6 6. Hukuman

Citra terus diam sembari memandang ke sekelilingnya. Bertanya-tanya akan apa yang ada di pikiran orang-orang di sekitarnya. Hidupnya berubah dalam semalam. Padahal kemarin dia pergi ke kandang untuk menjaga sapi-sapinya dan tertidur di sana.

Bu RW dan Pak RW telah datang. Bu RT dan Pak RT langsung mendekati mereka.

"Bu, tolong jangan salah paham. Citra kami enggak mungkin ngelakuin semua ini," pinta Bu RT.

Bu RW menekuk kedua tangannya di depan dada dengan lirikan sinis. "Lalu apa yang kalian harapkan? Tetap menikahkan anak kami seperti yang direncanakan?"

"Tentu saja. Putri kami enggak mungkin mengkhianati putramu." Bu RT berusaha meyakinkan.

"Apa kalian pikir kami gila akan menikahkan putra kesayangan kami dengan pengkhianat seperti putrimu?!" seru Bu RW.

"Itu enggak benar, Bu. Putri kami enggak mungkin ngelakuin itu. Kami bahkan enggak kenal laki-laki itu." Bu RT menunjuk ke Dodik yang masih bersimpuh.

"Kamu emang enggak kenal laki-laki itu, tapi putrimu pasti mengenalnya dengan benar. Padahal baru seminggu lalu aku memperingatkan putrimu agar tidak mengecewakan kami yang sudah menunggunya tiga tahun," sindir Bu RW. Kemudian dia melangkah pergi dan menyudahi pembicaraan ini. Pak RW juga diam. Rupanya persahabatan yang dijalinnya bersama Pak RT retak hanya karena sebuah kesalahpahaman.

Saat melewati Citra, Bu RW dan Pak RW tidak melirik sedikit pun. Mereka bersikap seakan tidak ada apa-apa di sekitarnya. Sedangkan Radi yang berada di belakang mereka sempat menghentikan langkahnya di depan Citra.

"Radi …." Untuk pertama kalinya Citra menyebut nama Radi setelah tiga tahun. Namun, Radi segera melangkahkan kakinya dan mengabaikan Citra.

Citra menunduk sedih. Memang dia tidak menyukai pernikahan ini, tetapi dia lebih tidak menyukai kesalahpahaman ini.

Pak Lurah pun datang. Rupanya sidang telah dimulai.

"Tadi pagi Titik, budenya Citra, berniat membangunkan keponakannya yang terbiasa tidur di kandang sapi sembari menjaga sapi. Tapi dia malah menemukan keponakannya tidur dalam pelukan laki-laki asing yang tidak mengenakan pakaian atasan," kata seorang laki-laki paruh baya menjelaskan inti permasalahannya.

"Aku enggak pakai pakaianku bukan karena aku ingin! Tapi—"

"Meski Citra belum menikah dengan Radi, mereka sudah bertunangan sejak tiga tahun lalu. Sesuai hukum di desa ini, kedua orang ini harus dipukul seratus kali," tambah laki-laki itu tidak membiarkan Dodik menjelaskan.

Dodik terperanjat. Dia langsung bangun. "Apaan ini?! Ini bukan hukuman, tapi kekerasan!" protes Dodik.

Seseorang di belakang Dodik menekan pundaknya sehingga dia bersimpuh lagi.

"Kita kurangi saja," timpal Pak Lurah.

Dodik bernapas lega. "Syukurlah," gumamnya.

"Apa maksud Bapak? Bukankah ini sudah menjadi hukum di desa kita selama bertahun-tahun?" tanya laki-laki itu dengan suara meninggi. Sepertinya dia keberatan.

Dodik melirik kesal. Dasar Pak Tua Sialan, umpat Dodik dalam hati.

"Aku tahu itu. Tapi kan Nak Citra ini hanya bertunangan dengan Nak Radi. Lagipula Pak RT sudah banyak memberikan bantuannya untuk kemajuan desa ini. Jadi, mari kita sedikit memaklumi kesalahan putrinya," jelas Pak Lurah.

Dodik kembali bernapas lega. Kukira aku tidak akan baik-baik saja selama Pak Tua Sialan itu masih bersuara. Rupanya Lurah di sini tegas juga. Sepertinya aku harus memberikannya beberapa jas nantinya, batin Dodik. Dia mulai tersenyum.

"Lalu hukuman apa yang akan kita berikan? Mengingat bantuan-bantuan yang juga diberikan Pak RW untuk desa ini, rasanya tidak adil kalau mereka dilepaskan begitu saja," sahut laki-laki itu.

"Kita nikahkan mereka," jawab Pak Lurah.

Dodik langsung bangun. Bola matanya membundar sempurna. "Aku tidak mau!" tolaknya. "Lagipula usiaku masih 25 tahun. Setidaknya butuh tiga sampai lima tahun lagi untukku menikah."

"Butuh lima tahun lagi untukmu menikah dan hanya butuh lima menit untukmu mendapat seratus pukulan," bisik orang yang berada di belakang Dodik. Kemudian orang itu menekan pundak Dodik lagi.

Kaki Dodik terasa lemas. Dia bersimpuh dengan mudahnya.

Papa … selamatkan aku …, batinnya. Seharusnya Dodik tidak keluar dari rumah itu.

***

avataravatar