1 Benci

Javas memandang dingin Orlinda yang duduk bermalasan. Serta tidak ada semangat untuk di kelasnya. Dengan sengaja Javas membuatnya absen hingga Linda merasa muak lalu mendatangi pria itu. Ia tak terima dengan perlakuan Javas yang semena-mena. Bukankah itu melanggar peraturan tata tertib? Dengan wajah yang memerah Linda memukul mejanya emosi.

"Maksud lo apa hah buat gue absen? Lo tau sendiri kan, gue di depan lo. Di dalam kelas lo. Gue menyimak apa yang lo terangkan di depan." Dengan rasa percaya diri Linda berteriak di depan para murid lainnya.

Javas kembali diam. Tak menghiraukan Linda yang berkoar-koar di depannya kini. "Lo boleh gak suka sama gue, tapi jangan seenaknya dong."

Laki-laki itu menatap tajam Linda, "suka atau pun gak. Ini hak gue."

"Oh jadi sementang-mentang lo asisten di kelas gue. Lo merasa ada hak buat bikin siswi lo alpa, iya?"

"Kalau iya kenapa?"

"Lo benar-benar ngeselin ya!" Linda mengambil tasnya dan keluar kelas. Ini adalah pertama kalinya Linda membolos selama lima semester.

Ia tak peduli jika nilainya E. Karena menghadapi Javas sama dengan bertemu singa berwujud manusia. Merasa penguasa padahal hanya topeng.

Linda mendumel sepanjang jalan. Meneguk habis botol minuman yang ia bawa dari rumah. Membuka ponselnya di bawah pohon sambil menunggu jam kelasnya berakhir. Sementara tangan kirinya sibuk mengetikan huruf-huruf yang ada di layar ponsel diiringi dengan senyuman getir.

Seno memberitahu bahwa ia akan datang sebentar lagi ke kelasnya dan mengajak Linda berkeliling di kampus Seno. Ya, Seno dan Pasha satu kelas. Sama-sama mengambil jurusan Arsitek. Saat laki-laki yang memakai almamater berwarna biru muda itu datang, jantung Linda berdenyut nyeri. Ia malu saat Seno berjongkok dihadapannya, menatap mata Linda.

Badan Linda gemetaran, tiba-tiba perutnya terasa mual dan sakit. "Be bentar ya, Kak. Linda mau ke toilet bentar." Dengan berkalang kabut, tanpa disadarinya, Linda menitipkan tas serta ponselnya ke Seno. Laki-laki itu tersenyum getir, suka dengan tingkah lugu Linda yang lucu menurutnya.

Setelah selesai, Linda baru sadar. Dan ia merasa sangat malu kepada Seno. "Maafin Linda ya, Kak. Linda ceroboh. Gak seharusnya Kakak megang tas Linda," sambil menunduk gadis itu mengambil tas dari Seno.

Laki-laki berperawakan tinggi, putih itu tersenyum. "Tidak masalah. Lagian ini kan masalah kecil aja." Lalu mereka berdua menyusuri koridor.

"Kenapa berjalan di belakangku?" Seno berhenti, menatap Linda yang bingung. "Aan anu, itu. Hmp." gadis itu kebingungan harus menjawab apa. Bukan karena Linda tidak mau, hanya saja ia merasa malu bila berjalan berdampingan dengan Seno.

Sosok laki-laki yang diimpikan oleh banyak wanita, termasuk dosen-dosen muda yang ada di kampus. Merasa gemes, Seno menarik tangannya dan memegang erat hingga ke kelas. Semua mata tertuju pada mereka berdua. Banyak bisik-bisik setan cewek yang terdengar oleh kuping Linda. Ada yang kagum, benci dan tidak terima.

"Eh bukannya si ambisius. Anak semester lima manajamen bisnis?"

"Betul. Sok kecantikan banget itu anak. Gatal ihh."

Linda menatap Seno dengan sedu, tetapi laki-laki itu malah menarik tubuhnya hingga berada di atas punggung Seno. Mata Linda melotot kaget. Secepat itukah Seno menaiki anak tangga hingga kini mereka berada di lantai paling atas. Di puncak tertinggi kampus. "Waw!" mulutnya tak lepas memuji bangunan yang indah, menampilkan pemandangan alam yang menakjubkan dan menyegarkan mata.

"Kak, keren banget!" ucap Linda antusias. Mengeluarkan ponselnya dan mengambil gambar pemandangan.

"Kamu suka?"

"Iya." gadis itu mengangguk senang.

Di bangunan tinggi lainnya, Javas tidak terima dengan Linda yang berdua dengan Seno. Ia mengerang kesal dan menendang dinding. Matanya tak lepas dari Linda yang tersenyum terus menerus.

Esok harinya. Linda kembali tidak hadir. Pak kumis datang, tetapi Linda tidak tahu. Jika saja ia tahu gurunya itu mausk, maka ia takkan membolos hari itu. "Orlinda?" teriak Pak Kumis sekali lagi. Menatap ke arah pintu masuk kelas. Ia yakin bahwa muridnya yang satu ini telat datang dan tak berani mausk kelas.

"Orlinda?"

Javas berdiri, ia meminta izin untuk keluar sebab ada urusan lain yang harus ia lakukan. Javas menemui Linda dan Seno yang sedang asik bercanda ria di atas gedung. "Astaga!" minuman itu tersembur dari mulut Linda waktu Javas membuka pintu.

Linda mengucek matanya, barangkali ia bermimpi dan belum terbangun. Mau berapa kali juga itu akan nyata Linda. "Kamu, ngapain ke sini?"

Javas tak menjawab pertanyaan Linda, ia menarik begitu saja tangan gadis itu. Seno mendekat, tetapi Javas berkata, "Ini masih dalam jam pelajaran. Gue ke sini buat jemput murid gue yang bolos."

Seno tak bisa membantah, sebab apa yang dilakukan oleh Linda juga salah. Dari awal gadis itu tak mau jujur dan berkata bahwa kelasnya tidak ada guru yang masuk, jadi ia bebas ke mana saja. Sedikit kecewa dengannya, tetapi ia paham serta kebosanan yang dirasakan Linda.

Di kantin kampus

"Sebenarnya lo ngapain ajak gue ke sini?"

Hening. Seperti mengheningkan cipta. Bahkan lalat pun enggan untuk mendekat. Menarik napas, "Bapak Javas yang terhormat. Apa tujuan Anda membawa saya ke sini?" ucap Linda dengan nada tinggi.

"Aih, percuma ngomong sama orang bisu kek lo!" Linda mengambil tas dan berniat untuk pergi. Tiba-tiba tangan Javas menariknya. "Buat apa gue di sini Bambang kalau lo gak mau ngomong." ia kembali duduk.

Javas meneguk jus orange, masih sibuk dengan layar laptopnya. "Gue mau cabut! Malas di sini." dumel LInda berharap akan direspon oleh Javas.

Satu jam Linda seperti orang bodoh. Menemani Javas yang sesekali-kali tertawa kecil menatap layar monitor.

"Pulang!" Hanya satu kata yang keluar dari mulut Javas dan itu pun mengusir Linda yang sudah membuang waktunya satu jam lebih empat puluh menit delapan belas detik. Gadis itu menumpahkan minumannya di atas jaket Javas karena kesal lalu kabur.

"Bunda, Linda mengalami hal yang buruk di kampus, Bun."

"Buruk bagaimana sayang?"

"Bunda masih ingat dnegan Javas, teman SD Linda dulu."

"Iya, terus?"

"Dia sekarang jadi asisten dosen di kelas Linda, Bun. Hiks hiks." ia curhat bak anak kecil yang berumur delapan tahun.

"Ya bagus dong sayang. Berarti..." tangisan Linda berhenti, menatap tajam setajam silit kepada Bundanya.

"Bunda, kok bagus sih! Ih kesel!!" ia melipat tangan di dadanya.

"Hmp, Jadi maunya Linda bagaimana?"

"Linda mau dia pergi dari hidup Linda dan jangan pernah datang lagi walau pun hanya sedetik."

"Hati-hati dengan ucapanmu ya sayang." tersenyum.

Jangan membenci terlalu jauh, sebab rasa benci adalah puing-puing dari perhatian yang tak pernah kau pikirkan.

avataravatar
Next chapter