6 Kesepakatan

Vincent memasuki ruang keluarga sambil membawa sebuah kotak. Vanessa yang lebih dulu menyadari kehadiran adiknya melihat kotak yang dibawanya.

Vanessa tersenyum penuh arti mengerti maksud tersembunyi dari adiknya.

"Wah, apa yang kau bawa itu?" Vanessa sengaja mengeraskan suaranya untuk menarik perhatian siapapun yang ada disana.

"Penasaran?" Vincent melanjutkan sandiwara kakaknya dengan tatapan jahil. Kemudian bergabung kedalam lingkaran anggota keluarganya sambil meletakkan kotak tersebut di atas meja.

Vincent membuka lipatan penutup kotak tersebut untuk memamerkan isinya.

"Woaahhhh..." seru Abigail dengan ceria. Abigail adalah keponakan satu-satunya yang baru saja berusia enam tahun. "Kue cokelat besar."

Bukan sembarang kue cokelat. Kue ini merupakan kue favorit ibunya. Dan Vincent melihat tatapan yang tergoda akan kue cokelat dari mata ibunya.

Meskipun begitu, ibunya masih memalingkan wajah menolak untuk bicara dengannya.

"Mama kalian merajuk lagi?" tanya ayahnya yang tidak bisa menahan tawa geli melihat tingkah laku kedua anaknya beserta istrinya. "Kali ini apa yang terjadi?"

Vanessa menjelaskan apa yang terjadi siang itu pada ayahnya dengan singkat.

"Wah, harumnya.." lanjut ayahnya ikut bergabung dengan rencana kedua anaknya.

Bahkan suami Vanessa juga ikut turut andil.

"Abi pasti mau potongan yang besar, iya kan?"

"Iya.. yang besar." jawab Abigail dengan penuh semangat.

"Sayang sekali.." lanjut Vincent dengan nada sedih yang dibuat-buat. "Paman membelikan kue ini khusus untuk oma. Kalau oma tidak mau bicara dengan paman, maka dengan terpaksa.. kue ini harus kembali pada toko."

Dengan tatapan membujuk yang khas milik seorang anak kecil, Abigail menoleh kearah omanya.

"Oma, kasihan Paman Pinpin, oma jangan marah lagi ya. Nanti kuenya tidak bisa dimakan."

"Iya nih, kuenya enak sekali." lanjut Vanessa. "Sayang sekali kalau tidak dimakan."

Vincent tidak melepaskan kesempatan emasnya saat melihat ibunya mulai luluh. Dia segera bangkit berdiri, duduk disamping beliau dan memeluk erat ibunya.

Ibunya sempat meronta untuk melepaskan diri dari pelukan putranya, tapi Vincent sama sekali tidak bergeming dari tempatnya.

"Ma, yakin mama tidak mau bicara dengan Vincent?"

"Hmph!"

"Kalau mama tidak mau bicara denganku, lalu aku harus bicara dengan siapa? Bagaimana nanti kalau aku menemukan seorang gadis, lalu..."

"Benarkah? Kau sudah menemukannya?"

"..." Hanya untuk mendapatkan reaksi dari ibunya, dia hanya perlu menyebutkan seorang gadis?

Menyaksikan adegan drama kecil dihadapan mereka, baik sang ayah dan putri sulung berusaha menahan tawa geli mereka.

"Baiklah. Ayo kita makan kue ini"

Vincent mematung pada tempatnya menyaksikan ibunya memotong kue tersebut menjadi beberapa bagian sebelum menyuapinya pada Abigail.

Vanessa pindah duduk dan menepuk pundak bahu adiknya.

"Menyerah saja, lebih baik kau cepat membawa kekasihmu kemari."

Vincent mendesah pasrah.

"Tapi Vincent," panggil ibunya setelah menggigit kue cokelatnya dan mengunyahnya dengan anggun. "Sebenarnya tipe seperti apa yang kau sukai? Wajah cantik kau tidak suka, badan kurus, kau mengomel, terlalu banyak saudara juga tidak suka, anak tunggal juga tidak suka. Lalu apa yang kau sukai?"

"Mungkin tipe yang disukainya tipe yang seksi?"

Vincent memutar kedua bola matanya mendengar tebakan ayahnya.

"Oh, yang seksi? Seperti siapa?"

Ajaibnya, ibunya percaya saja omong kosong ayahnya.

"Tidak, tidak, tidak. Kalau terlalu seksi Vincent akan selalu dihantui dengan istri yang selingkuh dengan pria lain."

"Hebat. Darimana kau tahu aku akan menjawab itu?"

"Aku adalah kakakmu dan sudah sering mendengar ribuan alasan konyolmu. Tentu saja aku bisa menebak jawabanmu."

"Awww..." Vincent bukan berteriak karena dipukul kakaknya, melainkan dijiwit oleh ibunya. "Mama, sakiiitt.."

Semua orang yang ada disana memutar kedua bola mata mereka mendengar nada suara Vincent yang berlebihan. Bahkan Abigailpun ikut menggelengkan kepalanya.

"Kalau tidak mau sakit, serius sedikit sama mama."

"Memang kapan aku tidak pernah serius sama mama?"

"Membicarakan soal keseriusan..." kali ini ayahnya menyela dengan nada serius, "Kapan kau akan serius mengambil alih usaha keluarga?"

"..." Vincent menggaruk belakang lehernya yang sebenarnya tidak terasa gatal.

Dia tahu, suatu saat nanti dia harus meneruskan usaha ayahnya. Hanya saja... untuk saat ini, dia masih lebih suka memperdalam hobinya.

"Kau ini.." kali ini ibunya yang bicara. "Masa membicarakan hal itu sekarang? Kau kan sudah melihat sendiri hasil karyanya. Dia bahkan banyak mendapatkan proyek periklanan dari berbagai agen. Kau sudah berjanji membiarkannya menjalani usahanya sendiri."

"Benarkah?" ini pertama kalinya dia mendengar ayahnya mendukung usahanya.

"Memang benar. Tapi aku benar-benar berharap ada yang meneruskan usahaku. Bryant sudah memiliki usahanya sendiri, sementara Vanessa tidak diizinkan bekerja.. sepertinya saat aku pensiun nanti, aku harus menutup semua tokoku."

"Kenapa bilang seolah-olah kau akan pensiun dalam waktu dekat. Yah, memang sih, seandainya sebelum kita pensiun, kita bisa melihat cucu dari putra kita."

"Yah, itu memang benar." ayahnya menganggukkan kepala menyetujuinya.

Kenapa sekarang dia merasa kedua orangtuanya bekerjasama untuk memojokkannya?

"Jika seandainya dia menyetujui untuk bertemu dengan salah satunya, mungkin aku tidak akan terlalu memaksanya meneruskan usahaku." lanjut sang ayah.

"Benarkah?" Vincent tidak mengharapkan dukungan ayahnya mengenai usahanya sendiri. Lagipula, dia memang berencana meneruskan usaha ayahnya bila beliau memutuskan untuk pensiun.

Secara diam-diam dia sudah mempelajari dan menguasai seluk beluk barang dagangan yang dijual oleh masing-masing toko. Dia sudah siap sepenuhnya untuk menggantikan posisi ayahnya.

Tentu saja, dia tidak pernah memberitahukan hal ini pada siapapun. Meskipun dia sudah siap mengambil alih usaha ayahnya, dia masih belum siap melepaskan kesenangannya pada kameranya. Karena itu dia hanya berpura-pura tidak ingin atau belum siap meneruskan bisnis keluarga.

Tapi mendengar tawaran ayahnya, cukup membuatnya tergiur. Meskipun begitu, dia masih tidak bisa mempercayai kalimat terakhir ayahnya. Mana mungkin beliau menyerah terhadap dirinya?

"Iya, tentu saja. Lagipula aku masih sehat dan banyak tenaga. Jika saat aku pensiun nanti, aku akan kembali membuatmu tertarik dengan usahaku."

Sudah kuduga. Pikir Vincent dalam hatinya. Tapi setidaknya, itu sudah cukup baginya. Dia tidak perlu lagi mencoba memikirkan sebuah cara untuk melarikan diri tiap kali ayahnya menyinggung soal bisnisnya.

"Baiklah. Hanya bertemu saja kan? Tidak masalah buatku."

"Benarkah?" spontan ibunya bertanya dengan girang. "Dua minggu lagi ada jamuan makan malam diantara para wirausahawan. Diantaranya ada rekan bisnis papamu beserta para investor lainnya. Kau harus datang kesana mewakili kami berdua."

"Sendiri?"

"Tentu saja sendiri."

"Bukannya aku hanya harus bertemu dengan salah satunya?" kenapa dia merasa telah masuk ke jebakan orangtuanya.

"Tentu saja, kau hanya perlu memilih salah satunya."

Yang bisa diartikan, dia harus menemui belasan.. bukan... puluhan gadis di acara itu. Pikir Vincent. Dia tidak bisa mundur ataupun menghindar kembali.

Vanessa hanya memberikan tepukan prihatin pada lengannya.

"Hanya satu malam. Tidak ada yang perlu kau takuti."

Takut? Sebenarnya dia tidak takut menghadapi mereka. Tapi dia terlalu malas melayani para wanita.

Wanita itu makhluk yang aneh. Jika dipuji sedikit, dia akan merasa senang seperti ada dua sayap dibelakangnya siap membawanya terbang tinggi.

Tapi, jika ada satu kata yang tidak disengaja menyinggung perasaan mereka, mereka akan mengamuk tidak jelas dan menyebarkan rumor yang tidak bagus mengenai dirinya.

Dia yakin rumor mengenai dirinya gay, pastilah ulah salah satu wanita yang pernah ia singgung.

Tiap kali dia berbicara dengan seorang wanita dia harus berhati-hati dalam berbicara. Wanita yang mengamuk sangat menyeramkan.

Menghadapi amukan ibunya dan kakaknya saja sudah membuatnya kelelahan. Mereka memang keluarga yang harmonis dan rukun. Tapi tentu saja ada kalanya dimana pertengkaran akan terjadi.

Hanya saja, mereka membiasakan diri untuk tidak membiarkan amarah pertengkaran terasa hingga matahari terbenam. Untuk itu, setiap kali pertengkaran terjadi, pasti akan ada pihak yang mau maju untuk minta berbaikan terlebih dahulu.

Di dunia ini hanya ada satu wanita yang bisa membuatnya tidak perlu berhati-hati dalam berbicara. Si wanita macan betina.

Dia tidak akan pernah memanggil julukan pada wanita lain, tapi yang satu ini berbeda. Sifatnya sangat tomboy dan kasar. Dia bahkan tidak terlalu memandangnya sebagai seorang wanita.

Ditambah lagi, dia juga memiliki julukan yang tidak lebih baik dari julukan yang diberikannya.

Tunggu. Vincent mulai teringat sesuatu. Jika memang jamuan makan malam ini dikhususkan untuk rekan kerja ayahnya, apakah mungkin...?

"Kakak," bisik Vincent memanggil Vanessa, "Apakah macan betina akan datang?"

"Tentu saja. Kedua orangtuanya, kan anggota utama dalam pemegang saham."

Vincent tersenyum lega mengetahui informasi itu.

"Jangan bilang kau hanya akan menemuinya dan bicara dengannya."

"Aku tidak bilang apa-apa." ucapnya dengan wajah yang polos.

Vanessa menggelengkan kepalanya tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat untuk membuat adiknya mau mencari pasangan hidupnya.

Vincent bergumam dengan ceria mengetahui dia tidak akan terkena amukan para wanita di acara dua minggu lagi.

Karena itu dia melakukan aktivitasnya seperti biasa seolah acara jamuan makan malam itu tidak pernah datang.

Begitu juga dengan beberapa hari berikutnya, Vincent sama sekali tidak memikirkan sedikitpun mengenai acara tersebut.

Dia hanya sibuk memandang hasil karyanya beberapa hari lalu yang kini sudah dipamerkan dideretan galeri studio miliknya.

"Ini foto baru karya V,"

"Sungguh menakjubkan, bagaimana V bisa mendapatkan foto indah seperti ini?"

Vincent tersenyum, bukan karena pujian mereka tapi karena senyuman mereka. Selama tamu yang datang mengunjungi galerinya bisa tersenyum saat melihat hasil karyanya, dia sudah merasa puas.

"Hei, ada sebuah hotel yang menginginkan jasa kita." ucap salah satu pegawainya dengan suara yang pelan.

"Hotel?"

"Iya. Mereka ingin mengiklankan hotel mereka, karena itu mereka ingin V yang mengambil fotonya."

Lagi? Beberapa bulan terakhir ini ada banyak yang menginginkan jasanya untuk dijadikan iklan. Dia memang tidak keberatan, tapi mereka semua menginginkannya menggunakan kamera digital.

Belum lagi mereka ingin mengedit hasil foto yang ia ambil dengan sesukanya. Jika memang mereka ingin mengeditnya, lalu untuk apa mereka menggunakan jasanya?

Mungkin bagi kebanyakan orang menggunakan kamera digital lebih mudah dan efisien dalam mencetak. Tapi bagi Vincent, kamera analog miliknya adalah nomor satu.

"Tolak saja. Aku sudah capek memakai kamera digital."

"Mungkin mereka akan mengizinkanmu menggunakan analog?"

"Bukankah tadi kau bilang calon pelanggan kita adalah pemilik hotel? Maka tidak mungkin mereka mengizinkan kita memakai kamera analog."

"O," hanya itulah yang keluar dari mulut pegawainya.

"Mulai sekarang tolak semua permintaan iklan dalam bentuk apapun. Aku hanya akan memotret sesuatu yang menarik perhatianku saja."

Setelah mengatakannya, Vincent mengambil kameranya dan keluar dari galerinya.

"Aku baru menyadarinya...atasanku sama sekali tidak memiliki ambisi yang besar."

Tentu saja Vincent tidak bisa mendengar apa yang diucapkannya.

avataravatar
Next chapter