1 MRC 1~ Seekor Kucing Putih

"Hmm... hmm... hmm," suara senandungan seorang gadis menemani dirinya saat mencari sebuah buku yang mau di pinjam dari perpustakaan kampusnya.

"Yes, ketemu!" Latifa bersorak senang saat menemukan buku yang sedari tadi dia cari.

Pengawas perpustakaan itu melirik Latifa sambil meletakan jari telunjuknya di depan bibir menandakan untuk tidak mengeluarkan suara yang bising dan bisa mengganggu pengunjung lainnya yang telah hanyut dalam isi buku mereka masing-masing. Latifa tersenyum sedikit karena menahan malu setelah mendapat teguran, sedangkan pengawas itu tersenyum maklum.

Latifa bernafas lega. Untung saja pengawasnya kali ini adalah teman seangkatan dan sahabat dari kecilnya. Dia Banri. Lelaki berkacamata berkulit putih dan seorang penulis terkenal. Sebenarnya itulah cita-cita Latifa sejak kecil, dia ingin menjadi seorang penulis dan terkenal. Latifa sedikit iri dengan sahabatnya ini, Banri telah menjadi penulis cerita fantasi yang cukup terkenal. Bahkan bisa saja satu kampusnya ini mengenal Banri dengan karyanya yang di tulis dengan kata-kata yang menyentuh hati dan terdengar hidup. Bahkan banyak yang berkomentar kalau karyanya membuat para pembaca hanyut dan seperti masuk ke dalam cerita itu.

Latifa menghela nafas. Ya, walaupun begitu, dia harus tetap berusaha dan mendukung sahabatnya dalam mencapai hal yang di impikan.

Dia berjalan menuju meja pengawas dan meletakan buku itu di depan Banri.

"Aku pinjam buku ini untuk satu minggu. Apakah bisa?"

Banri tersenyum,"Bisa saja. Asalkan kamu mengembalikannya tepat waktu. Kamu tahu, Latifa? Kamu ini orang yang pelupa," kekehnya.

"Baik, baik. Aku akan mengembalikannya tepat waktu," Latifa mengerucutkan bibirnya.

Banri membuka buku coklat bersampul tebal di depannya dan mencatat nama, alamat peminjam, nomor telfon, buku yang di pinjam dan lamanya buku itu di pinjam. Semua dia catat dengan lengkap di buku itu. Setelah Latifa menandatangani buku catatan itu untuk sebagai tanda peminjaman, dia berterima kasih dan hendak pamit pada Banri.

Tapi Banri memanggilnya dengan setengah berbisik,"Latifa!"

Latifa membalikan badan,"Ada apa?"

"Bagaimana dengan karyamu? Apakah sudah selesai?"

Wajah Latifa memerah karena malu,"Ehm... sebenarnya aku tidak terlalu percaya diri dengan karya yang aku buat. Aku hanya takut banyak yang menilai karyaku dengan negatif,"

"Bagaimana kamu bisa mencapai cita-citamu jika kamu sendiri sudah tidak percaya dengan karyamu? Aku yakin kamu memiliki bakat dalam bidang itu. Kamu harus berani mencoba hal baru walaupun di mulai dari nol. Kalaupun kamu gagal, maka kamu harus tetap bangkit dan berjuang. Entah jatah gagalmu itu sampai lima puluh atau bahkan seratus, sekalipun kamu gagal maka kamu telah menghilangkan satu jatah gagalmu. Habiskan jatah gagalmu dan kesuksesan akan menantimu di depan mata," Banri menasihati sambil tersenyum tipis.

Latifa termangu mendengar perkataan Banri yang membuat dia menjadi lebih percaya diri. Ya, kesuksesan di mulai dari kegagalan. Tidak ada manusia di dunia ini untuk mencapai kesuksesan tanpa melewati rintangan dan kegagalan.

Latifa tersenyum,"Terima kasih, Banri."

Banri membalasnya dengan senyuman. Lalu setelah itu Latifa keluar dari perpustakaan dengan sebuah buku tebal yang di dekap di depan dadanya.

Dia berlari kecil menuju lokernya yang berada di gedung utama. Banyak orang yang menyapanya saat melakukan perjalanan dan Latifa hanya membalasnya dengan senyum tipis. Saat dia mencapai lokernya, dia membuka loker itu dan melihat jadwal apakah dia ada kelas sekarang. Matanya membulat karena kurang dari dua menit lagi kelas akan di mulai. Dengan terburu-buru, dia mengambil beberapa buku, alat tulis dan akhirnya berlari menuju ke lantai dua.

♡♡♡

Latifa menghela nafas sambil menyerempangkan tasnya di bahu kanan. Sore ini turun hujan dan dia harus cepat-cepat ke tempat kerja sambilannya sebagai seorang kasir supermarket. Ya, dia harus mandiri. Umurnya sekarang sudah dua puluh dua tahun.

Dengan terpaksa, dia mendekap tas selempangnya di depan dada berharap tasnya tidak terlalu kena air hujan hingga buku-bukunya basah. Sebenarnya dia sudah di tawari oleh teman seangkatannya untuk pulang bersama, tapi Latifa tidak mau merepotkan temannya untuk mengantarnya terlebih dahulu ke tempat kerja.

Setelah sekiranya posisi tas telah aman, dia berlari secepat mungkin menembus hujan untuk menuju ke tempat kerja. Walaupun manajernya terkenal dengan kebaikan hatinya, tetap saja kedisiplinan dalam ketepatan waktu adalah hal yang utama.

Saat melewati jalan setapak, matanya melihat sebuah toko bercat hijau di padu dengan corak kuning mencolok, itu adalah tempat kerjanya. Untung saja jarak kampus dengan tempat kerjanya tidak terlalu jauh. Saat dia mendorong pintu itu, suara lonceng terdengar dan membuat Rikka panik karena melihat teman kerjanya basah kuyup. Dengan cepat, dia mengambil handuk dan menelingkupi tubuh Latifa dengan handuk itu.

"Latifa, ya ampun! Kamu jangan terlalu nekat," omel Rikka.

"Maaf, aku harus tepat waktu." Latifa menjawab dengan bibir yang sedikit bergetar karena kedinginan apalagi tokonya ini di lengkapi dengan pendingin ruangan.

"Kan masih ada aku. Kamu tidak usah sekhawatir itu,"

"Ada apa, Rikka?" tanya seorang wanita yang baru keluar dari ruangannya.

"Ah ini, Latifa nekat menembus hujan," lapor Rikka.

Wanita yang wajahnya mulai berkeriput itu menatap Latifa dengan tajam. Dia merasa marah bukan karena Latifa terlambat dan tidak tepat waktu, tapi dia marah karena Latifa nekat menembus hujan yang bisa berakibat pada kesehatannya sendiri.

"Maaf, saya terlambat." Latifa menundukan kepalanya.

Wanita itu mendekat dengan wajah datar lalu mengusap rambut basah Latifa,"Mandi lah, bilas dirimu dengan air hangat. Gunakan saja kamar mandi ruanganku,"

Latifa menggeleng cepat,"Tidak perlu Ibu Manajer, aku hanya perlu mengeringkan rambutku dan mengganti baju,"

"Latifa...," tegur Hana, manajernya.

Latifa menunduk dalam,"Baik, aku akan mandi."

Setelah itu dia meletakan tasnya yang sedikit basah di bawah meja kasir, lalu dia berjalan pelan menuju ruangan manajernya untuk membilas dirinya menggunakan air hangat.

♡♡♡

Latifa berdiri di belakang meja kasir, lengkap dengan baju seragam kerjanya. Rambut yang seharusnya di ikat dan di gelung terpaksa ia biarkan tergerai agar cepat kering. Pengunjung hari ini cukup banyak hingga membuat Latifa sedikit kewalahan melayani mereka. Padahal air hujan masih mengguyur bumi, tapi banyak sekali pengunjung yang datang. Sesekali Latifa memperhatikan seorang gadis kecil yang seperti bingung mencari sesuatu, dengan inisiatif dia menghampiri anak kecil itu sambil sedikit membungkuk untuk menyamai tingginya dengan tinggi anak itu.

"Ada yang bisa saya bantu? Kamu mencari apa?"

Gadis itu hanya diam, lalu memberi Latifa sebuah gelang yang warnanya cukup mencolok. Dia memperhatikan gelang itu dengan alis yang berkerut bingung.

"Kenapa kamu memberiku ini?"

"Tolong jaga kakak. Dia kehilangan sesuatu di dunia ini," ucap anak kecil berjepit kucing hitam itu

"Apa maksudmu?"

"Latifa, bisa bantu aku?" Suara Rikka dari gudang membuat Latifa mengalihkan pandangan ke belakang.

"Baik, aku akan segera kesana," saat Latifa kembali menghadap ke posisi sebelumnya, anak kecil itu tidak ada di depannya.

♡♡♡

Hari sudah mulai gelap, untung saja hanya rintikan hujan yang turun.

"Rikka, aku duluan. Sampai jumpa besok, ibu manajer dan Rikka," Latifa memakai jaket yang di pinjamkan oleh Rikka.

"Latifa, pakai saja payung yang berada di samping pintu," ucap Hana.

Latifa tampak ragu,"Tidak perlu, Ibu Hana. Aku sudah merepotkan,"

"Apanya yang merepotkan untuk orang yang sudah aku anggap sebagai anakku sendiri?" Hana mengangkat sebelah alisnya.

Latifa tersenyum,"Baik, terima kasih."

Latifa membuka pintu toko dan membuka payung itu. Sekali lagi dia mengucapkan sampai jumpa pada Hana dan Rikka, lalu mulai berjalan dengan payung yang melindungi dirinya dari rintikan hujan malam. Dia meletakan tangan kirinya ke saku jaket saat angin membawa hawa dingin menyentuh kulitnya.

Meow... meow...

Langkah Latifa terhenti saat mendengat suara kucing dari sebuah gang kecil yang memisahkan kedua toko.

Meow... meow... meow...

Suaranya terdengar kembali, kali ini lebih lemah. Tanpa adanya rasa takut, Latifa masuk ke gang sempit itu yang hanya di beri satu titik penerangan di tengah jalan gang. Dia mengikuti asal suara itu dan mendapati sebuah kardus sebesar kardus minuman yang bergerak-gerak.

Latifa membuka tutup kardus itu dengan satu tangan. Saat tutup kardus itu terbuka, dia mendapati seekor kucing putih yang bulu tubuhnya telah basah terkena air hujan. Tubuhnya terlihat sedikit bergetar karena kedinginan, dia memayungi kucing itu dari rintikan hujan dan tangannya bergerak untuk mengusap kepala kucing itu dengan lembut berusaha memberikan sedikit kehangatan.

"Pasti kamu kedinginan," jeda. "Kamu akan sakit jika kehujanan terus menerus."

Kucing putih itu kembali mengeong, mata kucing itu berwarna emas cerah dan terlihat sangat cantik. Latifa membuka syal yang melingkari lehernya dan menelingkupi tubuh kedinginan kucing itu. Kucing itu terlihat sangat nyaman saat Latifa menggendongnya sambil memberikan kehangatan. Latifa tersenyum, lalu membawa kucing itu pulang bersamanya.

"Aku akan memberimu nama Kima." ucap Latifa lembut.

avataravatar