1 Kesialan Di Pagi Hari

Minggu pagi di Jalan Mangga. Orang-orang melakukan aktivias lari pagi, mengajak hewan peliharaan bermain di luar rumah, dan ada juga yang mencuci kendaraan.

Itulah yang dilakukan oleh Bimo, pria yang masih menggunakan singlet dan celana selutut itu, baru saja mengeluarkan motor kesayangannya ke luar pagar.

Setelah itu dia membawa ember berisi air sabun beserta selang air yang disambung agar sampai ke luar.

Matanya menyipit melihat sinar matahari yang mulai keluar di jam 8 pagi. dia bersiul dan memulai aktivitasnya. terkadang sambil menyapa para tetangga yang sedang lewat dari lari pagi, atau membeli sarapan di luar komplek.

Setelah beberapa menit, dia selesai mencuci motornya sampai kiclong dan bersih.

Bimo mengambil ember berisi air sabun yang masih tersisa dan hendak membuangnya ke saluran air yang ada di depan jalanan.

Akan tetapi, karena jalanan yang cukup licin dan basah setelah dia mencuci motor, Bimo terpeleset dan ember airnya terlempar sampai akhirnya terjatuh dan tumpah ke airnya membasahi seseorang yang sedang melintas.

Sesosok wanita yang baru saja pulang membeli bubur ayam di depan komplek. Dia memejamkan mata ketika sekujur tubuhnya terkena siraman air sabun bekas Bimo mencuci motor.

Bimo menggigit lidahnya. Dia tak menyangka kalau orang yang terkena tumpahan air itu adalah Tara.

Dengan ragu-ragu pria itu bangun, sama-sama basah dan dia memberi senyuman kecut ke Tara yang wajahnya sudah memerah. Bubur ayam yang dia bawa tadi terjatuh ke aspal.

Bimo berinisiatif untuk mengambil bungkusan plastik itu dan memberikannya ke Tara. Tangan pria itu sampai bergetar dia takut kena cakar.

Gadis itu mengangkat tangannya tapi bukan untuk mengambil bubur tersebut, melainkan meraih tali singlet Bimo dan meremasnya.

"Apa-apaan ini? Lo pasti sengaja, kan?" tanya wanita yang basah kuyup itu. Dia berteriak dan menatap wajah Bimo dengan sorot mata berapi-api.

"E--enggak! Gue masih waras untuk gak nyiram lo, Kok. Suer, deh!" BImo panik dia mengangkat jari telunjuk dan tebgahnya. Pria itu juga berusaha menghindar dari tatapan Tara.

Tara semakin marah. Mendengar kata-kata BImo yang seakan-akan memojokkannya. Tara menilai Bimo tidak mau mengakui kesengajaannya yang dia lakukan sekarang.

"Bisa, gak, sih, lo gak bikin masalah sehari aja. Gak bikin gue jadi tumbal perbuatan lo yang kurang kerjaan ini? Gak bisa?" Tara mendorong BImo dan dia berbalik arah ke rumahnya, tepat di seberang rumah Bimo.

Berkali-kali dia berharap kediamannya lebih jauh agar tak usah menatap wajah pria itu yang membuat dia kesal setengah mati.

Orang-orang yang terbiasa dengan pertengkaran mereka tak berani ikut campur dan hanya menatap keduanya sambil menyimak. Malah sebagaian dari mereka sudah tak tertarik lagi. Ini sudah terlalu biasa, kejadian yang tak perlu dibawa serius.

Setelah Tara masuk ke dalam rumahnya dan tak terlihat lagi. Bimo tak bisa menahan tawanya. Seorang pria yang sedang menatapnya juga ikut tertawa.

"Parah lo, Bim," ucapnya, lalu melepas tawa yang sejak tadi tertahan di tenggorokan.

"Lucu banget mukanya merah kayak tomat. Lumayan deh, dapat bubur satu porsi." Bimo menatap bungkusan bubur yang masih aman dan tidak rusak. Dia masuk ke rumahnya dengan senyum merekah lebar, dan bersiap makan pagi gratis.

***

Tara mengintip lewat jendela kamarnya. Dia memperhatikan bangunan yang ada di seberang rumahnya.

Tingkahnya mirip seperti mata-mata.

"Ngapain, sih, ngintip-ngintip gitu? Ngeliatin rumah Bimo, kamu mau main ke rumahnya?"

Tara menatap ke asal suara yang ada di belakangnya. Sang Ayah, Bram, tersenyum ke arahnya. Seakan-akan sedang bicara dengannya dalam versi anak taman kanak-kanak. Sekarang tidak sama lagi, dia tak akan bermain ke rumah Bimo untuk selama-lamanya.

"Aku lagi mastiin, dia ada di depan rumahnya atau gak, soalnya aku mau keluar dan pergi ke acara pernikahannya Hani."

"Kalau gak salah Bimo udah berangkat, kebetulan ayah dan Bunda tadi lihat dia sedang bersalaman dengan Hani. Kami berdua baru pulang, kamu masih ada di kamar ngurung diri, kan."

"Hah, udah berangkat?" tanya Tara. "Kalau udah pergi duluan, nanti aku ketemu dia, dong?" lanjutnya lagi dengan ekspresi kecewa.

Bram menepuk-nepuk punggung putri semata wayangnya. "Kalau ketemu dia memang kenapa?" Pria itu kemudian tersenyum lembut. Sudah tahu masalahnya, tetapi tetap rajin bertanya apa alasannya.

"Yah, tadi aja aku kena air sabun bekas dia cuci motor. Kalau aku ke pernikahan Hani, apa yang mau dia tumpahin ke aku? Kuah bakso?" Tara bersidekap dada dan duduk di sofa. Semangatnya langsung hilang karena sudah dipastikan dia bertemu Bimo di sana. Pertengkaran kembali terbayang.

Pernikahan Hani pasti dijadikan ajang reuni anak-anak SMA. Bimo pasti ogah pulang cepat-cepat. Teman dia banyak, sedangkan Tara, bisa dihitung pakai jari.

Tara beranjak ke sofa, dan duduk bersandar di sana.

Bram menyusul duduk di sofa. "Udah sana pergi. Kamu jangan berpikiran buruk terus sama Bimo. Dia gak mungkin sengaja buang air itu ke kamu, kan? Tadi orangnya juga udah minta maaf sama ayah."

"Iya ... iya, aku berangkat, deh."

"Tara segera bangkit dari duduknya dan dia memesan taksi sebelum berangkat.

Tak beberapa lama taksi datang dan membawanya menuju gedung tempat resepsi pernikahan Hani, teman dekat semasa SMA-nya.

Dalam hati, Tara terus merapalkan doa agar dia tak bertemu Bimo dan mengalami sial setiap bertemu pria itu. Rencananya, sampai di sana sepertinya dia akan segera naik dan menyalami Hani, lalu langsung pulang dengan seribu alasan yang mulai dia rancang mulai dari sekarang.

Beberapa menit berselang dia sampai di tempat resepsi, tak perlu dia memastikan kalau ada tidaknya Bimo di sana. Nyatanya matanya yang melihat ke parkiran, langsung tertuju menatap motor kesayangan Bimo.

Nampaknya ini hari sial Tara, jadi dia berusaha untuk berhati-hati dan menghindar dari mata jahil Bimo.

Hani langsung memeluknya ketika Tara naik ke pelaminan dan memberi selamat atas pernikahannya.

"Ya ampun My Bestie, gue pikir lo gak datang. Udah sedih dan bakal nyiapin diri buat maki-maki lo sebenernya." Hani memeluk Tara erat sekali.

"Mana mungkin gue gak dateng, sih, selamat menempuh hidup baru, ya, yang langgeng dan cepetan kasih keponakan buat gue."

"Jangan ditanya, deh. Kalo urusan cetak mencetak calon keponakan buat lo, gue sama Roy bakal usaha setiap hari!" ucap Hani yang mengundang tawa Tara.

"Parah, frontal banget jadi cewek. Yaudah gue langsung pulang, ya, soalnya ada urusan keluarga mendadak." Tara mulai berbohong.

Hani memutar bola matanya dan dia menahan pergerakkan wanita itu, lalu berkata, "Lo bisa bohong ke orang lain, tapi itu gak berlaku buat gue. Duduk di sana, makan kek, banyak makanan kesukaan lo."

avataravatar
Next chapter