webnovel

4. Pergi Dari Kebenaran

"Sekarang kamu bilang kalau papa yang merawatku sejak kecil bukanlah papaku, sedangkan kamu yang baru datang dalam hidupku adalah papa kandungku. Mamaku juga merawatku sejak kecil. Apa kamu juga akan bilang kalau perempuan di depanku bukan mamaku dan mamaku ternyata orang lain?"

David dan Sofia saling menatap dengan mulut membisu. Tidak ada yang memberikan jawaban kepada Dodik. Dodik pun mencari jawabannya sendiri dengan menguji tes DNA antara ketiga orang ini. Hasilnya persis seperti kalimat yang diucapakannya sembarangan: David adalah ayah kandungnya, sedangkan Sofia bukanlah ibu kandungnya.

Dodik merasa lemas. Tangannya yang melemah menjatuhkan kertas itu bersama arti terakhir kehidupannya. Dia bisa menerima kalau David, orang yang tidak disukainya adalah ayah kandungnya. Sedangkan untuk kebenaran ibu kandungnya, bagaimana itu mungkin? Bagaimana mungkin orang yang merawatnya sejak kecil, memberikannya kasih sayang, memberikan seluruh waktu untuknya bukanlah ibu kandungnya? Lalu siapa ibu kandungnya sebenarnya?

Dodik menerima David dan kembali pulang hanya untuk membahagiakan ibunya. Namun, ibunya bukanlah ibu kandungnya. Jadi untuk apa Dodik berusaha membahagiakan perempuan itu?

Dodik pun pergi dari rumah tanpa membawa apa pun selain mobil dan pakaian yang dikenakannya. Dia berniat pergi ke vila salah satu temannya yang berada di pedesaan. Sialnya kegelapan jalan membuatnya tersesat. Lebih sialnya lagi, dia tidak membawa apa pun selain mobil dan pakaiannya, yang berarti dia juga tidak membawa dompet dan ponselnya. Dodik menggaruk kepalanya penuh penyesalan. Bagaimana mungkin dia bisa meninggalkan benda paling penting itu?

Tok-tok.

Dodik mengangkat kepalanya karena seseorang mengetuk kaca jendelanya. Dia melihat dua tubuh berada di samping mobil. Dia pun menurunkan kaca jendelanya.

"Ada apa, Pak?" tanya Dodik.

Kedua laki-laki itu menunduk sehingga menunjukkan kepalanya yang berbalut kaus. Seketika Dodik terperanjat dan merasa ketakutan. Laki-laki yang kepalanya terbungkus kaus biru langsung memasukkan tangannya ke dalam mobil Dodik untuk membuka pintunya.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Dodik. Dia mundur sedikit demi sedikit.

"Kasih semua barangmu!" sentak laki-laki berkaus biru dengan menadahkan tangannya.

Dodik membelalakan kedua matanya. Apa ini pembegalan? Apa kedua orang ini yang disebut begalator? –eh?

Terbiasa hidup di atas awan, Dodik tidak tahu bagaimana menghadapi situasi saat kakinya memijak kerikil. Dodik yang kebingungan langsung membuka pintu di belakangnya dan keluar dari sana. Sialnya, satu orang lainnya yang kepalanya terbungkus kaus hitam malah menghadangnya.

"Mana kunci mobilnya?!" Laki-laki itu juga menadahkan tangannya.

Dodik menyembunyikan kunci mobil di balik punggungnya. Jika orang ini memintanya beberapa hari lalu, Dodik akan memberikannya secara cuma-cuma. Namun, sekarang Dodik bahkan tidak memiliki sepeser uang pun.

Tiba-tiba laki-laki itu menarik kasar tangan Dodik untuk merebut kunci itu.

"AAAH!" jerit Dodik. "Sakit tahu!"

"Dasar lembek! Gini aja sakit," ejek laki-laki itu.

Dodik tidak percaya setelah dibegal, dia masih menerima ejekan dari si pembegal.

"Kamu yang kasar! Ini bisa dituntut atas penyerangan, tahu?!" tegas Dodik.

Laki-laki itu tertawa. "Kalau kamu kulembuti, berarti bukan aku membegalmu, tapi menikahkanmu dengan kakakku."

Jadi benar … Dodik telah dibegal.

"Lama sekali, sih!" protes laki-laki berkaus biru yang baru menyusul.

"Aku sedang berpikir untuk menikahkan laki-laki ini dengan kakakku," canda laki-laki berkaus hitam.

"Apa kamu berniat membunuhku?" Laki-laki berkaus biru memukul kepala rekannya. "Berani sekali kamu berkata seperti itu tentang istriku!"

"Ayolah, Cak. Aku hanya bercanda!" tegas laki-laki berkaus hitam sembari mengusap kepalanya.

"Apa kamu pikir ini lucu?" tanya laki-laki berkaus biru. Kemudian menadahkan tangannya lagi.

"Apa lagi?" tanya Dodik tidak mengerti. Dia sudah menyerahkan kunci mobilnya.

"Pakaianmu!" tegas laki-laki berkaus biru.

"Kalian mungkin gila, tapi tidak denganku. Kalau aku melepaskan pakaianku, lalu apa yang akan kukenakan? Daun pisang bahkan tidak ada di sini," tolak Dodik.

"Kami tidak peduli denganmu, kami hanya peduli dengan pakaian itu," balas laki-laki berkaus biru ketus.

"Tapi, Cak, dia benar. Enggak ada daun pisang di sini," sela laki-laki berkaus hitam.

Laki-laki berkaus biru berdecak kesal. Kemudian langsung mendorong rekannya ke Dodik. Laki-laki berkaus hitam mengerti maksud rekannya. Dengan sigap dia melucuti pakaian Dodik. Dodik yang terus menjerit itu akhirnya diam setelah kedua laki-laki itu hanya menyisakan celana pendek di tubuhnya. Dia begitu merasa malu.

Ah, sial! Seharusnya Dodik tidak melawan orang tuanya. Kini Tuhan mengazabnya sebagai anak durhaka.

Jalan begitu gelap sedangkan udara semakin dingin. Mendekati akhir tahun, rintik-rintik hujan menambah kesialan Dodik. Dodik terus berjalan sembari memeluk tubuhnya sendiri. Semringah mulai tergambar saat Dodik menemukan sebuah rumah tua. Dia pun masuk ke dalam sana. Rumah itu sangat gelap. Dodik kesulitan mengenali apa saja yang mengisinya. Dia hanya meraba-raba sampai akhirnya dia menemukan sebuah ranjang berkasur. Meski kasur itu terasa keras, Dodik merasa lega menemukan bantal tersedia di sana. Bukan hanya itu, dia juga menemukan selimut tebal dan sebuah guling ….

***

Next chapter