webnovel

SAH (?)

Pagi di jalan Mangga. Suasana sangat riuh, banyak yang sudah bangun pagi dan bersiap dengan baju batik, para wanita lebih sibuk lagi dengan merias wajah dan berswa foto.

Hari ini sudah tidak bisa terelakkan lagi, Bimo serta Tara akan menikah. Rupanya satu bulan masih saja tidak bisa membuat mereka gagal menikah. Padahal segala cara telah Tara lakukan.

Dari berura-pura sakit sampai pura-pura kerasukan agar semua orang tak jadi menyandingkannya dengan Bimo. Namun, kesialan itu terus menghampirinya dengan membawa tara pada hari ini.

"Kalau lari dari pernikahan ini apa gue bisa ditangkap polisi ya?" tanya Tara, dia membuat Hani dan perias pengantin geleng-geleng kepala.

Sejak mereka datang, tidak ada semangat yang menghiasi wajah wanita itu, selalu saja murung, kesal dan hampir saja dia mennagis, kalau bukan Hani yang mengancamnya pasti Tara sudah menangis sejak tadi.

"Gak ada yang lebih keren dari Bimo?" tanya Tara lagi.

Hani memutar matanya dia sebal dan gemaas dengan sahabatnya sendiri. Omongannya selalu di luar jalur.

"Please, deh, jangan bikin ibu hamil jadi geregetan. Belom tau kalau orang hamil lagi marah, ya?"

Tara memajukan bibirnya, dia senang sekali ketika Haani datang membawa berita dia sedang hamil. Bersamaan dengan kabar dukanya yang mau dinikahi dengan Bimo.

"Kalau udah nikah, lo pasti gak akan bisa lepas sama Bimo." Hani merekam aksi perias untuk dijadikan dokumentasi.

"Gue geli ngomongnya, gue jamin di malam pertama dia bakal gue banting kalau berani macam-macam!" ucap Tara penuh keyakinan sambil memukul meja hingga benda itu bergetar.

Hani menahan tawanya dengankuat, dia tak sabar mendengar pengakuan Tara nanti saat dia dan Bimo sudah menyatu dalam hubungan mereka.

Setidaknya Hani tenang, karena dia yakin, Bimo akan menjaga Hani dengan sangat baik. Sudah dibuktikan dari jaman sekolah. Meskipun caranya terkadang salah dan terlalu ekstrem, tetapi Tara buktinya sangat baik sekarang, dia tak pernah jalan sedikitpun dengan pria lain.

Bimo memang curang, dia sempat punya kekasih, meskipun Hani menilai kalau tatapan mata Bimo ke wanita itu berbeda, tidak sedalam ketika pria itu melamar Tara di depan semua orang satu bulan yang lalu.

***

Bimo sudah siap dengan penampilannya yang rapi dan bersih, dia menccukur semuaa bulu yang menemoel di wajahnya. Rambutnya pun di potong.

Wita sering sekali memanggil orang salon untuk melakukan perawatan ke Bimo di rumah, semua demi menunjang penampilan anaknya agar menarik di acara pernikahannya.

"Anak gantengnya Mmamh, udah siap?" tanya Wita. Dia sangat senang hari ini, wanita itu juga sudah rapi dan dia siap menjemput Bimo dari kamar.

Bimo tersenyum simpul dan dia bersikap setenang mungkin, berharap rasa gugup itu terusir dari dalam dirinya. Sejak tadi dia menghapalkan nama Tara yang sepanjang gerbong kereta api. Dia akan membaacakannya dalam satu tarikan napas, tapi dia tak yakin apaakah napasnya akan kuat atau keburu habis duluan.

Kertas berisi nama Tara masih saja di atas nakas, Bimo duduk di sampingnya. Mencoba menghapal sejak seminggu lalu.

Wita tahu sekali apa yang sedang anaknya lakukan, karena kertas itu dia yang memberikan, dan rupanya sangat berguna.

Wanita itu duduk di samping anaknya dan dia menatap wajah bingung Bimo, mengelus pundak anaknya berharap apayang dia berikan bisa menenangkan hati Bimo.

"Saya terima nikahnya, Tara Wildania Utami ...."

"Ardiani putri Bramantyo binti Bramantyo," Bimo melanjutkan, dia langsung sadar kalau dia mengingat semuanya dengan baik.

Bimo memeluk Wita dan mengucaapkan beribu terima kasih. Ternyata sentuhan dan semangat dari ibu sendriri membuatnya bisa mengingat semua hal yang sejak kemarin membuatnya tak bisa tidur.

"Siap?" tanya Wita.

Bimo merespons dengan anggukan penuh semangat, dia baangkit daari duduk dan keluar kamar ditemani oleh Wita.

Di luar rumah Bimo sudah ramai para teman SMA, teman main, dan teman kompleknya menunggu dengan tak sabar. Mereka sudah rapi dengan baju batik selaras yang memang Wita siapkan agar kompak sampai tujuan rumah besannya yang berada tepat di depan rumah mereka.

Semua orang dibagi dua tim, ada yang menyambut dan ada yang datang bersama Bimo.

Kalau pernikahan pada umumnya dihelat di gedung, mempelai wanita akan melihat memepelai laki-lai datang dari rekaman yang tersambung di ruang tunggu, tapi kusus pernikahan ini, Tara bisa melihat langsung dari jendelanya yang sengaja dia buka sedikit gordennya meskipun sejak tadi jika ketahuan Hani akan ditutup kembali.

Suara riuh musik dan juga obrolan para tetangganya membuat kuping Tara pengang, dia sampai susah mendengar Hani yang sejak tadi menyuruhnya menutup gorden hingga wanita hamil itu harus turun tangan dan akhirnya mengganjalnya dengan beban berat sekaligus memperingati Tara agar tidak pecicilan.

Degup jantung Bimo bertalu sangat keras, dia merasa gugup kembali, bahkan kali ini lebih kuat dari sebelumnya sampai dadanya terasa sakit sendiri, salah satu tetangganya memperhatikan Bimo dari kejauhan dan dia berusaha mendekat, walaupun harus membelah keramaian.

"Udah, santai aja, doa yang banyak biar lancar, lo gak lagi mau diinterogasi, palingan juga diledekin dikit aja. Cemen lo!"

Bimo tersenyum simpul menanggapi apa yang dikatkan tetangganya karena dia berusaha selalu tapi tak pernah berhasil sejak tadi, hanya saat kedatangan Wita dia merasa sedikit membaik dan sekarang panik mulai menderanya, tapi jika dia salah saat di atas pelaminan dan di depan penghulu, Tara pasti akan mengejeknya habis-habisa, lalu lebih parahnya jika Tara akan memanfaatkannya untuk membatalkan pernikahan.

Bimo langsung memasang mimik wajah serius karena ini adalah hari penting dia menyunting Tara sebagai istrinya yang hanya satu-satunya itu dia berharap kalau tak ada kendala sedikit pun.

Mereka langsung sampai dan masuk ke kediaman Tara, mereka disambut layaknya tamu dari jauh.

Bimo langsung diarahkan di meja pengulu, ada dua kursi tersedia, dia harus mengucap ijab kabul dulu sebelum Tara keluar.

Tara di ruang tunggu sibuk memilin jarinya sendiri, dia baru diperlihatkan layar yang menampikan Bimo dan para tetangga dengan wajah-wajah tak asing tersebut berada.

Beberpa kali Bimoterlihat membetulkan baju atau kopiyahnya, dia gugup setengah mati, tapi kemudian berusaha tetap fokus ketika Bram yang dibimbing penghulu menjabat tangannya untuk pengucapan ijab kabul.

Satu tarikan napas, keluarlah semua nama panjang Tara dengan sangat lanar, semua orang ssampai kagum dengan apa yang dikerjakan Bimo. Mereka saja sampai pusing mendengar nama Tara yang sangat panjang.

Setelah pengucapan itu, penghulu dan para saksi serta tamu undangan beramai-ramai mengucapkan, "Sah!"

Tara digiring keluar, mendekati suaminya yang merupakan musuhnya, di setiap langkah dia menccoba sabar, hingga wanita itu tanpa sadar sudah duduk di samping Bimo.

"Bimo ayo coba tengok dulu siapa di samping, benar ini istrinya?" tanya Pak Penghulu.

Bimo menengok ke sampingnya, dia menatap wanita itu cukup lama dan mengangguk lalu berkata, "Iya benar, dia Tara, istri saya."

Next chapter