5 Paman Ben

Ada yang aneh dengan kakaknya. Pikir Anna dengan curiga. Si kembar sama sekali tidak menyadari perubahan kakak sulungnya, tapi Anna sangat peka dalam meraba suasana hati saudari-saudarinya.

Cathy masih tersenyum seperti biasa dan bercanda bersama mereka. Bahkan saat mereka menaiki bis dalam perjalanan pulangpun, tidak ada yang aneh dari suasana keceriaan mereka.

Hanya Anna yang merasa sesuatu yang berbeda dari kakaknya. Sayangnya, dia sama sekali tidak bisa menemukan apa yang berbeda atau tanda suasana hati kakaknya yang berubah.

Karena itu dia sama sekali tidak memikirkannya dan menganggapnya itu semua hanya perasaannya saja.

Setelah sampai di halte tujuan mereka, Cathy tidak ikut turun bersama mereka.

"Beritahu aku kalau kalian sudah tiba di rumah."

"Kakak mau kemana?" tanya Anna.

"Hanya mampir ke suatu tempat sebentar. Satu jam lagi aku akan sampai rumah."

Pintu bis tertutup dan Anna melihat bis yang dinaiki kakaknya menjauh dari pandangannya

"Kenapa kak Cathy tidak ikut bersama kita?" tanya Lina

"Katanya mau mampir dulu. Ayo pulang." jawab Anna.

Mereka bertiga berjalan dan memasuki sebuah jalan kecil yang diapit dua bangunan tinggi yang letaknya tidak jauh dari halte bis.

Setelah keluar dari jalan kecil tersebut, mereka menyebrang dan memasuki gerbang perumahan elit. Setelah berjalan selama lima menit semenjak turun dari bis, akhirnya mereka tiba di rumah mereka.

Disana dia melihat sebuah mobil terpakir didepan rumah mereka.

"Wah, mobil siapa itu?" tanya Lizzy dengan takjub akan mobil mewah tersebut.

"Entahlah. Mungkin kita kedatangan tamu?" bahkan Anna sendiri tidak tahu siapa pemilik mobil mewah tersebut.

Mereka melewati mobil dengan penasaran akan pemilik mobil dan memasuki gerbang rumahnya dengan santai.

Begitu masuk kedalam ruangan keluarga, mereka melihat seorang pria dengan pakaian rapi duduk sambil membaca koran dengan santai.

Anna menduga pria tersebut adalah pemilik mobil yang diparkir diluar. Tapi, dia sama sekali tidak tahu siapa yang ingin ditemui pria itu.

"Pst.. siapa orang itu?" Lina mencoba berbisik kearahnya, tapi bisikannya cukup keras membuat pria itu menoleh kearah mereka.

Pria itu melipat kembali koran yang dibacanya dan bangkit berdiri.

"Catherine?" pria itu memanggil Anna dengan nama Catherine dengan nada ragu.

"Bukan. Kami bukan Catherine."

"Ah, kalian teman-temannya Catherine?"

"Kami adiknya Catherine."

Untuk sekilas pria itu tampak tertegun sebelum akhirnya mendesah dengan berat.

"Anastasia." panggil pria itu sambil menunjuknya, " Kalian pasti Elizabeth dan Carolina."

Darimana pria itu tahu nama-nama mereka semua?

"Bagaimana anda bisa..."

"Kita tidak pernah bertemu sebelumnya, jadi aku sama sekali tidak terbiasa melihat kalian tumbuh besar. Seingatku kalian masih bayi waktu pertama kali datang kesini." pria itu mendesah, " Siapa yang menyangka, waktu berjalan dengan begitu cepat."

Kemudian teringatlah dia akan cerita kakaknya. Orang ini adalah pemilik rumah ini sebenarnya. Orang inilah yang membiayai kehidupan mereka sehari-hari beserta pendidikan mereka di sekolah.

Orang ini adalah adik kandung dari ayah mereka.

"Paman Benjamin?"

Pria itu tersenyum mendengar namanya disebut.

"Benar. Sepertinya Catherine telah mendidik kalian dengan baik." ujarnya dengan kagum saat melihat ketiga keponakannya memberinya anggukan hormat padanya.

"Dimana Catherine?"

"Kakak masih belum pulang. Katanya mungkin satu jam lagi baru sampai rumah."

Benjamin mengangguk tanda mengerti dan memanggil Bibi Len pengurus rumah keluarga.

"Jika Catherine sudah kembali, suruh dia pergi ke ruangan kerjaku."

"Baik Tuan."

Apakah kakaknya melakukan kesalahan? Apakah kakaknya telah terlibat dalam masalah? Begitu banyak pikiran yang mengkhawatirkan keadaan kakaknya. Dia berharap kakaknya tidak terlibat dalam masalah apapun.

Sementara itu Cathy yang tidak tahu kepulangan pamannya, menunggu seorang perawat dengan sabar.

"Nona Catherine," panggil seorang perawat. "Ayah anda sedang tertidur, jadi anda bisa masuk kedalam kamar."

Cathy mengikuti perawat tersebut dan memasuki sebuah kamar yang sudah menjadi tempat tinggal bagi ayahnya.

Selama ini tiap kali dia datang berkunjung, ayahnya selalu marah-marah dan mengusirnya. Beliau bahkan pernah hendak memukulnya berkali-kali sampai membuat para perawat dan dokter memberikan obat penenang pada beliau.

Mendapat perlakuan seperti itu, Cathy tidak bisa mendekatkan diri dan hanya bisa melihat wajah ayahnya dari jauh.

Ini pertama kalinya dia bisa melihat wajah ayahnya dari dekat.

'Apakah tidak ada cara untuk menyembuhkan papa?'

'Maaf. Kami sudah melakukan berbagai cara untuk mengembalikan kesehatan mental ayahmu, tapi... sama sekali tidak ada kemajuan.'

Dia mengingat percakapannya dengan salah satu dokter yang menangani ayahnya.

Dia tidak mengerti, kenapa dia masih memperdulikan ayahnya. Ayahnya sudah melukainya; merenggut sesuatu yang disukainya; tapi kenapa... kenapa dia masih meluangkan waktu untuk datang menjenguknya?

Mata Cathy menatap sebelah tangan ayahnya yang sedang terlentang disamping tubuhnya. Tangannya bergerak ke arah tangan ayahnya.. dia ingin menggenggam tangan ayahnya.

Tapi... tindakannya berhenti tepat saat tangannya berada diatas tangan ayahnya. Tinggal sedikit lagi, tangannya akan menyentuh tangan ayahnya.. tapi Cathy menarik kembali tangannya.

Tidak peduli seberapa besar dia menginginkan ayahnya sembuh; apa yang direnggut ayahnya tidak akan kembali.

'Masalahnya bukan pada kesehatan anda, tapi pada kondisi mental anda.'

Cathy menggigit bibirnya dengan sangat keras membuat darah keluar dan jatuh ke lidahnya.

Merasakan bibir yang sakit air mata Cathy mulai keluar dan mengalir membasahi pipinya.

'Masalahnya bukan pada kesehatan anda, tapi pada kondisi mental anda.'

Apakah itu berarti dia juga memiliki kelainan jiwa seperti ayahnya? Tidak. Dia tidak menginginkannya.

Jika pada akhirnya dia mengalami kondisi yang sama seperti ayahnya, lalu siapa yang akan menjaga dan melindungi adik-adiknya?

Ting! Ponselnya bergetar menunjukkan ada sebuah pesan yang masuk.

Cathy menghapus air matanya untuk melihat pesan di ponselnya.

'Paman Ben sudah pulang' itulah isi pesan yang dikirim oleh Anna.

Membaca pesan itu, Cathy mengangkat sebelah alisnya. Pamannya pulang? Setelah tidak menunjukkan batang hidungnya selama hampir lima belas tahun, pria itu tiba-tiba pulang ke rumah?

Cathy memasukkan kembali ponselnya kedalam tas kecilnya. Dia kembali menatap ayahnya lebih lama lagi, karena takut untuk kunjungannya berikutnya, dia tidak akan bisa melihat wajah ayahnya sedekat ini.

Kalau dari awal dia tahu ayahnya sedang tertidur, dia akan mengajak adik-adiknya untuk melihat beliau. Tapi, apakah itu adalah tindakan yang baik? Cathy juga tidak tahu jawabannya.

Setelah cukup puas memandang wajah ayahnya, Cathy bangkit berdiri dan berjalan keluar tanpa menimbulkan suara.

Begitu tiba di rumahnya, Bibi Len segera menyampaikan pesan majikannya padanya. Tanpa mengulur waktu Cathy segera menuju ke ruang kerja pamannya yang sudah tak tersentuh selama belasan tahun.

"Masuk."

Begitu mendapat izin, Cathy membuka pintu dan menutup kembali setelah dia masuk. Dia melihat pamannya duduk di meja kerja dengan kacamata sambil mengetik sesuatu pada laptopnya.

Cathy berjalan mendekati beliau dan berdiri tepat di depan meja berhadapan dengan pamannya.

"Ada yang bisa Cathy bantu?"

Ben melirik keponakan tertuanya sekilas dan mengeluarkan buku tabungan dari laci mejanya.

"Kau sama sekali tidak menggunakan uang tabunganmu." ucap pria itu dengan nada menuduh.

"Itu bukan uang Cathy, tapi..."

"Ini adalah uang kalian. Aku sudah berjanji pada kakakku dan pengadilan untuk merawat kalian dengan benar. Kau tidak perlu bekerja lagi dan gunakan uang ini jika memerlukan sesuatu"

"..."

"Kau tetap akan bekerja di restoran rendahan itu." ini bukanlah sebuah pertanyaan, tapi sebuah pernyataan.

Meskipun dia tidak pernah kembali ke rumah ini sekalipun dan memilih tinggal di apertemennya, Benjamin tidak membiarkan dirinya tutup mata mengenai keponakannya.

Dia menyewa seseorang untuk menyelidiki sekolah, teman-teman dan lingkungan kerja keponakannya. Jika ada satu hal saja yang menyakiti keponakannya, dia tidak akan tinggal diam.

Karena itu sebelum memasukkan mereka ke sekolah, dia akan memastikan sekolah tersebut memiliki kualitas pendidikan yang memadai, lingkungan yang baik, tempat dimana bisa membuat keponakannya bisa merasa nyaman dan tak tersakiti

Tak terkecuali mengenai restoran tempat kerja Cathy. Dari awal dia tidak setuju keponakan tertuanya bekerja sebagai pegawai rendahan. Tapi keponakannya yang satu ini sangat keras kepala dan tidak mudah mengubah keputusannya.

Karena itu dia tidak berbuat apa-apa selama gadis itu tidak dalam bahaya. Namun akhir-akhir ini dia mendapatkan kabar; manajer yang merupakan atasan Cathy sudah mulai menunjukkan kekuasaannya.

Bahkan manajer tua itu berani meraba Cathy secara tidak langsung. Tidak hanya itu, beberapa rekan kerja Cathy juga mendukung tindakan manajernya sambil menunggu kehancuran keponakannya.

Dia sadar untuk seseorang yang tidak pernah kembali ke rumah untuk peduli pada keponakannya, kekhawatirannya sangat tidak masuk akal.

Dia memiliki alasan untuk itu. Yang pertama, waktu itu dia masih muda dan belum menikah. Dihadapkan harus tinggal bersama dengan empat anak perempuan yang bertumbuh; akal sehatnya tidak bisa menerimanya.

Yang terakhir dan yang paling utama. Tidak ada yang tahu, kalau sebenarnya dia sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan keempat anak tersebut.

Ibunya sudah mengandung dirinya saat menikah dengan ayah Danny. Danny adalah ayah dari keempat anak yang diterimanya lima belas tahun yang lalu.

Mengetahui ayahnya yang menikah lagi, Danny melarikan diri dari rumah dan sejak itu tidak pernah berhubungan dengan keluarga Paxton lagi. Bahkan Ben sendiri tidak yakin apakah Danny tahu bahwa dirinya memiliki adik tiri atau tidak.

Intinya, Danny dan Benjamin tidak pernah bertemu atau berhubungan sama sekali. Ajaibnya pengadilan berhasil menemukannya dan memintanya untuk menjadi wali empat anak kecil. Tiga diantaranya masih bayi membuatnya tidak sanggup bicara.

Semula dia menolak dan tidak mau menerima mereka yang sama sekali bukan urusannya. Ditambah lagi, dia sama sekali tidak tahu ayah tirinya memiliki seorang putera. Ibunya tidak pernah memberitahunya dan memastikan dialah yang akan mewarisi seluruh aset yang dimiliki Paxton.

Karena itu dia sama sekali tidak ingin membawa keempat anak tersebut dan merebut kembali hak waris mereka.

Tapi... melihat anak sulung yang duduk disamping adik kembarnya sambil memangku adiknya yang berusia dua tahun membuat hati nularinya tergugah.

Dia tidak bisa meninggalkan mereka seperti itu. Seolah dia sama sekali tidak ingat akan warisan keluarga Paxton, dia berjalan mendekat ke empat anak tersebut.

Pada akhirnya dia membiarkan mereka berempat masuk ke dalam kehidupannya. Hanya saja, waktu itu dia masih sangat muda dan tidak tahu apa saja yang dibutuhkan seorang anak kecil. Karena itulah dia mempekerjakan seorang pengasuh untuk mereka.

Dia beruntung karena mendapatkan warisan dari ayah tirinya sebelum akhirnya dia menjadi yatim piatu. Dia mewarisi dua vila di pegunungan, beberapa rumah yang tersebar di seluruh negeri ini dan belasan tanah baik di pinggiran desa ataupun di pusat kota.

Namun hanya satu rumah yang tidak tercantum namanya. Melainkan pemilik rumah tersebut bernama Daniel. Saat itulah dia baru tahu kalau sebenarnya dia memiliki seorang kakak.

Dia membiarkan rumah itu kosong dan tidak terurus selama bertahun-tahun hingga kemunculan keempat anak perempuan itu. Akhirnya, dia membersihkan dan merenovasi rumah tersebut untuk ditinggali mereka berempat. Dia bahkan sempat tinggal disana selama satu tahun bersama mereka sebelum memutuskan untuk tinggal di rumahnya sendiri.

Dia sama sekali tidak tahu bagaimana memberikan kasih sayang sebagai orangtua, namun dia tetap akan memastikan kebutuhan mereka terpenuhi. Dia akan memastikan keselamatan dan kenyamanan mereka selama tinggal di rumah mereka.

Akhir-akhir ini dia merasa lega mengetahui keempat anak tersebut telah tumbuh dewasa dan tampak bahagia. Sayangnya, kelegaannya lenyap begitu mendengar seseorang mengambil keuntungan dari keponakan sulungnya.

"Catherine, aku tidak mau mendengarkan kata tidak. Mulai besok, kau tidak akan bekerja disana." Benjamin mengucapkannya dengan nada yang tidak ingin dibantah.

"..." Cathy tidak mengerti sifat pamannya ataupun apa yang dipikirkan beliau saat ini. Selama ini pamannya tidak pernah memperdulikan mereka, sekarang kenapa pria itu tiba-tiba bersikap peduli? Atau apakah mungkin beliau ingin mengatur kehidupannya?

Cathy tidak ingin kehidupannya dikendalikan oleh seseorang. Meskipun begitu, pria ini yang telah membiayai pendidikannya beserta ketiga adiknya. Biar bagaimanapun, pria ini memiliki jasa dalam hal pendidikan dan pertumbuhan mereka.

Karena itu, dia memutuskan untuk tidak menentang pamannya. Lagipula, dia selalu bisa mencari pekerjaan lain selain restoran itu. Terlebih lagi dia juga sudah memiliki rencana untuk berhenti dari pekerjaannya. Jadi kali ini dia menuruti pamannya.

"Baiklah."

Benjamin memang tidak pernah melihatnya tumbuh dewasa, tapi dia telah mendengar apa saja yang telah dilakukan keempat keponakannya selama sepuluh tahun terakhir ini.

Sedikit kurang, Benjamin bisa menilai karakter dan cara berpikir masing-masing keponakannya.

Meskipun Cathy tampak setuju untuk berhenti bekerja, namun cepat atau lambat, gadis itu pasti berhasil menemukan pekerjaan lain. Tebak Benjamin dengan yakin.

Dia tidak memiliki waktu untuk menyelidiki tempat kerja yang akan dipilih Cathy, jadi dia menggunakan cara lain.

"Sebagai gantinya, aku ingin kau menjadi asistenku."

Mata Cathy membelalak sama sekali tidak mengharapkan tawaran itu. Mengapa pamannya menginginkan dia menjadi asistennya? Apakah beliau tidak takut kalau dia akan melakukan kesalahan fatal yang membuatnya mengalami kerugian besar?

Tunggu dulu. Dari awal, bagaimana pamannya bisa tahu kalau dia bekerja di restoran?

"Paman memata-mataiku?" nada pada suara Cathy bukan seperti pertanyaan tapi lebih seperti kearah tuduhan.

Benjamin agak terkejut dengan perubahan topik mereka yang drastis, namun ekspresinya tetap tidak berubah.

Tidak mendapatkan jawaban apapun dari pamannya membuatnya yakin, pamannya memang telah memata-matainya tanpa sepengetahuannya.

Jika memang pria dihadapannya menyelidikinya, maka sudah pasti pria itu tahu akan kemampuannya. Apakah mungkin ini sebabnya pamannya menginginkan dia untuk menjadi asistennya karena sudah tahu keahliannya? Ternyata pamannya memang hanya mau memanfaatkannya saja.

Akan tetapi... meskipun dia harus bekerja dibawah pamannya tanpa dibayarpun... dia tidak akan bisa melunasi hutang budi dari pamannya yang sudah membiayai mereka berempat selama belasan tahun.

Karena itu...

"Baiklah, Cathy akan menjadi asisten paman."

Merasa lega mendengar jawaban keponakannya, Benjamin mengambil dua buah folder dan tiga buku tebal mengenai perhotelan dan memberikannya pada Cathy.

"Pelajari ini semua dalam waktu tiga hari. Setelah itu aku akan mengujimu. Jika kau bisa menjawab semua ujianku, kau akan mulai bekerja."

avataravatar
Next chapter