6 6. Sang Iblis Berwajah Malaikat

Apartemen Clarissa telah dijual berserta berbagai barang mewahnya untuk melunasi utang. Kini ia tidak memiliki apa pun. Hanya menyisakan badannya dan rumah tua yang ia tempati saat ini.

Pandangan Clarissa mengelilingi ruangan kecil yang begitu kumuh itu. Bukti tak seorang pun pernah menyentuh dan menjejakkan kaki ke dalamnya. Clarissa pikir, ia takkan pernah kembali ke rumah peninggalan mendiang orang tuanya. Karena itu, ia tidak pernah merawat rumah ini. Namun, kini justru rumah inilah satu-satunya tempat yang menerimanya kembali.

Kalau seandainya tahu ia akan kembali ke rumah ini, Clarissa pasti akan merenovasinya menjadi rumah kecil berlantai empat. Dengan ruangan dipenuhi TV, sofa empuk dan luas, juga ranjang yang bisa membuat orang yang tidur di atasnya enggan terbangun saking nyamannya. Sayangnya, di ruangan kumuh ini hanya ada sebuah karpet yang ia jadikan alas untuk duduk maupun tertidur.

Clarissa merasakan kehausan. Ia ingat belum mengisi ulang galonnya. Dari kemarin, ia hanya menunda-nunda. Ia pun bangun dan membawa galon kosongnya ke sebuah toko untuk menggantinya dengan galon berisi penuh.

Sang pemilik toko membawa galon kosong itu untuk digantinya dengan galon berisi penuh yang masih tersimpan di dalam toko. Terpaksa Clarissa harus menunggu selama beberapa saat.

Terdengar suara riuh dari beberapa orang di seberang jalan tengah memuji seseorang.

"Wah. Memang hebat anaknya Pak Lurah. Enggak heran, sih. Dia memang persis seperti bapaknya yang berhasil membangun kampung ini menjadi lebih maju," kata seseorang, yang disambut anggukan setuju dari orang-orang yang bersamanya.

Sebenarnya Clarissa tidak tertarik mengikuti alur pembicaraan orang-orang itu. Ia hanya diam dan mengabaikan. Ia tidak mau ikut campur kehidupan orang lain meski sekali saja. Tapi, memang dasarnya mereka adalah orang-orang sialan yang suka mencari kesalahan seseorang. Mereka pun mulai memancing masalah dengan menyindirnya secara sengaja.

"Kalau Nak Dimas ini memang patut sekali dicontoh. Berasal dari keluarga terhormat dan dididik sangat baik untuk menjaga kehormatan itu. Pantas saja dia sangat pintar dan bisa membalas budi ke orang tuanya dengan kesuksesannya sekarang." Orang tadi kembali bersuara.

"Iya. Enggak menyangka banget, Nak Dimas sekarang bisa jadi Direktur Utama," salah seorang di sampingnya menyetujui. Kemudian menoleh kepada sang bintang obrolan saat itu. "Jadi, direktur di mana, Nak Dimas?"

"Perusahaan Moza, Bu," sahut Dimas. Ia pun tersenyum ramah. Tampak berwibawa dengan setelan jas hitamnya.

"Ah, iya! Itu!" seru Ibu itu seolah mengerti. "Pasti bangga banget bapakmu, kan, Nak? Enggak malu-maluin kayak yang lagi jatuh itu. Sudah hidup enak-enak jadi artis sukses, eh, malah mau merusak rumah tangga orang. Untung bapaknya sudah enggak bisa dengar," sindirnya amat keras.

"Benar banget. Memang seharusnya kayak Nak Dimas ini kalau jadi anak yang baik. Kerja lama, pulang-pulangnya bawa kebanggaan. Enggak seperti orang yang lain. Sudah enggak pernah balik ke kampungnya, pulang-pulangnya malah bawa aib."

Gendang telinga Clarissa mulai memanas. Kedua tangannya mengepal di bawah, berusaha menahan diri untuk tidak mendaratkan pukulannya kepada mulut-mulut sialan itu.

Clarissa amat berharap bisa menghadapi siapa saja orang yang berani membicarakan dirinya dengan sembarangan dan menghinanya. Melontarkan teriakan dan mengatakan kalau apa yang mereka tahu bukanlah kebenaran yang sebenarnya. Namun, apalah daya Clarissa. Ia hanya seorang diri tanpa teman maupun keluarga. Satu orang akan selalu kalah dalam melawan persatuan. Pada akhirnya, ia pun melepaskan kepalan tangannya dengan pasrah.

Clarissa menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya meski terasa berat. Tangannya mengusap dadanya. Memberikan semangat pada dirinya sendiri. "Sabar, Rissa. Semua rasa sakit ini pasti akan berlalu dalam waktu yang cepat. Kamu sudah berhasil melalui berbagai masalah dengan baik. Kali ini, kamu pun pasti bisa melaluinya," gumamnya berusaha menenangkan diri.

Sang pemilik toko akhirnya datang dengan mendorong air segalon penuh sebelum Clarissa melontarkan umpatan atas keterlambatannya. Padahal, Clarissa sangat ingin cepat pergi dari tempat ini.

Untuk sejenak, Clarissa masih terpaku di tempat sembari memperhatikan galon di depan kakinya. Ia tidak yakin bisa mengangkat benda berat itu dan membawanya pulang ke rumah. Tubuhnya kurus kering karena manajernya selalu mengawasi pola makannya dengan ketat. Dan kini, orang itu tidak bisa memberikan bantuan apa-apa.

Clarissa kebingungan karena tidak ada siapa pun yang bisa ia mintai bantuan. Ia pun berpikir nekat untuk mengangkat galon itu meski kepayahan. Sebelum jemarinya menyentuh galon itu, tiba-tiba seseorang datang dan mengangkatkan galonnya tanpa permisi.

Clarissa menoleh. Matanya langsung melebar menemukan sang bintang kampung yang terdengar begitu diagung-agungkan warga sekitar tadi, sudah berdiri di sampingnya sembari memanggul galon di pundak.

"Ma-Mas Dimas …." Clarissa tidak menyangka bisa menyebut nama itu setelah bertahun-tahun ia melupakan keberadaan pria itu.

Dimas memamerkan senyum yang begitu manis kepada Clarissa. Ekspresi yang tidak pernah Clarissa bayangkan, akan diberikan kepadanya, setelah apa yang terjadi antara mereka berdua di masa lalu.

"Biar galonnya kubawakan ke rumahmu, ya?" kata Dimas terdengar seperti seorang pria sejati.

Clarissa merasa sungkan. Sebelum ia bisa menyuarakan penolakannya, Dimas sudah melangkah lebih dahulu. Membuat bibir Clarissa harus mengatup dan mengikuti langkahnya dengan pasrah. Ia tidak boleh menciptakan kehebohan dengan Dimas hanya karena hal sepele. Atau warga di sekitar akan membuatnya tidak bisa hidup dengan tenang.

Dimas meletakkan galon itu di depan pintu rumah yang dindingnya hanya dilapisi semen kasar. Melihat rumahnya kembali, menyadarkan Clarissa kalau rumah itu memang memerlukan banyak perbaikan untuk layak dihuni manusia.

"Terima kasih, ya, Mas," kata Clarissa sembari mengangkat senyumnya agar tidak terlihat canggung.

Sayangnya, lain dari wajah sebelumnya, Dimas justru melihat Clarissa dengan wajah dingin dan tatapan menusuk. Senyum manis yang dibangga-banggakan orang-orang tadi telah luntur terguyur air keringat.

"Makanya, kamu enggak usah sok kuat. Kamu enggak sehebat itu, Yanti," sindir Dimas dengan menekankan nama Yanti.

Clarissa dibuat terkejut seketika. Ia tidak menyangka bisa direndahkan seperti ini oleh orang yang tidak pernah ia duga akan melakukan ini kepadanya. Sebelum Clarissa melontarkan penjelasannya, Dimas sudah pergi tanpa meninggalkan pamitan.

"Aku bahkan belum mengatakan kalau namaku sudah berganti sejak dua belas tahun yang lalu," gumam Clarissa. Ia merasa menyesal.

Clarissa sudah berusaha keras untuk mengabaikan ocehan orang-orang tadi. Namun, Dimas justru datang kepadanya dan memancing amarahnya. Clarissa menjadi sebal setelah menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata, Dimas tidak tersenyum kepadanya secara tulus. Pria itu sengaja tersenyum kepadanya hanya untuk memamerkan kebaikan perilakunya kepada orang-orang di sekitarnya. Lebih tepatnya, Dimas adalah orang yang haus pujian.

"Kalau tahu seperti ini, pasti kutolak tadi!" gerutu Clarissa. Sialnya, ia sudah terlanjur melibatkan diri. Orang-orang yang melihatnya dibantu Dimas pasti akan menyebarkan pujian untuk Dimas dengan menautkan nama Clarissa. Jika begitu, maka Clarissa akan semakin terkenal saja di tempat ini. Padahal, yang Clarissa inginkan sebenarnya adalah ketenangan. Jauh dari orang-orang yang mengenalnya sebagai aktris yang buruk.

Ah, sial! Kini Clarissa harus menyiapkan telinganya dengan baik untuk mendengarkan gosip-gosip tentang dirinya secara langsung.

Suasana hati Clarissa telah rusak karena kesinisan Dimas. Itu membuat Clarissa enggan melakukan apa pun dengan benar. Ia pun mendorong masuk galonnya ke rumah lalu membanting pintunya dengan kasar untuk melampiaskan amarah di hatinya.

Pintu yang menutup itu pun menimbulkan suara keras yang beruntun. Pertama karena pintu itu menutup, kedua karena engsel pintu paling atas rusak dan membuat sudut bawah pintu itu jatuh ke lantai. Untungnya engsel paling bawah pintu masih kuat menahan pintu tersebut.

Melihat keadaan rumahnya yang semakin tidak terbentuk, Clarissa kembali merasa terpuruk. Ia duduk bersandar dinding. Kemudian menyembunyikan wajahnya di lipatan lututnya dengan kedua tangan melingkari. Ia menangis.

Setidaknya benar kata ayah Clarissa saat Clarissa masih kecil, "Tidak ada yang lebih baik daripada memiliki rumah sendiri. Kalau pun kamu tidak memiliki makanan apa pun, kamu masih memiliki tanah untuk mengubur mayatmu."

Kini, Clarissa telah kembali. Kembali lagi pada fase yang lebih rendah dari seorang bayi yang belum bisa merangkak. Ah, lebih dari itu. Clarissa bahkan tidak berdiri di titik nol. Tapi titik negatif.

-oOo-

avataravatar