu semakin memberengut "Kenapa sih?"

Tomi menolehkan padangannya ke arah putrinya "Kamu anak ayah, gimana juga bentuk kamu ayah sayang" "Tapi kalo temen-temen kamu liat itu benjol besok, ayah gak tanggung jawab kalo kamu jadi bahan becandaan sampe lulus"

Ucapan ayahnya itu semakin membuat anak itu emosi "Bu, emang aku kenapa sih, perasaan biasa aja, benjol sedikit doang gapapa lah" Tukas gadis itu pada ibunya yang masih fokus membaca koran

"Kamu belom ngaca kan?" Ibunya malah balik bertanya

Gadis itu langsung mematikan televisi yang sedang ditonton oleh ayahnya itu dan mengacakan dirinya pada LCD tv itu yang tentu saja diprotes ayahnya namun diabaikan oleh gadis itu "Gapapa ah, gini doang" Tukas anak itu

Ibunya melipat korannya di atas meja dan menghebuskan nafas menoleh pada anak bungsunya itu "Itu jidat kamu mateng Anaya, bengkak kayak ikan lohan, tapi ikan lohan yang jambulnya cuma setengah doang"

Gadis itu langsung menyentakan kakinya kesal dengan reaksi kedua orang tuanya dengan rupanya saat ini "Kenapa sih jidat aku lebar" Protes gadis itu pada kedua orang tuanya "Kenapa aku jelek! Kak Natasya cantik, kenapa aku engga!" Tukas gadis itu sambil merajuk

"Lagian siapa suruh kamu ikutin tampang ayah kamu" Tukas Nina yang disambut tatapan penuh protes dari Tomi

"Enak aja, aku tampan tau" Tukas pria paruh baya itu membuat Nina bergedik

"Tau ah, pokoknya uang warisan dari ayah bakal aku pake buat oprasi plastik!" Tukas gadis itu sambil menaiki tangga dengan langkah penuh sentakan dan wajah kesal

"Anak ini sembarangan!" Tukas Tomi menatap punggung anak bungsunya yang menaiki tangga "Bapakmu masih sehat walafiat udah minta warisan" Tukasnya kemudian menoleh ke arah Nina yang hanya dibalas dengan tatapan acuh tak acuh

avataravatar