3 3. Pengakuan Rega

"Jika sesuatu yang buruk terjadi padamu, jangan pernah melibatkan aku atau pun hotelku," kata Rico, teman Rega sekaligus sang pemilik hotel, sembari menyerahkan kunci salah satu kamar hotelnya kepada Rega.

Rega menerima kunci itu sembari tersenyum miring. "Tenanglah. Karena tidak akan ada sesuatu buruk yang terjadi selama kunci ini ada padaku."

"Jangan terlalu sombong. Karena cela bisa ada kapan saja." Rico kembali memperingatkan. Kemudian berbalik meninggalkan Rega.

Rega amat berbangga mendapatkan kunci tersebut. Ia pun segera pergi menuju kamar yang akan terbuka dengan kunci di tangannya: kamar Clarissa.

Sesampainya di kamar Clarissa, suasana hening menyambutnya. Tampak wanita cantik berbalut kimono sutra ungu itu terlelap di atas ranjang. Terlalu asyik dengan mimpinya sehingga tidak akan mudah untuk membangunkannya. Anggun dan tampak tidak berdaya. Membuat Rega berhasrat untuk menguasainya.

Rega tidak mau pencapaiannya malam ini lenyap begitu saja. Ia pun mengabadikan momen itu dalam sebuah kamera perekam kecil yang ia letakkan di atas nakas. Ia pun menaiki ranjang dan mulai membuka kancing kemejanya satu per satu. Kemudian telunjuknya merayap di atas pipi Clarissa yang halus.

"Aku pastikan kamu enggak akan berdaya meski matamu terbuka," bisiknya tepat di telinga Clarissa.

Tangan Rega beraksi kembali untuk membuka kimono Clarissa. Mengekspos tubuh wanita itu yang masih terbalut lingerie sepaha. Sayangnya, tindakannya harus dihentikan oleh suara berisik dari ponselnya. Rega menggerutu kesal. Hampir ia membuang ponselnya itu agar tidak lagi menghentikan aksinya. Namun, rupanya itu adalah panggilan dari Rico. Terpaksa ia pun mengangkat panggilan tersebut. Barangkali ada sesuatu penting yang akan dibahasnya.

"Ada apa?" sambutnya agak sinis.

"Cepatlah keluar dari kamar itu. Sepertinya ada wartawan yang mencarimu," ujar Rico memberikan kejutan.

Mata Rega membelalak. "Bagaimana bisa?"

"Sepertinya mereka sudah mengintaimu sejak di bar tadi. Jadi, cepatlah keluar dari kamar itu. Ini akan menjadi sangat buruk kalau mereka tahu kamu berdua dalam satu kamar bersama wanita yang bukan istrimu," kata Rico memberikan peringatan terakhir sebelum memutuskan panggilannya.

"Sial!" umpat Rega kesal. Ia pun menyimpan ponselnya ke dalam saku. Kemudian menarik kamera dari nakas dan bergegas keluar kamar sembari mengancingkan kemejanya.

Rega memilih pergi melalui tangga darurat. Karena jika ia memilih pergi melalui lift, ia mungkin akan bertemu dengan para wartawan itu.

Rega bergegas cepat menuruni anak tangga satu per satu. Karena saking terburu-burunya, ia sampai menabrak seseorang dan membuat kameranya terjatuh menuruni anak tangga.

"Hei! Kalau jalan sambil lihat-lihat, dong!" seru Rega kesal. Kemudian mengangkat pandangannya menuju seseorang yang ia tabrak barusan. Rega tidak mengenal siapa pria di hadapannya. Namun, cara berpakaian dan kamera yang dibawa pria itu meyakinkan Rega kalau pria itu adalah seorang wartawan.

Sial! Padahal Rega sengaja bersusah payah menuruni anak tangga yang tidak sedikit ini agar tidak bertemu dengan pria di hadapannya ini!

Senyum di wajah pria itu mengembang. Telunjuknya mengarah kepada Rega. "Mas Rega Adair, ya?"

Rega tidak bisa mengelak. Karena wajahnya sudah dihafalkan oleh banyak orang yang pernah menonton filmnya. Dan mungkin, pria di depannya ini adalah salah satunya.

Rega menurunkan pandangannya. "Maaf. Saya buru-buru karena ada acara," dalihnya. Kemudian bergegas pergi.

Terdengar pria itu meneriakinya. Rega berusaha mengabaikan dan mempercepat langkahnya. Ia menemukan kameranya hancur berserakan. Ia pun menyempatkan diri mengambilnya.

Sesampainya di rumah, tentu saja masalah ini belum berakhir. Sang istri dengan kandungan tujuh bulan, yang menonton berita tentangnya di televisi, seketika membuatnya harus bertekuk lutut memohon ampunan.

"Aku berjanji aku tidak akan mengulanginya," pinta Rega dengan mata berkaca-kaca.

Donita, sang istri, adalah anak dari pemilik sebuah stasiun televisi. Hanya sang istrilah yang bisa menolongnya dan memberikannya secercah harapan. Namun, jika sang istri menolak menolongnya, Rega mungkin harus kehilangan karier, kehidupan, dan juga istrinya. Karena ayah mertuanya tidak akan membiarkannya bernapas dengan tenang.

"Mendiang mamaku pernah menasihatiku, 'Nak. Jangan pernah menerima kembali pria yang sudah mengkhianatimu. Karena pria yang tidak bisa menghargai wanita tidak akan mudah berubah'," ujar Donita dengan wajah begitu tenang. Seolah skandal ini bukanlah masalah besar yang akan menentukan jalan hidupnya ke depan.

Rega terperangah. Mungkin akan seperti yang ia bayangkan: ia harus mengangkat kaki keluar dari rumah ini. Setelah keluar dari rumah, ia harus melihat berbagai wajah yang menghujatnya karena menyakiti sang istri demi wanita lain.

"Tapi, papaku juga sering mengatakan sesuatu kepadaku," imbuh Donita. Kemudian menirukan ucapan sang ayah yang ia dengar setiap kali bertemu. "Nak. Buatlah orang yang pernah mengkhianatimu tidak akan bisa mengkhianatimu lagi. Itulah kunci yang mempertahankan kesuksesan Papa sampai sekarang."

Rega langsung memegangi kaki Donita. "Maafkan aku, Sayang. Tolong jangan usir aku. Aku tidak akan mengkhianatimu lagi seperti yang papamu katakan."

Donita merunduk. Membantu Rega membangunkan diri. Kemudian menepuk kedua pundak Rega pelan. "Tentu saja kamu enggak akan pernah mengkhianati aku lagi. Karena aku yang akan membuatnya begitu, Sayang."

Ekspresi wajah Donita seketika berubah dingin. Kecantikannya tak lagi bak seorang dewi. Ia persis seperti malaikat maut yang siap mengambil nyawa siapa pun orang yang berani melawannya.

Rega belum pernah setakut ini melihat wajah sang istri. Ia sangat tahu bahwa ketenangan di wajah sang istri bisa saja menghanyutkan dirinya kapan saja.

-oOo-

Brak! Suara gebrakan meja memecahkan keheningan yang menguasai ruangan. Clarissa dan sang manajer hanya bisa meneguk ludah mendapati Pak Abraham, CEO dari agensi yang menaungi Clarissa selama ini, tampak marah besar.

"Dari banyak pria di dunia ini, yang tidak akan bisa menolak wanita secantik dan sesukses dirimu, kenapa harus pria beristri yang kamu pilih?" tanya Abraham dengan intonasi tinggi.

"Tapi, aku enggak pernah pilih Rega, Pak. Aku enggak segila itu buat merebut suami orang," bela Clarissa.

"Lalu foto ini apa?" Pak Abraham menunjukkan tabletnya yang menampilkan foto Rega ketika keluar dari kamar Clarissa yang berhasil diambil oleh seorang wartawan. "Apa kamu juga akan bilang kalau foto ini hanya rekayasa?"

"Kalau foto itu bukan rekayasa, lalu apa? Aku bersumpah enggak pernah bertemu Rega di kamar itu." Clarissa bersikukuh.

"Baiklah. Kalau kamu memang enggak mau mengakui itu. Tapi, apa foto ini juga rekayasa?" Pak Abraham ganti menunjukkan foto Clarissa yang berhadapan dengan Rega di bar.

"Kalau yang itu memang bukan rekayasa. Aku memang bertemu dengannya. Tapi, bukan karena kami ada hubungan spesial. Tapi, karena aku mau mengatakan akan menolak film baru kami," jelas Clarissa.

"Jadi, kamu juga sudah menolak film itu sebelum berdiskusi denganku?" Kemarahan Abraham tidak mereda.

"Aku belum benar-benar menolaknya, Pak. Aku mengatakannya kepada Rega lebih dahulu, baru aku akan menyampaikan keputusanku kepada Anda," bela Clarissa.

Tiba-tiba ponsel Abraham berdering. Ia pun meredakan amarahnya sejenak dengan menghirup napas dan mengembuskannya beberapa kali.

"Ada apa," sambutnya kepada seorang bawahan yang menghubunginya.

"Ada berita baru lagi?" Abraham langsung terkejut.

"Baiklah. Aku akan memeriksanya," kata Abraham lalu menutup sambungan panggilan.

Abraham berganti mengambil tabletnya. Kemudian membuka sebuah link yang dikirimkan kepadanya. Sebuah berita besar tengah menggonjang-ganjingkan dunia hiburan dalam satu hari. Ia pun memperlihatkan layar tabletnya kepada Clarissa dan sang manajer yang menampilkan sebuah judul berita.

"ITU MEMANG AKU." Ungkap Rega Adair mengakui ....

-oOo-

avataravatar
Next chapter