8 Pertemuan Di Bis

Burung berkicauan, suara air mengalir yang menenangkan, udara yang sejuk membuat seorang Vincent merasa betah untuk tinggal disana.

Semenjak kesepakatannya dengan kedua orangtuanya, dia keliling ke luar kota untuk mengambil beberapa foto yang diinginkannya.

Tujuannya adalah menambah koleksi galerinya dan... melupakan kesepakatan itu untuk beberapa saat.

Dia memilih sebuah vila di pegunungan dengan kolam renang di lantai dasar beserta sebuah gasebo di halaman belakang. Terdapat berbagai macam tanaman dan pohon yang berderetan di halaman belakang.

Vincent bisa saja tinggal disana beberapa hari lagi.

Sayangnya... sudah delapan hari dia tidak pulang dan ibunya terus menghubunginya hampir setiap hari.

Vincent mendesah pasrah. Dia sudah bukan anak kecil lagi, tapi ibunya selalu mengkhawatirkannya secara berlebihan. Bahkan dia sendiripun sudah tidak tahu lagi harus bagaimana untuk mengurangi kekhawatiran ibunya.

"Pak Vincent? Taxi yang anda pesan sudah siap."

"Terima kasih." jawabnya dengan sopan pada penjaga vila yang disewanya.

Vincent segera mengambil tas ranselnya dan berangkat ke bandara. Pesawatnya berangkat jam dua belas siang dan membutuhkan waktu dua jam hingga tiba di kota tempat tinggalnya.

Tentu saja, dia mampir ke galerinya terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah. Dia tahu begitu ibunya melihat wajahnya, beliau tidak akan membiarkannya pergi lagi sebelum berganti hari.

Dari bandara dia berjalan sebentar menuju ke halte bis terdekat. Saat menunggu bis datang, ponselnya berdering.

"Hai macan betina... oh, kau juga sudah kembali? Oke, tiga jam lagi di tempat biasanya." tepat dia memasukan kembali ponselnya, bis yang ditunggunya tiba.

Empat puluh lima menit kemudian, Vincent turun di halte yang berada di dekat galerinya.

Vincent kembali berjalan selama sepuluh menit sebelum akhirnya tiba di pintu masuk galerinya.

Pintu beserta dinding di sisi gedung galerinya terbuat dari kaca. Orang luar bisa melihat apa yang ada didalam begitu juga sebaliknya.

Karena itu dia bisa melihat ada seorang gadis berjalan ke luar gedung saat dia melangkah masuk.

Saat mereka berpapasan, langkahnya terhenti.. sedangkan gadis itu; dia terus berjalan melewatinya tanpa menoleh ke arahnya.

Tanpa sadar, mata Vincent mengikuti punggung gadis itu hingga menghilang dari pandangannya.

Aneh sekali... kenapa dia merasa dia pernah bertemu dengan gadis itu sebelumnya? Dimana? Dia sama sekali tidak ingat.

Vincent mengangkat kedua bahunya tak peduli dan memutuskan untuk tidak memikirkannya.

"Yo, Frank! Merindukanku?"

Tubuh Frank bergidik mendengarnya. "Apa kau ingin aku menjawabnya dengan jujur?"

"Tidak."

"Aku sangat merindukanmu bahkan memikirkanmu setiap hari."

Vincent tertawa mendengar itu. "Aw... manis sekali."

Untung saja tidak banyak pengunjung didekat mereka, kalau tidak mereka akan dianggap pasangan nyentrik.

"Omong-omong soal rindu, seseorang memang sangat ingin bertemu denganmu."

"Aku tahu."

"Bukan aku orangnya."

"Siapa juga yang bilang orangnya adalah kau?"

"Lalu?"

"Ibuku kan?"

"Ah, benar. Setiap hari ibumu menerorku, aku sampai takut melihat ponselku sendiri."

Vimcent tersenyum mengetahui dia telah mengambil tindakan tepat dengan datang ke galerinya terlebih dulu.

"Tapi bukan ibumu yang kumaksud. Seorang penggemarmu. Dia lumayan manis.. tidak.. dia sangat manis."

"Kalau begitu kau harus hati-hati dengan serbuan semut yang akan datang."

Frank mendecak, "Kau tahu itu bukan maksudku."

Vincent hanya menganggukkan kepala sambil membersihkan kameranya.

"Setidaknya temui dia dulu, dia benar-benar ingin bertemu denganmu."

"Kenapa tidak kau saja yang menemuinya?"

"Aku selalu bertemu dengannya setiap hari. Dia selalu datang kesini berharap bisa bertemu dengan idolanya, sang V yang melegenda."

"Datang setiap hari? Kemari?"

Frank mengangguk kepalanya dengan sangat pelan sambil tersenyum penuh arti.

"Sepertinya kau menyukainya. Kau boleh menemuinya kapanpun kau mau." lanjut Vincent dengan cuek, kembali pada kameranya.

Sekali lagi Frank mendecak dan menggelengkan kepalanya.

Beberapa menit kemudian ponsel Vincent di saku jaketnya berbunyi.

"Ya? Kau sudah disana?" Vincent melihat ke arah jam tangannya sebelum kembali menjawab, "Bukannya masih sejam lagi? Bukan salahku kalau begitu... Iya, iya, aku kesana sekarang."

"Siapa?" tanya Frank dengan curiga.

"Siapa lagi kalau bukan si macan betina. Aku pergi dulu."

Frank menghela napas panjang. Vincent merupakan atasannya sekaligus sahabatnya sejak kuliah. Dia sangat mengenal siapa itu Vincent. Sahabatnya itu paling anti bila berhubungan dengan seorang wanita. Hanya Vanessa dan ibunya yang bisa membuat pria itu merasa nyaman. Selain mereka berdua, Vincent akan menghindar dari wanita manapun yang ditemuinya.

Tidak. Di dunia ini hanya satu wanita yang bisa mendekati Vincent tanpa halangan. Felicia... atau yang sering disebut macan betina.

-

Vincent berjalan dengan santai ke arah halte bis sambil melihat sekitarnya. Jika ada obyek yang menarik, dia akan mengambilnya dengan kamera miliknya.

Saat itulah dia melihat seorang gadis sedang duduk di kursi sambil menatap kedepan dengan tatapan kosong.

Bukankah gadis itu gadis yang sama saat berpapasan dengannya di galeri?

Vincent bergerak mendekati tempat halte tanpa mengalihkan pandangannya dari gadis itu.

Semakin dekat dia berjalan, semakin yakin pula perasaannya. Dia sangat yakin dia pernah bertemu dengan gadis itu sebelumnya. Hanya saja dia tidak bisa mengingat siapa atau dimana dia bertemu dengannya.

Tidak lama kemudian bis yang ditunggunyapun datang. Yang luar biasa aneh, dia menyadari dirinya merasa lega saat mengetahui gadis tersebut naik di bis yang sama dengannya.

Buruknya, penumpang bis kali ini sangat penuh hingga sulit untuk berjalan. Akhirnya dia hanya berdiri sambil memegang pilar disisi kursi bis.

Gadis itu juga melakukan hal yang sama tepat dibelakangnya. Begitu bis berjalan, semua penumpang yang berdiri berusaha untuk bertahan pada tempatnya dengan berdesakan.

Selama beberapa menit, bis berjalan dengan mulus, tidak ada penumpang yang terjatuh atau menyenggol penumpang lain. Sekali-kali Vincent melirik ke belakang sambil berusaha menggali ingatannya.

Tiba-tiba, tanpa peringatan, bis berhenti mendadak menyebabkan seluruh penumpang terdorong ke depan. Vincent berhasil bertahan tetap kokoh berdiri di tempatnya, namun tidak dengan yang ada dibelakangnya.

Vincent merasakan sundulan kecil pada punggungnya.

"Maaf,"

Vincent menangkap nada lembut tapi tajam pada suara gadis yang lebih pendek darinya.

"Tidak masalah." sahutnya.

Gadis itu membalasnya dengan senyuman tipis sebelum memutuskan untuk menatap keluar jendela.

Dia melihat wajah samping gadis itu. Dengan rambut gelombang yang diurai, sebagian rambut menutupi pipinya.

Justru sudut wajah gadis ini yang membuatnya merasa tidak asing.

'Apa kita pernah bertemu sebelumnya?'

Tiba-tiba saja gadis itu mendongakkan kepalanya untuk menatap matanya.

Kenapa gadis itu memandangnya dengan aneh? Kenapa gadis itu memandangnya dengan jijik?

Barulah dia sadar, dia telah mengucapkan apa yang dipikirkannya.

Astaga, Vincent!! Ada apa denganmu hari ini? Keluhnya dalam hati.

Gadis itu pasti mengira dia sedang merayunya. Jadi dia lebih memilih untuk diam dan berpaling ke arah depan. Dia tidak tahu apakah dia merasa malu atau frustrasi pada dirinya sendiri yang membuatnya tidak sanggup menghadapi tatapan menuduh dari gadis itu.

Belum selesai menenangkan pikirannya dia merasakan tas kameranya ditarik pelan. Secara refleks dia menoleh ke belakang.

"Kau bekerja di V collection?"

Mendengar pertanyaan yang muncul dari gadis itu, kening Vincent mengerut. Dia tidak suka identitasnya sebagai V diketahui orang. Bahkan keluarganya.. maupun macan betina sekalipun tidak mengetahui bahwa dia adalah V.

Bahkan tidak ada yang tahu bahwa dia bekerja di galeri V collection. Yang mereka tahu, dia hanyalah seorang pengangguran yang terkadang menerima jasa untuk pemotretan model. Yah, baru-baru ini keluarganya mengetahui dia ikut andil dalam jasa periklananan.

Tapi tetap saja, keluarganya masih belum tahu apa-apa mengenai V collection.

Lalu kenapa gadis ini bisa menerka kalau dia bekerja di V collection? Dia tidak mungkin tahu kalau dia adalah V kan? Tidak mungkin.

Dia ingin memastikannya.

"Kenapa kau berpikir seperti itu?"

Gadis itu tidak menjawab melainkan menunjukkan sesuatu pada tas kameranya. Disana ada sebuah gantungan berbentuk huruf V menyatu dengan rantai tas kameranya.

Sebelah alis Vincent terangkat. Hanya karena melihat aksesoris dengan huruf V, gadis ini menebak dia bekerja disana?

Yah, dia memang bekerja disana kalau dia harus bilang begitu, tapi aksesoris ini sangatlah umum. Sama sekali tidak menunjukkan tanda ataupun lambang yang berhubungan dengan V collection.

"Gantungan ini hanya gantungan biasa. Tidak ada kaitannya dengan V collection."

"Jadi kau tidak bekerja disana?"

"Tidak." karena aku adalah pemiliknya, lanjutnya dalam pikirannya. "Tapi, bisa juga dibilang aku bekerja disana. Kau tahu hanya sekedar menyebar brosur atau memasukkan kedalam internet dan lain sebagainya. Tapi mereka tidak membayarku."

"Tidak? Kenapa?"

"Karena salah satu yang bekerja disana adalah sahabatku. Bisa dibilang kami saling membantu." dalam hal ini, Vincent tidak berbohong.

"Jadi kau kenal V?"

Vincent bisa melihat sinar mata yang penuh harap pada gadis itu. Disaat bersamaan, gadis itu memasang wajah tak berekspresi yang membuatnya sulit untuk mengetahui maksud sebenarnya dari gadis tersebut.

Kabar baiknya adalah identitasnya sebagai V masih aman.

"Bisa dibilang begitu." jawabnya asal-asalan.

"Apa aku boleh bertemu dengannya?"

Ada apa dengan hari ini? Kenapa banyak sekali yang ingin bertemu dengannya? Terlebih lagi yang mencari V adalah seorang wanita.

"Satu pertanyaan, kenapa di permulaan kau menanyakanku bekerja di V collection? Bagaimana kau bisa menanyakannya?"

"Itu dua pertanyaan."

Vincent mendecak dalam hati. Tentu saja dia tahu dia menanyakan dua pertanyaan, tapi kan intinya sama. Inilah sebabnya dia tidak suka jika harus berkomunikasi dengan seorang gadis.

"Baik, dua pertanyaan." lanjutnya berusaha untuk sesabar mungkin.

"Jawabannya dua hal." jawab gadis itu sambil mengeluarkan jari telunjuk dan jari tengah sementar yang lain membentuk setengah mengepal.

"Yang pertama tas kamera, dan kedua... mungkin kau tidak ingat, tapi tadi kita sempat berpapasan di depan galeri V collection. Bukankah yang kedua sudah menjawab pertanyaanmu tadi?"

Ah, ternyata gadis itu sempat melihat kearahnya. Dan saat dia berpikir gadis itu menunjuk pada aksesoris V, dia salah. Gadis itu sedang menunjuk ke arah tas kameranya.

Tapi, kenapa gadis itu diam saja saat dia menjelaskan mengenai aksesorisnya tadi? Dia malah langsung menembaknya dengan pertanyaan yang hampir tidak bisa dihindarinya.

Sepertinya dia telah masuk ke jebakan kata-kata gadis tersebut. Dia harus berhati-hati saat berbicara dengannya.

Belum selesai dengan pikirannya, gadis kecil didepannya mengucapkan kalimat yang membuatnya lebih terkejut.

"Karena itu aku pikir kau adalah tangan kanan V atau muridnya. Tapi aku merasa kalau kau adalah asistennya, jadi aku bertanya untuk memastikan."

Jadi gadis ini sama sekali tidak berpikir bahwa dia adalah V, melainkan hanya asisten V?! Seharusnya dia merasa lega karena identitasnya sangat aman, tapi entah kenapa mendengar cara bicaranya, melihat bahasa tubuhnya, sinar matanya... membuatnya merasa jengkel untuk alasan yang tidak diketahuinya.

"Sampai jumpa." lanjut gadis itu dan menghilang dari pandangannya bahkan sebelum ia bereaksi.

Sampai jumpa? Dia berharap dia tidak bertemu dengan gadis itu lagi.

Vincent tetap berdiri pada tempatnya dan dia melihat gadis itu berjalan berlawanan dengan arah bis.

Meskipun dia merasa jengkel, dia masih penasaran dengan gadis itu.

'Kita sempat berpapasan di depan galeri V collection. Bukankah yang kedua sudah menjawab pertanyaanmu tadi?"

'Apa kita pernah bertemu sebelumnya?' Dia memang menanyakannya, dan mendengar jawabannya. Tapi itu bukan jawaban yang dicarinya.

Dia merasa... dia yakin, sebelum ini dia memang pernah bertemu dengan gadis itu. Jauh sebelum mereka berpapasan di depan galerinya.

Jika dia tidak bisa mengingat nama ataupun tempat pertemuan mereka, maka hanya ada satu kemungkinan.

Gadis itu pernah menjadi obyek kamera analognya. Jika memang begitu, untuk apa dia peduli?

Dia hany perlu tidak datang ke galerinya untuk sementara waktu. Dengan begitu, kemungkinan untuk bertemu dengan gadis itu sangat kecil.

Vincent menertawakan dirinya sendiri. Kenapa dia bisa yakin kalau gadis itu pasti akan datang ke galeri lagi?

avataravatar
Next chapter