webnovel

Awal pertemuan

Dr. Muda Thalia Myesha

kaki jenjangnya melangkah cepat membantu para suster mendorong brankar berisikan seorang pemuda, kondisinya cukup mengenaskan. dia-Jullian Alvaro- korban tembakan dari buronan polisi.

Thalia, dokter muda itu memasuki ruang operasi bersamaan dengan Dokter Eric memasuki ruang tersebut.

"siapkan alat operasi!" Thalia berujar cepat.

para suster dan dua dokter muda ini mulai di sibukkan dengan operasi pengeluaran peluru mematikan, keduanya sangat fokus dalam melakukan operasi. Thalia melakukan operasi secara perlahan dan lembut, bagaimana pun juga dia tidak mau membuat pasiennya ini kesakitan lebih banyak lagi.

"suster Eni, siapkan alat pemompa darah. suster Any siapkan golongan darah AB, pasien mengalami kekurangan banyak darah karena luka tembak yang dalam." ujar Thalia sedikit berteriak.

kedua suster kepala satu itu langsung melakukan tugasnya, Thalia dan Eric masih sibuk dengan alat operasinya. keduanya sama-sama berusaha mengeluarkan peluru yang bisa melumpuhkan dan beracun tersebut.

piiip...

piiiiiip.....

suara alat pendeteksi jantung, berhasil mengalihkan perhatian keduanya, Thalia yang sudah panik dan Eric yang cukup terkejut.

"CEPAT PASANGKAN ALATNYA!" Thalia dan Eric berujar bersamaan, operasinya cukup membutuhkan waktu lama karena mereka harus hati-hati agar tidak menggores jantung.

"Detak jantungnya melemah, nafasnya tidak beraturan! Suster Eni siapkan alat pernafasan!" Dokter Eric berujar cepat.

Suster yang di ketahui bernama Eni itu langsung menyiapkan alat pernafasan, Dokter Eric langsung memasangkannya sedangkan Thalia masih fokus dengan acara operasinya.

"Dapat!"

Setelah dua jam lamanya, akhirnya Thalia berhasil mengeluarkan peluru yang tertanam di perut Pasien. Hingga sedikit lagi peluru itu akan menembus ke lambung.

***

Cjrshhhhhh....

Huhffttt...

Helaan nafas terdengar begitu jelas, operasi tadi begitu menguras tenaga para medis. Pasien tadi terkena luka tembakan, lebih tepatnya itu tembakan yang salah sasaran.

Peluru yang tertanam pula, cukup berbahaya.

Selesai membasuh muka, Thalia beranjak dari toilet dan akan kembali mengecek keadaan pasien yang harus di masukkan ke ruang ICU karena keadaannya yang buruk.

CKLEK

Hal pertama yang Thalia dengar adalah suara alat pendeteksi jantung, dan seorang laki-laki yang terbaring lemah di atas brankar dengan berbagai alat medis yang terpasang di sana.

Jullian Alvaro. Nama laki-laki tersebut.

"Huftt..."

"Keadaannya bahkan masih sama seperti tadi." Ujar Thalia.

Sekitar 10 menit dia mengecek keadaan Jullian, akhirnya kegiatannya selesai dan beranjak dari sana. Bertepatan dengan keluarnya Thalia, seorang polisi muda datang dan langsung menghampirinya.

"Dokter, bagaimana keadaan adik saya?" Tanya polisi tersebut. Jindo Alvarez.

Siapa yang tidak mengenal Jindo? Kepala kepolisian berjasa, polisi muda yang baru berusia 24 tahun itu terlihat sangat tampan dan gagah dengan rahang yang tegas.

Thalia menghela nafas, "keadaan Tuan Jullian cukup buruk, peluru yang tertanam itu dapat melumpuhkan dalam beberapa waktu. Detak jantungnya mengalami kerusakan, hingga detak jantungnya melemah." Jelas Thalia.

Nampak sangat wajah khawatir Jindo, dia tidak pernah berfikir adiknya akan mengalami hal seperti ini. Adiknya itu merupakan seorang pelajar, dia masih berkuliah dan adiknya tertembak oleh target Jindo karena targetnya itu seorang anggota gangster.

Thalia melanjutkan, "kondisi tuan Jullian juga kritis."

"Baiklah, terima kasih Dok."

Thalia tersenyum manis, untuk beberapa detik Jindo terpesona dengan senyum manis wanita berlesung Pipit tersebut. Lantas kepalanya menggeleng cepat.

"Kalo begitu saya permisi." Ujar Thalia dan beranjak dari sana.

Jindo menatap punggung Thalia yang semakin menjauh, entah kenapa hatinya seolah berkata untuk mendapatkan hati dokter manis tersebut.

Perempuan berlesung Pipit, ber-sneli dan wajah yang nampak damai adalah sosok perempuan yang selama ini Jindo cari. Entah dorongan dari mana hatinya seolah menyuruhnya untuk mendekati dokter cantik itu.

Dr. Muda Thalia Myesha

Jindo sempat melihat namanya, nama yang cantik dengan wajahnya yang cantik dan pandangan yang teduh.

Drtttt!!!

Dering telfonnya memecahkan lamunan Jindo, di lihatnya nama 'Chandra' yang memanggilnya. Dengan cepat dia mengangkat telfon dari bawahannya itu.

"Halo."

"Lapor, target berhasil lolos, saat ini kami sedang mencari keberadaan dia. Kami kehilangan jejak saat di bandara, sepertinya dia kabur keluar negeri."

"Lakukan pemantauan, lacak dengan baik. Kabari saya jika buronan sudah di temukan. Sepertinya kita akan melakukan rencana B."

"Baik Inspektur!"

Sambungan terputus. Jindo kembali memasukkan handphonenya ke dalam kantung celana dan mengalihkan pandangannya.

Ruang ICU Jullian itu di lapisi dengan dinding kaca transparan, ruang rawatnya itu di bagi menjadi dua ruangan dan salah satunya ruang intensif yang di isi oleh Jullian.

Sedikit banyaknya Jindo merasa bersalah, karena buronannya lah sang adik jadi lemah tak berdaya. Dan sekarang targetnya itu melarikan diri cukup jauh, butuh waktu lama untuk menangkap buronannya tersebut.

***

Thalia memasuki ruangannya, senyumnya tak kunjung luntur dari bibir tipisnya. Entah apa yang membuatnya bahagia, tapi bibirnya seakan terus-terusan ingin menarik senyum.

"Kamu kenapa Tha?" Suara sang sahabat sekaligus partner-nya itu menghentikan senyuman manis Thalia.

Thalia menatap sahabatnya itu heran.

Tersenyum, why? Bukankah tersenyum itu indah? Menyenangkan?

"Gak papa Ric, emang kenapa?" Thalia balik bertanya, menurutnya tidak ada yang salah jika dia tersenyum.

"Kamu kaya orang gila Thal, senyum-senyum sendiri aku liatin."

Thalia terkekeh dan menarik kursi untuk dia duduki, tidak lupa menumpangkan kakinya ke kaki satunya lagi. Dengan tangan bertopang dagu, Thalia berujar. "Tau gak Ric, tadi aku ketemu sama polisi. Ganteng banget deh, kayanya dia masih muda." Ceritanya dengan mata berbinar.

Eric memutar bola matanya malas, "apaan, paling masih gantengan aku."

Males banget Thalia dengernya.

"Semerdeka kamu aja Ric."

"Aduuuh... Ada cinta pada pandangan pertama nih" goda salah satu sahabat Thalia. Thaletta Jovanka.

"Thaletta apaan sih." Ketus Thalia.

Thaletta memutar bola matanya malas, terlalu faham dengan sikap tsundere sahabatnya ini. Thaletta tahu mungkin Thalia menyukai polisi muda tersebut. Ingat! Menyukai.

Dari pada terus di goda dua sahabatnya ini, Thalia memilih untuk mengemasi barang-barangnya dan beranjak dari sana.

"Thalia inget, Jullian Alvaro pasien kamu!" Teriak Eric.

Thalia berbalik dan mengacungkan jempolnya, lantas gadis berlesung Pipit tersebut pergi dari area rumah sakit dan memasuki kantin rumah sakit. Jam sudah menunjukkan waktu makan siang, perlu kalian tahu, Thalia itu mempunyai asam lambung. Dirinya tidak boleh telat dalam makan.

Kantin rumah sakit siang ini cukup ramai, sedikit banyaknya Thalia kesulitan untuk memesan makanan karena stand-stand makanan yang cukup penuh.

Hembusan nafas terdengar dari bibir mungilnya, perutnya sudah lapar minta di isi.

"Dokter."

Thalia menoleh.

Polisi muda itu.

"Saya?"

Thalia menunjuk dirinya sendiri polos, polisi muda itu tersenyum dan mengangguk. Dengan pakaian rapi khas komandan kepolisian, dia menghampiri Thalia yang masih menenteng sneli-nya.

"Mau cari makan siang?"

Tepat sasaran, Thalia langsung mengangguk tanpa bersuara.

Polisi itu-a.k.a Jindo Alvarez menarik pergelangan tangan Thalia keluar dari kantin rumah sakit.

"Saya tahu cafe dekat sini, makanannya enak-enak dessert-nya juga." Seolah tahu apa yang di fikirkan Thalia, Polisi muda itu berujar.

Duk...

"Ashhh~"

Thalia menatap Jindo tajam, apa-apaan Jindo ini tiba-tiba berhenti berjalan.

Polisi muda itu berbalik dan menatap Thalia, "mau makan siang sama saya?" Tawar polisi muda itu.

"Boleh." Jawaban yang di tunggu Jindo akhirnya keluar. Lantas keduanya berjalan berdampingan menuju Cafe yang terletak di samping rumah sakit. Keduanya memilih meja yang terletak di dekat kaca besar, menampakkan jalanan serta gedung-gedung pencakar langit dan bagian samping rumah sakit tempat Thalia bekerja.

***

Eric berlari menuju ruang ICU yang di tempati Jullian Alvaro, suster yang mengecek keadaannya memberi tahu Eric bahwa detak jantung Jullian semakin melemah. Detak jantungnya terus menurun, bahkan hampir berhenti.

"Cepat hubungi Dokter Thalia!" Teriak Eric memasuki ruang ICU.

Dengan cepat dirinya berusaha mengembalikan detak jantung Jullian.

Brakk...

"Thalia, cepat detak jantungnya sempat berhenti." Desak Eric.

Thalia beranjak dan membantu Eric mengembalikan detak jantung Jullian, Thalia ingin adik dari polisi muda ini dapat selamat dan kembali sehat seperti semula.

Berbeda dengan Thalia dan Eric yang berusaha mengembalikan detak jantung Jullian, polisi muda yang menunggu di luar ruangan nampak begitu cemas. Panggilan dari kantor kepolisian masih Jindo abaikan, yang terpenting baginya adalah adik satu-satunya itu. Jullian Alvaro. Dia harus selamat kembali.

Pintu ruang ICU terbuka, menampakkan dua dokter muda dan cantik yang keluar dari sana. Eric sedikit membungkuk dan melenggang dari sana, sedangkan Thalia masih diam di hadapan Jindo.

Helaan nafas terdengar, "bagaimana keadaan Jullian?" Suaranya yang bergetar membuat Thalia tidak tega harus mengatakannya. Tapi, bagaimana pun juga Thalia harus menyampaikan bagaimana kondisi Jullian saat ini.

"Tadi, detak jantung pasien sempat berhenti. Namun saya dan rekan saya berhasil mengembalikan detak jantungnya, namun kami pihak rumah sakit menyatakan Tuan Jullian koma dan kembali kritis." Jelas Thalia.

Jindo diam mematung, Jindo tau. Tahu betul peluru jenis apa yang sempat tertanam di perut sang adik, namun dia tidak pernah menyangka peluru itu akan sangat berbahaya seperti ini.

"Seberapa lama Jullian akan koma?" Tanya Jindo.

"Satu bulan, tapi itu bisa lambat dan bisa saja cepat. Berdoa saja pada Tuhan, semoga tuan Jullian cepat sadar."

Jindo menghela nafas dan mengangguk, orang itu! Benar-benar, buronan yang saat ini dia kejar cukup berbahaya.

***

Kantor kepolisian

Jindo memasuki markas besar kepolisian itu dengan wajah datar, bagaimana pun caranya targetnya harus tertangkap dan di beri hukuman yang setimpal dengan perbuatannya itu.

"Inspektur." Suara Chandra menghentikan langkah Jindo, dirinya lantas berbalik dan menatap Chandra heran.

"Ada yang perlu saya bicarakan."

Jindo mengangguk, "mari."

Keduanya melangkah menuju ruangan Jindo, sang inspektur. Di sana mereka membicarakan perihal kaburnya buronan, atau yang mari kita panggil saja brigit.

"Bagaimana? Apakah sudah ada kabar kemana perginya Brigit?" Tanya Jindo to the point.

Chandra menghela nafas, "sejauh ini kami baru saja menemukan celah dia kabur kemana." Jawabnya.

Alis Jindo bertaut, "kemana?"

"Turki."

***

"Lama sekali! Kau tau aku lapar sialan!" Bentak pria paruh baya.

Thalia yang baru sampai dan langsung menghampiri sang ayah di ruang keluarga, dia langsung menyerahkan makanan yang di pesan ayahnya. Namun karena jalanan macet dan kedai sedang ramai, jadi itu banyak membuang waktu Thalia.

"Maaf ayah--"

"Diam! Cepatlah pergi ke kamarmu, aku muak melihat wajahmu." Ujar Bryant.

Thalia menghela nafas dan beranjak, biarlah seperti ini. Mungkin di masa depan nanti Bryant bisa menyayangi Thalia dan menerima Thalia dalam kehidupannya.

"Baru pulang?" Itu Aletha, anak pertama Bryant dan Sonia.

Aletha Serena, usianya baru saja 27 tahun. Dia berprofesi sebagai penulis, dirinya anak yang di bangga-banggakan oleh Bryant.

Sonia telah meninggal saat Thalia lahir, hal itulah yang membuat Bryant membenci anak bungsunya. Dia terus menyalahkan Thalia dalam kematian Sonia, selama ini Thalia di rawat oleh baby Sitter. Tidak pernah tahu bagaimana rupa sang bunda, tidak pernah merasakan kasih sayang bunda. Dan lagi, Thalia tidak tahu bagaimana rasanya pelukan hangat sang ayah.

Tidak seperti orang lain yang mendapat kasih sayang lengkap, di sayangi oleh keluarga. Bagi Thalia harta tidak ada apa-apanya di banding keluarga, percuma saja jika Thalia hidup bergelimang harta jika kasih sayang tidak dia dapatkan.

Hey! Apakah menurut kalian uang bisa membuat kita bahagia?

Dengan uang mungkin kita bisa membeli apa yang kita inginkan, tapi ingat, kasih sayang orang tua lebih berharga dari pada harta.

Dan kisahnya akan di mulai setelah pertemuan ketidaksengajaan, antara Dokter muda dan polisi Muda. Berterima kasihlah kepada Jullian Alvaro karena telah mempertemukan Jindo Alvarez dan Thalia Myesha.

Keduanya sama-sama manusia biasa yang mempunyai masalah keluarga tersendiri, Thalia yang kehilangan bunda sejak dini dan Jindo yang tidak pernah merasakan kasih sayang tulus karena orang tua yang teramat sibuk dengan pekerjaan.

-MY POLICE-