6 [ Happy Ending My Ass ]

"Kal. ."

"Hmm?"

"Should we get married?"

Khalisa terkekeh melihat wajah mas pacar yang masih berseragam putih abu - abu itu.

"Ya kali! Emang kamu nggak mau kuliah dulu? Apa kek?"

Khalisa berusaha menyembunyikan debaran jantung yang tak karuan dengan tawa yang terkesan maksa itu. Gimana nggak? Cinta pertama sekaligus pacarnya tiga tahun belakangan itu ngomong seolah - olah dia memang beneran mau ngelamar Khalisa saat itu juga. Dan tentu saja, saat kalian berusia delapan belas tahun dan sedang jatuh cinta, rasanya cinta itu akan bertahan selamanya.

It won't work if it's not him.

Jika Khalisa tiga puluh tahun bertemu dengan Khalisa delapan belas tahun, si cantik itu pasti akan menjambak rambut yang lebih muda agar otaknya bekerja lebih baik dan tidak terperdaya oleh ilusi bernama cinta.

"Kita masih bisa ngelakuin semuanya kok. Toh akhirnya aku juga bakal tetap nikahin kamu, cuma dicepetin aja, hehe~"

"Kamu seyakin itu sama aku, Yan? Sama kita?"

"Iya. Emang kamu nggak yakin sama aku? Sama kita?"

Khalisa mentap pacarnya itu lama, kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata, "Okay. . Let's get married."

.

.

Saat Khalisa terbangun dari tidurnya, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

Lagi - lagi mimpi itu.

Ia lalu meraih ponselnya yang terletak di meja nakas. Dibacanya beberapa email yang baru masuk yang kebanyakan isinya tentang pekerjaannya. Kemudian ada beberapa iMessages yang belum dibacanya.

Khalisa menatap ragu sebuah pesan dari caller id bernama Mama. Setelah menimbang - nimbang ia membuka pesan tersebut.

Mommy, we miss you💕 mommy kapan pulang?

Hati Khalisa terasa nyeri. Bagaimana ia bisa menyayangi dan membenci sesuatu sama besarnya disaat yang bersamaan?

Alih - alih membalas, Khalisa memilih untuk mengabaikan saja pesan dari putri kecilnya yang berusia sepuluh tahun itu, kemudian dipejamkannya lagi kedua matanya. Berharap jika semua yang terjadi padanya hanya mimpi buruk yang panjang, yang pada suatu titik akan berhenti saat ia terbangun.

.

.

"Coffee?"

Khalisa memutar bola matanya jengah. Tristan benar - benar tak menyerah. Kali ini si bebal itu muncul di studionya dengan segelas gelas caffe americano di tangannya.

"Makasih." Jawab Khalisa seadanya sambil menerima kopi yang Tristan tawarkan.

"Second date?"

"Tristan!"

"Iya! Iya! Aku becanda! Galak banget sih!"

Tristan lalu terkekeh melihat wajah cemberut Khalisa.

"Kamu beneran nggak ada kerjaan lain apa?" Tanya Khalisa penuh selidik. Abisnya Tristan udah beredar di studio pemotretannya selama seminggu belakangan. Ia sampai kehabisan akal gimana caranya ngusir Tristan sangking bebalnya.

"Kan lagi libur kuliah." Jawab Tristan kelewat santai sambil duduk di sofa yang terisi penuh oleh segala pernak - pernik kosmetik dan aksesoris yang disimpan di dalam beberapa tas.

"Kamu. . Kuliah jurusan apa?" Khalisa kemudian menyesap kopinya.

Tristan tersenyum tipis dan seketika Khalisa menyesal telah bertanya.

"Wow. . Peletnya manjur kayanya!"

Mendengar ucapan Tristan, Khalisa auto muncratin kopi yang sedang diminumnya. Buru - buru Tristan menyerahkan tisu yang terletak tak jauh dari jangkauannya.

"Becanda kamu nggak lucu!" Protes Khalisa sambil terbatuk karena kejadian barusan.

"Abis pertanyaan kamu bikin kaget, kan aku jadi ngarep kamu mulai perhatian ke aku?" Balas Tristan tak mau kalah.

"Ya udah, saya nggak akan tanya - tanya kamu lagi!"

"Yaaah. . Ngambek. . Jangan dong! Oke aku jawab! Aku jawab! Aku mahasiswa semester delapan jurusan desain grafis." Tristan menyunggingkan senyum terbaiknya, kali aja beneran mempan kan melet Khalisa?

"Oh. ." Cuma itu respon yang Khalisa berikan dan tentu saja itu sesuai dugaan Tristan, maka dari itu ia mengajukan sesuatu agar obrolan mereka berlanjut lebih lama.

"Mau main game sama aku nggak?"

"Hah?"

"Iya, main game. Nih! Aku punya koin. ." Tristan mengeluarkan koin seribuan dari saku hoodie-nya, kemudian melanjutkan, "Koinnya bakal aku lempar. Kamu pilih apa? Angka apa gambar?"

"I'm not playing." Khalisa menggeleng tegas.

"Bilang aja kamu takut kalah," Cibir Tristan. Berkali - kali berdebat dengan Khalisa, Tristan agaknya menyadari sesuatu. Khalisa itu pantang di provokasi.

"One game. . Promise!" Tristan menatap Khalisa lama. Mencari tanda - tanda jika yang lebih tua setuju untuk bermain dengannya.

"Ya udah. . Saya pilih angka." Khalisa menyerah.

"Berarti aku otomatis gambar ya? Ini nanti koinnya aku lempar. Yang menang boleh nanya duluan dan yang kalah harus jawab pertanyaan yang menang apapun pertanyaannya. We'll take turn."

Tristan lalu melempar koin di tangannya, setelah itu membuka telapak tangannya untuk melihat sisi apa yang keluar.

"Gambar!" Tristan menyunggingkan senyum penuh kemenangan sementara Khalisanya cuma bisa cemberut parah karena kekalahannya.

"Ya udah, kamu mau nanya apa?" Tanya Khalisa tanpa basa - basi.

Tristan berpikir beberapa detik sebelum bertanya, "Hobi kamu apa?"

"Kan kamu udah pernah nanyain itu?" Khalisa menatap Tristan bingung.

Oh? Dia inget?

Sorak Tristan dalam hati.

"Kan waktu itu kamu nggak jawab pertanyaan aku. Jadi hobi kamu apa?"

Khalisa menggigit bibir bawahnya, ragu - ragu ia menjawab, "I like dancing."

"Dancing? Really?" Tristan siap - siap ingin tertawa, tapi batal ketika melihat wajah jengkel Khalisa di hadapannya.

"Terserah kamu mau percaya apa nggak," Khalisa mengangkat bahunya acuh.

"Giliran kamu." Tristan mempersilahkan Khalisa untuk bertanya padanya.

"Sampai kapan kamu mau manggil saya tanpa 'Mbak'?"

"It's just Kal atau Tante. Kamu mau aku panggil apa?"

Khalisa lagi - lagi hanya menarik napas panjang.

"My turn. Hal apa yang paling kamu benci?"

Kali ini tanpa ragu Khalisa menjawab, "Dibohongin."

Tristan menganggukkan kepalanya beberapa kali, kemudian berkata, "Giliran kamu."

"Kamu. . Kenapa bisa suka sama saya? Padahal kamu nggak kenal sama saya?"

"Pertama, kita udah kenalan. Kamu tau nama aku, aku tau nama kamu. Kedua, it's a stupid question. Kamu kan cantik, gimana aku nggak suka?"

"Saya nggak cantik."

"Kamu mau kita mulai ronde kedua ributin masalah ini, hmm? Aku sih siap - siap aja."

"Sumpah ya. . Kamu tuh. ."

"Aku apa? Bikin kamu deg- degan ya?"

"You wish! Giliran kamu!"

"Hmm. . Mantan kamu ada berapa?"

"Buat apa kamu tanyain itu?"

"I wanna know what kind of game that I'm in right now,"

"Satu."

Tristan menatap Khalisa tak percaya, like how?

"Beneran? Cuma satu? Harusnya kamu punya seribu!"

"Ya udah kalau nggak percaya."

"Mantan kamu itu. . Yang nikah sama kamu ya?" Tanya Tristan lagi.

"One question at a time. Sekarang giliran saya."

"Oke. . Oke. . Chill. . Ya udah mau nanya apa?"

"Apa yang harus saya lakuin supaya kamu berhenti gangguin saya?"

"Nggak ada dan nggak bisa."

"I'm too old for your stupid game, Tristan."

"Ini sama sekali bukan game Kal. Aku serius."

Khalisa tersenyum miring, lalu berkata, "Si brengsek itu dulu juga bilang kaya gitu, and look what he's done to me."

"Kan aku udah bilang. . Aku bukan dia."

"Terserah kamu lah, kamu masih kecil, kamu nggak akan ngerti saya bilang apa juga."

That's it! Khalisa has pressed the button.

Tristan bangkit dari duduknya. Setelah berdiri di hadapan Khalisa, Tristan sedikit membungkukkan badannya sehingga kedua matanya sejajar dengan milik si cantik itu.

"Aku nggak ngerti bukan karena umur aku yang lebih muda dari kamu. Tapi karena kamunya emang nggak mau dingertiin Kal."

"Cih, sok tau kamu!" Khalisa masih dengan egonya.

Tristan menggelengkan kepalanya, "Mau sampai kapan kamu simpen semuanya sendirian Kal? Kamu berhak bahagia. Kalaupun bukan sama aku pasti sama yang lainnya."

"Tristan. ."

"Jangan sampe aku tau mantan suami kamu yang mana ya." Tristan sedikit memajukan kepalnya sehingga bibirnya sekarang sudah berada di dekat telinga kanan Khalisa, "Aku nggak tau apa yang bakal aku lakuin ke dia karena udah bikin kamu jadi sekeras ini."

avataravatar
Next chapter