1 Bandung - Jakarta

"Papa jangan egois!" teriak gadis itu dengan mata sembabnya. Air mata terus saja mengalir membasahi pipi gembulnya tanpa bisa dibendung lagi.

Ia tak pernah mengira kalau sang ayah akan mengatakan sesuatu yang harus memutar balik kehidupannya. Kata kata yang mengharuskannya melakukan sesuatu diluar kemampuannya.

"Kamu pahami maksud Papa! Perusahaan kita hampir bangkrut, dan jalan satu satunya hanyalah perjodohan ini!" bentak sang ayah kalut tak sanggup menahan emosinya. Raut mukanya memerah hingga ke telinga. Amarah meluap begitu saja.

"Kamu bilang papa egois? Pernahkah kamu berpikir untuk balas budi pada Papa? Pikirkan itu, Aleena! Anggap saja ini balas budimu pada Papa karena mau membesarkan anak pembangkang sepertimu!" lanjutnya menghardik tajam. Ia tak pernah suka penolakan. Semua harus berjalan sesuai dengan kemauannya. Meskipun itu harus mengorbankan putri semata wayangnya.

"Mas, apa tidak ada cara lain lagi?" tanya seorang wanita paruh baya yang sedari tadi diam tak bersuara melihat pertikaian anak dan suaminya. Ia sadar, ia tak bisa berbuat apapun. Ia hanya bisa menangis merangkul bahu putrinya. Seolah ikut merasakan setiap kata yang dilontarkan suaminya.

"Aku sudah melalui berbagai macam cara agar bisa memulihkan bisnis kita! Namun nihil, Ma!" ujarnya sambil mengusap wajah kasar. Ia benar benar bingung akan situasinya.

"Kalau begitu, terpaksa. Aku pun setuju akan keputusanmu, Mas." ujar sang istri menurut. Namun matanya masih memandang tak tega pada putrinya yang tengah menatapnya nanar.

"Turuti perintah Papamu, Nak. Mama mohon," ujar sang ibu memelas. Ia pun memeluk erat putrinya menyalurkan kehangatan. Sungguh ia tak tega melepas putrinya untuk bersama orang lain tanpa keinginannya.

Gadis itu bingung. Bingung dengan apa yang bisa ia lakukan saat ini. Ia tak ingin menuruti kemauan ayahnya, namun ia juga tak tega menolak permintaan ibunya. Ia hanya bisa menangis. Berdoa agar ada seseorang yang mampu menolongnya. Mengeluarkannya dari masalah yang datang bertubi- tubi pada hidupnya.

"Kemasi barang kalian sekarang! Kita pindah ke Jakarta malam ini juga!" ujar sang ayah. Dan gadis itu pun sadar. Ia tak punya pilihan. Karena itu adalah perintah.

*

Aleena Adeeva Azalia. Nama itu terukir jelas di seragam miliknya. Seragam baru yang telah dikenakannya. Ia menatap cermin berlama- lama. Mengingat semua kenangan yang pernah terjadi dalam keluarganya sebelum datangnya orang ketiga.

Rumah baru, sekolah baru, dan teman baru. Semua terasa asing baginya. Jauh dari dalam lubuk hatinya, ia tak ingin pindah. Tak ingin pindah dari lingkungan yang telah menciptakan memori harmonis keluarganya. Namun apa boleh buat, ia hanya bidak catur yang dimainkan tuannya.

"Aleena, semangat! Nangis nggak akan ada gunanya," ucap gadis itu menyemangati dirinya sendiri.

Dengan cepat ia memasukkan beberapa buku ke dalam tas punggung lalu menentengnya keluar.

Kakinya mengayun menuruni tangga menuju meja makan. Namun sejenak langkah Aleena terhenti saat netranya tak melihat seorang pun duduk disana.

"Dimana mereka?" tanya Aleena pada dirinya sendiri. Hanya keheningan yang menyambutnya.

Langkahnya mendekat menuju meja makan. Matanya menemukan sebuah note yang seolah sengaja ditempelkan disana. Dan tepat disampingnya, tergeletak 2 lembar uang seratus ribu- an.

'Sayang, mama harus pergi mengurus perjodohanmu, dan Papa sudah pergi kerja sejak shubuh tadi. Kamu berangkat naik taksi, ya! Ini uang sakunya. Mama sudah siapkan sarapan, makan yang banyak, ya!'

Lagi-lagi. Ia harus menerima note di pagi hari dengan pesan yang sama. Beberapa tahun belakangan ia seolah kehilangan keluarganya. Tak ada seorang pun. Ia sendirian.

Aleena sudah jengah. Dengan cepat ia mengambil uang itu, lalu bergerak kembali menuju kamar mengambil sebuah celana panjang di lemarinya.

Langkah Aleena mengayun kembali untuk turun setelah ia selesai mengenakan celananya.

Ia berjalan menuju gantungan kunci disana. Mengambil sebuah kunci motor besar miliknya. Ia tak pernah minat untuk sarapan. Karena baginya, meja makan adalah tempat untuk saling berbagi cerita. Bukan meratapi duka.

Motor Ninja hitam kesayangan Aleena keluar dari pekarangan rumahnya. Helm full face yang dikenakannya menutup rapat kecantikan Aleena. Dilengkapi dengan jaket kulit hitam membuat penampilannya begitu memukau.

Ia melajukan motornya diatas rata rata membelah jalanan kota Jakarta. Kota yang begitu padat akan persaingannya.

Ia memang sudah hafal rute menuju sekolah barunya hingga ia tak perlu diantar maupun bertanya pada siapapun lagi.

SMA GARUDA. Nama itu terpampang jelas di gang depan sekolahnya. Dengan lihai, ia pun mulai membelokkan motornya kearah sana.

Beberapa siswa yang sedang berjalan terus menatapnya. Pasalnya dia dan motornya adalah hal yang asing bagi mereka.

Motor Aleena terus melaju memasuki gerbang sekolah. Ia memarkirkan motornya dengan aman disana. Wajah cantiknya terlihat jelas saat helm full face- nya terlepas dari kepala.

"Hai!" sapa seseorang dari arah belakang Aleena. Ia pun langsung menoleh padanya. Memperlihatkan kecantikan alami yang dimilikinya.

"Hai," jawabnya lembut. Semoga dia adalah teman pertamaku di sekolah ini. Pikir Aleena. Ia segera turun dari motor lalu melepas jaket yang dikenakannya.

"Murid baru, ya? Kelas berapa? Mau kuanter?" tanya lelaki itu dengan senyum manis terukir di bibirnya.

"Iya, Aku kelas XI IPA 2. Kenalin, aku Aleena." jawab Aleena sambil menyodorkan tangannya.

"Aku Vino Dirga Alaska. Dan kalau kamu mau, kamu bisa kok panggil aku kayak nama gorengan yang jatuh," jawab lelaki itu menjabat tangan Aleena dengan lembut.

"Emang apa nama gorengan kalau jatuh?" tanya Aleena sedikit menaikkan alisnya bingung.

"Sayang benget," jawab Vino diikuti tawa terbahak bahaknya. Interaksi diantara keduanya tergolong sangat cepat untuk akrab. Aleena tak menduga kalau ia akan menemukan teman baru dengan watak seperti ini di sekolah barunya.

"Ayo ku anter," ajaknya sambil tetap menggenggam tangan Aleena erat. Sedangkan Aleena yang merasa tak nyaman pun langsung melepaskannya yang membuat sang empu kembali menoleh.

"Kenapa?" tanya Vino.

"Maaf, aku nggak nyaman," ujar Aleena dengan nada selembut mungkin. Takut melukai teman yang baru dikenalnya beberapa menit tadi.

"Ooh, it's ok!" jawab Vino santai. Untunglah ia tak marah. Pikir Aleena saat itu.

"Ngomong ngomong, kamu kelas berapa?" tanya Aleena sambil berjalan beriringan disamping Vino.

"Kalau soal itu, rupanya kamu harus panggil aku kakak lain kali," jawab Vino sedikit merenges.

"Hah? Maksudnya kamu kelas dua belas?" tanya Aleena menghentikan langkahnya. Ia sungguh tak tahu kalau orang yang baru ditemuinya tadi adalah salah seorang kakak kelasnya.

"Terus kenapa kakak ngomongnya sopan banget sama aku?" Aleena dibuat begitu terkejut dengan pengakuan lelaki di sampingnya. Mulutnya masih menganga seraya menatap ke arah Vino.

"Ya nggak papa kali, barangkali aja aku sama kamu bisa jadi kita," jawab Vino menggelikan. Gombalan gombalan maut yang sedari tadi dilontarkannya sukses membuat Aleena tertawa. Tawa mereka begitu kencang hingga tak menyadari seseorang datang dari arah belakang mendekati mereka.

Seseorang yang baru saja datang langsung menarik tangan Vino menghadapnya dan memukul keras rahang tegas miliknya.

"Bangsat!"

avataravatar
Next chapter