1 1. Terjebak

Kehidupan manusia bermula di titik nol. Dari seorang bayi yang tidak tahu apa-apa, lalu merangkak, dan terus berusaha sehingga membuatnya mampu berdiri sendiri.

Pencapaian hanya akan didapat jika orang-orang terus berusaha.

Tapi, apa itu pencapaian?

Apa itu akhir dari perjuangan?

Ya. Pencapaian adalah akhir dari sebuah perjuangan. Tapi, apa kehidupan juga akan berakhir sampai di sana?

Tidak. Karena kehidupan tidak hanya berisi satu perjuangan saja.

Setelah berhasil menggenggam sebuah pencapaian, perjuangan lain akan dibutuhkan. Sebuah perjuangan untuk bertahan. Sayangnya, Clarissa telah gagal dalam perjuangannya kali ini.

Kemarin, Clarissa menghubungi Rega untuk bertemu di satu tempat. Dan Rega memilih bar di hotel di mana Clarissa menginap, sebagai tempat pertemuan mereka. Kebetulan, hotel itu milik seorang teman Rega dan ia memang sering ke situ.

Aroma minuman beralkohol dari gelas Rega menggelitik hidung Clarissa. Rega pun mendorong gelas lain mendekati Clarissa dan memaksanya untuk meminum.

"Nanti saja," kata Clarissa yang belum haus.

Rega mengangguk. "Tumben kamu mau ketemu aku berdua saja?" tanya Rega. Entah kenapa, suaranya terdengar genit di telinga Clarissa. Suara yang sangat ingin Clarissa jauhi. Namun, tidak semudah itu. Karena ia mendapatkan tawaran untuk bermain film dan menjadi pasangan Rega.

"Aku akan menolak film yang ditawarkan kepada kita," ujar Clarissa.

Gelas ditangan Rega pun ia turunkan. Ia terkejut. "Kenapa? Apa ada yang kurang? Apa bayarannya kurang?" Rega terdengar sangat tidak bisa menerima keputusan itu.

Clarissa bergeleng. "Enggak, kok."

"Lalu kenapa?" Rega amat penasaran.

"Aku hanya merasa enggak cocok saja." Jawaban Clarissa terdengar begitu enteng.

"Enggak cocok sama apanya? Sama sutradara? Sama bayarannya? Atau kamu enggak cocok karena harus berpasangan denganku?" Rega menembakkan pertanyaan.

Kembali Clarissa bergeleng. "Enggak, kok. Aku enggak mikir sampai sana. Hanya saja, feeling-ku tiba-tiba bilang kalau aku enggak cocok buat main film ini. Film ini akan gagal di tanganku."

"Tapi, kan, itu cuma feeling. Kamu belum mikirin itu baik-baik, kan?" Rega merasa alasan Clarissa tidaklah masuk akal.

"Ayolah, Rissa. Feeling itu cuma perasaan biasa. Bisa saja salah. Banyak banget malah," imbuh Rega.

Sekali lagi Clarissa bergeleng. "Enggak mungkin. Aku sudah bermain di banyak film sepanjang dua belas tahun aku berkarier. Jadi, feeling-ku gak mungkin salah."

"Tolonglah, Rissa. Tolong pikirkanlah ulang keputusanmu ini. Aku berjanji film ini akan laku besar di pasaran," pinta Rega.

"Maaf, Rega. Ini sudah keputusan terakhirku." Clarissa bersikukuh.

Rega menggabungkan tangannya di depan dada. Ia memohon dengan wajah memelas. "Sekali ini saja. Aku sangat ingin bermain dalam satu film denganmu. Ini akan menjadi kebanggaan besar dalam hidupku."

Justru karena itulah aku menolak film itu. Karena aku enggak mau terus ketemu kamu, apalagi satu film sama kamu, batin Clarissa.

Semenjak pertama kali dipertemukan dengan Rega oleh sang sutradara, Clarissa sudah merasakan kejanggalan. Rega berlaku aneh. Pria itu seolah menggodanya dan beberapa kali melakukan pelecehan ringan kepadanya. Tindakan itu tidak seharusnya dilakukan oleh pria mana pun, apalagi pria beristri seperti Rega. Clarissa tetap diam demi menjaga nama baiknya dan Rega. Dan ia memutuskan untuk menjauh lebih awal sebelum ada paparazi atau wartawan yang mencium keanehan itu dan membuat berita buruk yang bisa menghancurkan nama baiknya.

Clarissa mengangkat senyumnya. "Peranku pasti akan digantikan dengan aktris lain yang lebih baik dariku. Karena skenario film ini sangat luar biasa."

Rega tidak bisa berkata-kata lagi.

"Sebagai permintaan maaf dariku, aku yang akan menraktir minuman ini," ujar Clarissa berusaha menghibur Rega. Kemudian mengangkat tangan kepada bartender dan menyerahkan sebuah kartu dari dompetnya.

"Kamu yang bayar tapi kamu enggak meminum sedikit pun," kata Rega.

Clarissa menjadi sungkan. Ia pun mengangkat gelas berdiri di depannya dan meminum isinya. Tenggorokannya terasa terbakar karena minuman berwarna putih itu. Di saat bersamaan, sang bartender pun mengembalikan kartu milik Clarissa. Clarissa pun menyimpannya kembali ke dalam dompet. Ia pun berdiri. "Aku balik ke kamar dulu. Kamu jangan sedih." Ia pun menepuk pelan pundak Rega, menyemangati.

Rega tetap diam dengan pandangan tajam menuju punggung Clarissa yang semakin menghilang. Sebenarnya ia tidak sedih. Karena kesedihan hanyalah milik orang yang lemah. Rega amat marah. Ia benci ditolak siapa pun. Diam saja dan pasrah adalah tindakan yang tidak mungkin dilakukan olehnya.

"Kamu pikir kamu bisa tersenyum dan tenang setelah mengecewakanku?" tanya Rega dengan gumaman.

"Enggak, Rissa. Karena aku yang akan membuatmu menyesali keputusanmu itu," gumam Rega lagi, menjawab pertanyaannya sendiri.

Rega pun mengambil ponsel yang ia letakkan di atas meja sebelumnya. Kemudian menghubungi salah seorang temannya.

"Aku butuh bantuanmu sekarang juga," katanya mengawali perbincangan yang mengalir selama beberapa saat.

"Permintaanku memang lancang. Jadi, jangan sampai ada yang tahu kalau aku meminta kunci kamar itu darimu," kata Rega untuk terakhir kali, sebelum memutuskan sambungan telepon itu.

-oOo-

avataravatar
Next chapter