20 Pulau Pina

Hai semuanya. Tadi pagi saya iseng baca ulang chapter sebelumnya agar saya mendapatkan inspirasi untuk kelanjutannya. Lalu saya membaca komen-komen kalian yang memberi saya semangat. Entah kenapa tiap kali membaca komen kalian, saya terharu dan ide langsung muncul di kepala (modus nih, hehehe)

Terima kasih atas dukungannya dan jreng..jreng..

Hari ini saya update lagi. Semoga kalian suka

**********************************************

Menjelang sore, di rumah kediaman West, tidak seperti biasanya tiga dari empat bersaudara memasang senyum senang di wajah mereka. Bagaimana tidak? Hari ini adalah hari pertama mereka menikmati liburan mereka setelah selesai menyelesaikan berbagai macam ujian.

Khususnya Anna yang sudah selesai di tahun terakhirnya. Dia hanya perlu menunggu hasil ujian kelulusannya beberapa minggu lagi sebelum akhirnya dia akan masuk di universitas.

Karena itu mereka bertiga menonton sebuah film di ruang keluarga sambil makan cemilan dengan santai.

Meskipun mereka telah libur sekolah, kakak tertua mereka masih bekerja. Merasa bosan karena berada di rumah seharian, akhirnya mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di halaman belakang.

Tepat saat itulah Benjamin beserta Cathy pulang ke rumah.

"Kakak, Paman Ben. Kalian sudah pulang? Biasanya kan sampai malam?" Lizzy yang suka sekali penasaran bertanya.

"Kalian sudah makan?"

Serentak ketiga keponakannya menggelengkan kepalanya. Kemudian Benjamin mengajak mereka berempat makan di luar.

Restoran yang mereka kunjungi merupakan restoran masakan laut. Otomatis si kembar bersorak kegirangan. Masakan laut adalah makanan favorit mereka.

Begitu memasuki sebuah restoran yang sangat mewah pandangan Anna beserta kedua adiknya berbinar-binar merasa takjub.

Dekorasi restoran dipenuhi dengan lukisan laut dan jenis tanaman yang biasa hidup di bawah laut. Sementara itu di salah satu sisi dinding tertempel sebuah aquarium yang memanjang. Mereka bertiga bertanya-tanya apakah aquarium bisa ditanam ke dalam tembok? Karena aquarium panjang dan tampak berat tersebut menjadi satu sama rata dengan tembok yang bewarna biru laut.

Warna biru yang sangat sepadan dengan air dalam aquarium. Membuat siapapun yang melihatnya merasa ada di dalam laut.

Bukan hanya itu saja, di dalam aquarium terdapat seekor ikan yang memanjang. Ikan tersebut sangat memukai dan cantik. Tiap kali ikan tersebut berputar untuk berenang ke sisi lain, warna tubuhnya mengilap dengan indah.

"Pamam, ikan apa ini?" Lizzy yang pertama kali bertanya.

"Itu adalah Ikan Arwana Platinum. Seperti namanya warnanya adalah platinum. Ikan ini salah satu ikan termahal di dunia ini."

Anna beserta si kembar melongo menatap tak percaya mendengar penjelasan paman mereka. Mereka kembali memandang ikan arwana tersebut dengan semangat. Mereka tidak pernah melihat ikan secantik dan seelegan ini.

Sementara itu Cathy bertanya-tanya, seperti apakah warna platinum itu? Apakah dulu waktu dia masih kecil, pernah melihat warna platinum?

Cathy hanya memandang ikan yang berenang dengan anggun sambil berusaha membayangkan seperti apa warna platinum. Yang dilihatnya hanyalah ikan bewarna putih namun kadang ada cahaya yang menari di sisik tubuhnya saat memutar tubuhnya.

Cathy mendesah menyerah tidak ingin hatinya semakin terpuruk karena kecacatannya.

Apakah suatu hari nanti aku akan bisa melihat warna-warna dunia ini? Sepertinya tidak.

Sambil menunggu pesanan mereka, secara bergiliran ketiga adik Cathy bercerita apa saja yang terjadi di sekolah mereka.

Baik Ben maupun Cathy mendengarkan mereka sambil tertawa bersama mereka. Bahkan saat hidangan datangpun, mereka masih bercerita dengan penuh semangat.

"Berapa lama kalian memiliki libur panjang?" tanya Ben.

"Anna akan masuk kuliah tiga bulan lagi. Sedangkan Lina dan Lizzy akan masuk bulan depan."

"Ah.. enaknya libur tiga bulan.." seru Lina.

"Tidak juga. Begitu kalian masuk sekolah, kakak akan merasa bosan setengah mati di rumah."

Mendengar ini Ben dan Cathy tersenyum.

"Apa sebaiknya aku menggambil pekerjaan paruh waktu ya?"

"Tidak boleh!"

"Boleh saja."

Ben beserta Cathy mengatakannya secara bersamaan. Ben mengatakan boleh, sedangkan Cathy melarang adiknya untuk bekerja.

Mendengar jawaban yang berbeda tapi di waktu bersamaan, Anna melihat keduanya dengan tatapan bingung.

"Kenapa aku tidak boleh bekerja?"

"Benar. Kenapa kau melarang adikmu?"

"Itu... Jika memang dia ingin bekerja, bisakah dia bekerja di Star Risen?"

Ah.. akhirnya Ben mengerti kekhawatiran Cathy. Melalui pengalamannya, Cathy tidak ingin adiknya menjalani tekanan pekerjaan part time seperti yang dialaminya.

Cathy sungguh-sungguh memanjakan adik-adiknya. Pikir Ben dalam hatinya.

"Tentu saja. Tidak masalah. Bagaimana kalau dimulai besok lusa?"

"Besok lusa? Cepat sekali?"

"Hanya pekerjaan sampingan. Minggu depan Star Risen di pulau Pina akan mengadakan acara pembukaan secara global. Akan ada seorang fotografer yang datang kesana untuk mengambil beberapa gambar dan mendokumentasikan acara pembukaan kami."

"Pekerjaanmu hanyalah membantu Cathy untuk memastikan persiapan untuk acara pembukaan berjalan dengan lancar."

"Cathy juga ikut?" kali ini Cathy yang bertanya. Dia baru pertama kali mendengar mendapat tugas di pulau Pina.

"Benar. Jadi besok kalian akan berangkat kesana untuk berlibur selama lima hari. Setelah itu, fotografer akan datang dan barulah pekerjaan kalian dimulai. Si kembar juga akan ikut dengan kalian."

"Benarkah?" tanya si kembar dengan penuh bersemangat.

"Apakah fotografer berasal dari V collection?"

"Ah, bukan. Dia adalah kenalanku. Keahliannya tidak kalah hebat dengan V, hanya saja dia tidak begitu terkenal seperti V. Kau ingat aku pernah bilang mengenai rencana cadangan kan? Seringkali saat kita diberi tanggung jawab, untuk memastikan semuanya berjalan dengan baik; kita harus menyiapkan rencana cadangan."

"Cathy akan mengingatnya. Tapi, kenapa hanya saru fotografer saja? Bukankah acara ini sangat besar?"

Benjamin menggelengkan kepalanya. "Pulau Pina termasuk pulau pribadi dan tamu undangan juga sangat terpilih. Aku hanya ingin memasukkan fotografer yang bisa kupercaya."

Cathy menganggukkan kepala tanda mengerti. Kemudian dia menanyakan sesuatu yang dari tadi membuatnya penasaran.

"Paman.. apakah paman menggunakan alasan pekerjaan untuk memberiku cuti liburan?" tebak Cathy dengan tatapan curiga.

"Oh? Kau mengetahuinya?"

Cathy hanya menghela napas mendengar jawaban pamannya dan mengucapkan terima kasih. Jika seandainya hanya dia yang diizinkan berlibur di Pina, mungkin dia akan menolaknya. Karena itu dia sangat bersyukur memiliki Benjamin sebagai paman yang pengertian.

Sedikit demi sedikit pandangan mengenai pria di dunia ini mulai membaik. Dia bisa menerima kebaikan pamannya dengan lebih mudah, dan dia juga sudah tidak terlalu memikirkan untuk keluar dari perlindungan pamannya.

Biar bagaimanapun dia menyadari bahwa dia adalah seorang wanita biasa. Dengan kekuatannya sendiri dia tidak akan sanggup melindungi dan membawa senyuman kebahagiaan pada saudari-saudarinya.

Karena itu dia sudah menganggap Benjamin sebagai sosok seorang ayah.

Ayah.. bagaimana kabar ayahnya? Akhir-akhir ini dia belum sempat mengunjungi ayahnya. Tidak. Bahkan dokter menganjurkannya untuk tidak menemui ayahnya bertatap muka selama enam bulan kedepan.

Mereka memberikan alasan yang masuk akal. Tiap kali dia datang, ayahnya akan mengamuk tidak jelas dan mengusirnya. Beberapa hari kemudian, kondisi ayahnya membaik dan melupakannya. Tapi beliau akan begitu lagi saat mereka bertatap muka dan kembali ke titik awal.

Karena itu, demi memaksimalkan perawatan ayahnya, dia dilarang bertatap muka dengan ayahnya untuk enam bulan.

Seharusnya dia merasa sedih karena tidak bisa menemui ayahnya, tapi... dia sama sekali tidak merasa sedih. Entah kenapa dia justru merasa lega tidak harus menemui ayahnya sebagai kewajiban seorang anak.

Dia tidak tahu apakah perasaannya terhadap ayahnya merupakan bentuk kejengkelan? Kepahitan? Atukah... kebencian? Cathy sama sekali tidak tahu. Yang dia tahu, dia sama sekali tidak merasakan apa-apa mengetahui kondisi ayahnya. Seperti saat mengetahui kondisi orang asing yang mengidap penyakit parah, tidak merasa senang ataupun sedih. Itulah yang dirasakannya terhadap ayahnya.

Dua hari kemudian..

Persis seperti yang diucapkan Ben, keempat bersaudara West tiba di depan hotel Star Risen di Pulau Pina.

Hawa udara disana sangat berbeda dengan kota mereka. Hanya dengan menghirup udara saja, mereka merasa seperti berada di pegunungan.

Dari bandara menuju ke hotel, mereka melewati ribuan pepohonan di kedua sisi mereka. Di tengah perjalanan, mereka bahkan bisa melihat lautan di sebelah kiri mereka.

"Lihat ada tiga warna disekitar matahari!" seru Lizzy.

"Cantiknya.."

Ketiga adik Cathy tidak pernah kehabisan kata mengekspresikan kekaguman mereka terhadap pulau itu.

Cathy tersenyum puas melihat senyuman keceriaan yang menghiasi wajah ketiga adiknya.

Dia mungkin tidak bisa menikmati keindahan pulau tersebut; dia mungkin tidak akan pernah bisa melihat seperti apa yang dilihat ketiga adiknya; tapi selama dia bisa menikmati senyuman dari ketiga adiknya, dia tidak akan meminta lebih.

Cathy membiarkan Anna beserta si kembar menjelajah sekitar bangunan hotel, sementara dia berusaha mendekatkan diri dengan manajer dan karyawan lainnya yang bekerja di sana.

Meskipun Cathy sudah disuruh pamannya untuk berlibur, dia tidak bisa tidak merilekskan dirinya sendiri. Dia ingin menyelesaikan tugas persiapannya sebelum fotografer yang dimaksud pamannya tiba.

Alhasil, tidak hanya Cathy telah mengenal seluk beluk Star Risen, Cathy juga mendapat banyak teman baru disana.

Dia merasa yakin, acara pembukaan minggu depan pasti akan berhasil. Kalaupun ada masalah, dia sudah siap dengan berbagai rencana cadangannya.

Barulah setelah itu dia bisa bergabung dengan ketiga adiknya menghabiskan sisa hari liburannya.

-

Lima hari kemudian...

Cathy beserta Anna menunggu kedatangan fotografer yang dimaksudkan Ben di lobi hotel. Sayangnya, si kembar menolak bermain sendiri dan bersikeras menemani mereka.

"Kalian hanya akan menganggu." sahut Anna

"Tidak. Kami tidak akan mengganggu. Kami janji."

"Iya, kami akan menjaga jarak dengan kalian. Tenang saja."

"Menjaga jarak apanya, kalian sedekat ini." Anna bergerak untuk menggelitiki kedua adiknya. Terdengar suara teriakan kencang dari mereka sambil berusaha menghindar dari serangan mendadak.

"Sstt.." sahut Cathy dengan tegas, tapi akhirnya hanya tersenyum geli melihat tingkah laku adiknya.

Dia hanya memandangnya ketiga adiknya dengan penuh kasih sayang walau sesekali dia memperingatkan mereka untuk tidak terlalu keras saat berteriak.

"Permisi..."

Seseorang seperti menyapanya dari samping, karena itu Cathy menoleh untuk melihat orang tersebut. Matanya melebar begitu melihat jelas orang itu.

Apa yang dia lakukan disini? Tanya Cathy dalam hati.

Dia ingat betul V collection telah menolak dan tidak memberikannya respon saat memberikan pesan terakhirnya pada Frank. Dia juga ingat Ben telah memberitahunya bahwa beliau akan memakai rencana cadangannya dan menggunakan jasa seorang fotografer biasa.

Lalu.. kenapa pria itu ada disini?

"Hai, kau pasti Catherine West. Aku adalah Vincent seorang fotografer yang disewa untuk mengambil dokumentasi dari acara pembukaan hotel beberapa hari nanti."

"..." Cathy sama sekali tidak tahu apa yang harus dia ucapkan.

Untungnya, Anna datang menyelamatkannya.

"Hai, namaku Anastasia, asisten kak Cathy. Salam kenal." sahutnya dengan mengulurkan tangan kanannya.

"Salam kenal." balas Vincent dengan ramah sambil menyambut tangan gadis muda didepannya.

Vincent melirik ke arah Cathy... lebih tepatnya menunggu reaksi dari gadis itu. Menyadari Cathy tidak akan menatapnya, Vincent menghela napas.

"Bisa kita bicara sebentar?" pinta Vincent pada Cathy.

Secara bergantian, Anna melirik ke arah kakaknya dan si kameramen. Kenapa dia merasa keduanya sudah saling mengenal?

"Ikut aku." jawab Cathy dan berjalan ke arah koridor menuju ke ruangan kerjanya.

Sementara mereka berdua berjalan dan menghilang dari pandangan, si kembar menatap Anna dengan ekspresi bertanya. Anna hanya mengangkat kedua bahunya tanda juga tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Begitu Cathy menutup pintu ruangannya dan memastikan tidak ada yang menguping, Cathy berdiri dengan punggung bersender pada dinding di samping pintu.

Dia tidak ingin berlama-lama bersama dengannya ataupun mendekati pria itu, dia juga tidak ingin. Dia menjaga jarak yang cukup untuk menjaga kenyamanan diskusi mereka. Tidak terlalu jauh, ataupun terlalu dekat.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanpa sadar nada suaranya terdengar dingin.

"Kau masih marah?"

"Apa ada hal yang membuatku marah?"

Sekali lagi, Cathy melihat pria itu menghela napas.

"Maafkan aku." ucap Vincent sambil menundukkan kepalanya dan membuat tubuhnya agak membungkuk.

Tindakan ini sama sekali tidak pernah diharapakannya dan membuat kedua mata Cathy melebar.

"Malam itu aku sudah keterlaluan. Aku sama sekali tidak mengenalmu tapi aku sudah menghakimimu dan memperlakukanmu dengan kasar. Aku benar-benar menyesal."

Hampir saja Cathy tidak bisa menahan mulutnya terus tertutup, kalau tidak dia akan mengangakan mulutnya seperti orang dungu.

Semula Cathy yang melipat kedua tangannya didepan dadanya dengan sikap arogan, kini langsung menurunkan kedua tangannya dan berdiri dengan tegak.

Kenapa sekarang dia merasa seperti diposisikan sebagai orang yang menindas pria itu? Benar-benar menyebalkan. Gerutunya dalam hati.

Kenapa dia selalu saja lengah terhadap pria itu? Pria itu selalu saja berhasil menempatkannya di posisi yang tidak pernah dipikirkannya.

Yang pertama di bis, kedua malam itu, sekarang juga sama. Dia merasa dia selalu menyesali apa yang sudah dia ucapkan begitu pria itu memberinya sebuah pernyataan.

"Tidak. Aku juga minta maaf." akhirnya Cathy mengucapkannya dengan nada lembut sambil menatap ke arah lantai.

Tentu saja Cathy sama sekali tidak menyadari bahwa tindakan Vincent barusan hanya akal-akalannya untuk menurunkan sikap pertahanan Cathy.

Vincent mengumbar senyum mengetahui rencananya berhasil.

avataravatar
Next chapter