247 Kekecewaan Ryan

Saat itu aku tidak tahu, kondisi kesehatan Aris ternyata tidak baik-baik saja. Ya, akibat luka tusukan oleh Roy saat dia menolongku di gudang waktu itu ternyata sampai mengenai organ hatinya. Gara-gara hal tersebut, organ hati Aris tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Pihak klinik sudah menghubungi Rumah Sakit tempat Aris dirawat sebelumnya, saat memeriksakan kondisi Aris ketika aku, Ryan, dan dia berada diklinik sebelumnya. Dan Aris pun telah berjanji saat itu untuk segera kembali ke Rumah Sakit dengan syarat agar dokter di klinik tersebut tidak menceritakan kondisi kesehatan yang sebenarnya itu kepada siapapun, baik itu aku maupun Ryan.

Ketika kami semua membawa Aris kembali ke klinik itu lagi, dokter yang memeriksa kondisi Aris sebelumnya..

"Loh.. Bapak Aris kenapa? Bukankah saya sudah menyuruhnya untuk kembali ke Rumah Sakit untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.. "

"Dok, tolong selamatkan dia! Lakukan tindakan apapun untuk membuatnya sadar kembali.." ucapku memohon kepada dokter itu

"Maaf Bu. Bukannya saya tidak mau menolongnya, tetapi itu diluar wewenang saya. Maksud saya untuk penangan bapak Aris harus dengan dokter spesialis yang merawatnya di Rumah Sakit sebelumnya. Lebih baik Ibu bawa pasien kesana, pasti akan langsung ditangani.."

"Dokter speialis? Memangnya dia kenapa, dok? Apa yang terjadi padanya? Tadi dia juga sempat muntah darah.." tanyaku panik tanpa henti ke dokter itu

"Bu.. Ibu harus secepatnya membawa Bapak Aris kembali ke Rumah Sakit. Kami akan membantu Ibu dengan menyiapkan ambulan dari sini.."

"Tapi dok..?"

Saat itu aku ikut dengan ambulan yang membawa Aris ke Rumah Sakit tempat dia mendapatkan perawatan sebelumnya.

"Mas Aris, apa yang sebenarnya terjadi padamu?" tanyaku dalam hati sambil menangis menatapnya

Setibanya kami disana, Aris lalu dibawa ke ruangan perawatan intensif. Aku hanya bisa menunggunya dengan cemas diluar ruangan.

Sementara ditempat lain dirumah Lucy,

"Rani, kau hubungi Ayahmu.. bilang padanya bahwa malam ini aku, kau, dan Arsy akan menginap disini. Suruh dia agar tidak perlu khawatir mengenai kondisi kita. Kita hanya akan menginap disini sampai besok.." ucap Shina menyuruh Rani

"Ah, satu lagi.. bilang padanya, dia harus segera kembali ke Rumah Sakit itu. Kalau dia menolak, maka jangan harap aku akan membiarkannya untuk bertemu dengan Arsy lagi.."

"Mi, sebenarnya.. barusan Ayah menelpon Rani. Ayah menanyakan tentang kondisi Mami tadi.."

Saat itu Shina seperti terkejut mendengar Aris mengkhawatirkannya. Kemudian,

"Apa saja yang dia tanyakan padamu?" tanyanya antusias

"Ayah menanyakan Mami sedang apa dan apakah kondisi Mami baik-baik saja.."

"Oh, iya.. Mami kenapa tidak menelpon Ayah saja sekarang dan memberitahukan mengenai kondisi Mami. Kasihan Ayah.. Ayah terlihat cemas tadi saat di telpon.."

"Haruskah aku menghubunginya sekarang?" pikir Shina menimbang

"Mi.."

"Ahh tidak, kau saja yang menghubunginya. Katakan seperti apa yang kukatakan tadi, mengerti?"

Rani pun mengangguk, kemudian dia langsung menghubungi Aris saat itu.

Sementara di kediaman Ryan

"Sudahlah Ryan.. Sudah.. Untuk apa kau menangisi orang yang tidak mencintaimu. Dia bahkan sudah tidak memiliki lagi perasaan padamu. Untuk apa kau terus menangisinya, hah?"

Mama lalu membawa Ryan kembali ke kamar dan berusaha untuk menenangkannya. Dan setelah beberapa saat,

"Ryan gak bisa diam saja seperti ini. Ryan harus nemuin Lena sekarang.."

"Tapi Ryan..? Ryan..!!"

Tidak mempedulikan perkataan Mamanya, Ryan memilih untuk pergi. Saat itu Mama lalu menyuruh orang-orangnya untuk terus mengawasi Ryan.

Saat memasuki mobilnya, Ryan lalu membuka aplikasi pelacak gps di handphonenya. Dia ingin mengetahui lokasi keberadaanku saat itu.

"Rumah Sakit.. Untuk apa Lena ke Rumah Sakit ini lagi? Apa jangan-jangan.."

Ada perasaan tidak senang mengetahui saat itu mungkin aku sedang bersama dengan Aris (untuk menemani Aris berobat di Rumah Sakit itu). Saat itu juga Ryan lalu melajukan mobilnya menuju ke Rumah Sakit tersebut.

Di Rumah Sakit

Tiba-tiba dokter keluar dari ruangan tempat Aris.

"Dok, bagaimana kondisinya?"

"Apa Ibu wali dari pasien ini?"

Saat itu aku memilih berbohong dengan menjawabnya

"Ii..Iya saya keluarganya. Bagaimana kondisi Mas Aris?"

"Bu.. terkait kondisi pasien, bisa Ibu ikut keruangan saya sebentar?"

Saat itu aku tidak tahu kalau Ryan ada disana. Dia bahkan sempat mendengar ketika aku mengakui kepada dokter tersebut kalau aku keluarganya Aris.

Ryan tidak menyangka bahwa apa yang diucapkan oleh Mamanya itu ternyata benar. Aku masih mencintai Aris. Bahkan aku juga mengakui diriku sebagai keluarganya (atau mungkin istrinya), pikir Ryan kecewa.

Ketika aku baru keluar dari ruangan dokter, aku melihat Ryan disana.

"Mas Ryan.." aku segera menghampirinya

"Mas.." ucapku menangis sambil tiba-tiba memeluknya

"Aris.. ternyata kondisi Aris begitu parah. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan? Ini semua terjadi gara-gara aku. Gara-gara Aris yang berusaha melindungiku waktu itu.."

Aku masih menangis dipelukan Ryan, tetapi Ryan hanya terdiam. Dia bahkan tidak berusaha membalas pelukanku atau merespon kata-kataku itu. Ryan hanya terdiam mematung diposisinya. Mungkin dia kecewa. Kecewa melihatku yang begitu mencemaskan Aris (masih mencintainya).

Menyadari bahwa tidak ada respon yang diberikan Ryan saat itu, aku pun kemudian melepaskan pelukanku itu padanya. Sambil berusaha menyeka air mataku,

"Mas Ryan kenapa bisa ada disini?" aku berusaha mangalihkan pembicaraan karena saat itu aku tahu.. Ryan dia tidak senang melihatku begitu mengkhawatirkan Aris.

"Seharusnya aku yang bertanya itu padamu. Dimana Shina? Kenapa harus kau yang repot-repot mengurusi Aris disini?" tanya Ryan tidak senang

"Ahh, aku bahkan tidak tahu.. sekarang kau sudah menjadi anggota keluarganya Aris atau mungkin calon istrinya.."

"Bukan seperti itu, Mas. Aku mengatakan itu untuk membuat dokter bisa menceritakan semua.." belum selesai aku mengungkapkan kata-kataku,

"Apa kau sudah menghubungi Shina? Kau sudah memberitahu Shina mengenai kondisi Aris?" tanya Ryan yang seolah tahu bahwa aku akan menjawabnya sesuai dengan rasa kekhawatirannya itu

"Ii.. Itu.. aku belum menghubunginya.."

Ryan lalu tersenyum sinis. Sesaat kemudian dia lalu berbalik dan pergi. Dengan ekspresi kecewa dan amarahnya yang berusaha dipendam, Ryan terus berjalan meninggalkanku.

"Mas Ryan.. Tunggu.."

"Mas.."

"Maafin aku Mas.." ucapku sambil memegang baju belakangnya

"Aku gak bermaksud kayak gini ke kamu. Aku hanya benar-benar mengkhawatirkan kondisi Aris tadi.."

Tiba-tiba Ryan melepaskan tanganku itu dari bajunya.

"Aku paling benci dengan orang munafik.."

"Sebaiknya kau pergi temui Aris dan ungkapkan semua perasaanmu itu padanya.."

"Lupakan mengenai masalah lamaranku, anggap itu tidak pernah terjadi.." ucap Ryan dingin dan dia pun kembali melangkahkan kakinya pergi meninggalkanku

"Aku mencintaimu Mas.."

"Bukan Aris atau siapapun.. tapi aku mencintaimu.. Aku tidak mau kalau harus kehilangan kamu lagi Mas. Kumohon Mas Ryan jangan seperti ini.."

"Aku memang tidak bisa menghilangkan Aris dari pikiranku atau Mas yang menyuruhku berhenti untuk mencemaskannya.. tapi aku gak mau kalau kamu harus pergi kayak gini.."

Ryan masih terdiam. Tidak ada respon atau balasan untuk menanggapi kata-kataku.

"Maafin aku.. Aku tahu aku egois berbuat seperti ini sama kamu.. tapi aku hanya mau keadaan kita bisa kembali seperti dulu.. Apa Mas tidak bisa melakukannya?"

Ryan masih terdiam, hingga beberapa saat kemudian, tanpa memalingkan wajahnya (tidak mau menatapku).. Ryan menjawab

"Aku tidak bisa.." dan dia pun pergi meninggalkanku.

avataravatar
Next chapter