1 Prolog

"Saya terima nikahnya Naily Ulfa putri Bapak untuk saya sendiri dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan sejumlah uang dibayar tunai!" Ucapku sekali nafas dengan terburu-buru.

"Bagaimana para hadirin, apakah sah?!" Tanya Penghulu.

"Sah!" Ucap mereka.

"Alhamdulillah..!" Sahut penghulu

Sederet doa dibacakan.

Aku yang saat itu merasa gembira tiba-tiba berubah drastis menjadi sedih. Entah apa yang membuat sedih saat itu. Keduanya bercampur tak karuan.

",--Gubrak.!"Layaknya suatu benda dipukul. Entah Suara itu berasal darimana.

Terbangun dari mimpiku yang indah dengan posisi yang masih tiduran di kasur. Hanya bisa mengedipkan mata dan memperhatikan sekeliling sebatas mata melihat. Dengan perasaan sedih dan nafas yang sedikit sesak. Memutuskan untuk tetap diam selama beberapa menit.

"Kemana perginya lantunan doa beserta sorak gembira tadi? Ah, ternyata semua itu hanya mimpi." Batinku berkata.

Dalam beberapa saat kemudian. Kenapa badanku tak bisa digerakkan, bahkan nafasku terasa berat. Hanya diam tanpa suara.

"Loh-loh! Tidak! Apa yang terjadi?" Spontan hatiku berkata tapi mulut tetap terdiam. Badan tak bisa digerakkan. Pikiran serta pandangan hanya tertuju pada langit-langit rumah yang beralur kotak membentuk garis strimin tak beraturan.

Tring-Tring-Tring..! Alarmpun HP ikut berbunyi.

Aku yang sudah bangun lebih dulu sebelum alarm itu berbunyi. Tapi tubuh masih tak bisa digerakkan. Ragu untuk mematikan alarm karena pikiran pusing dan berputar tak karuan. Seperti menegelilingi bumi dengan sekali kedipan mata.

Setelah mencoba untuk memfokuskan pikiran dan bangun secara perlahan. Na'as! Tetap tak bisa. Sistem saraf beserta otak tak mau sinkron.

"Apakah ini mimpi? Tapi, kenapa nampak begitu nyata?" Gumamku sedikit menggerutu.

Tak ingat semua yang terjadi dalam mimpi tadi. Samar dan aku ragu untuk memikirkannya. Tapi suara ini berbeda, lantunan ayat suci Al-Quran dan ucapan ijab kabul yang terdengar jelas di dalam kepala. Suara sorak riang gembira orang-orang nampaklah nyata. Bahkan suara seekor jangkrik yang lirih menjadi terdengar sangat keras. Telingaku rasanya ingin pecah, tak kuat menahan bunyinya.

Sulit untuk bernafas bahkan sampai tersedak. Bicarapun tak bisa. Hanya kedua mataku yang bergerak mencari cara untuk bangun dan mencoba meminta sebuah pertolongan. Sampai akhirnya tetap terdiam begitu saja.Terbaring lemas bagaikan daging gulung di tempatkan.

15 menit berlalu dan tak ada perubahan sama sekali.

Tetap diam tak bergerak sedikitpun.

"Sudah berapa lama aku berbaring seperti ini?" Batinku berkata. Merenung tanpa suara.

Mencoba mengangkat kedua kaki secara perlahan dan bergantian. Tetap saja tak bisa.

"Tuhan tolong, ampuni hambamu ini!" Sambil merintih untuk meminta pertolongan. Hanya bisa pasrah berdoa dan terus berdoa.

Air mata menetes dengan sendirinya, mengalir melewati kedua sisi pipiku. Dengan posisi tubuh yang masih terlentang, "Harus bagaimana selanjutnya Tuhan? Aku tak peduli bagaimana caranya agar bisa bangun sekarang juga." Diriku emosi sampai memaksakan untuk bergerak dan menggigit lidah dengan keras. "Arhg! Siapapun tolong!"

Akhirnya berhasil dan aku bisa berbicara lagi.

Tiba-tiba posisi berubah menjadi duduk menghadap jendela kamar yang masih tertutup gorden warna hijau pekat bermotifkan bunga melati. Tanpa tersadar

Ibu masuk dengan membawa pisau di tangan kanannya sambil menatap tajam lalu berkata, "Kamu kenapa nak? Apa yang sedang kamu mimpikan?" Tanya Ia heran.

"Bangkek!" Batinku berkata. Kagetnya bukan main, jelas-jelas Ibu membawa pisau.

Kemudian dibuangnya pisau itu entah kemana kemudian merangkulku dengan penuh kasih sayang.

Lambat laun aku merasa sedikit lebih tenang.

Nyaman sekali rasanya di dekat Ibu. "Ibu..! Fauzi boleh curhat? Aku memimpikan saat di mana anakmu ini menikah dengan sesorang gadis tak tahu dia itu siapa. Dalam mimpi itu, tepat dihari pernikahan ada suatu kejadian yang tak mengenakan. Hiks-hiks-hiks!" Sedikit malu dan nafas tersedu.

"Woalah lee! Masih kecil sudah mikir nikah! Ibu mu lo belum bisa kamu bahagiakan." Ia mencoba menghibur.

Hanya bisa terdiam dan merasakan kedua tangannya menyentuh dahiku. Terasa sekali tangannya yang melepuh, menjadi keras dan kasar.

Betapa hebatnya jadi seorang ibu untuk anaknya dan seperti apa beratnya usaha yang Ia lakukan untukku selama ini? Tak sebanding dengan apa yang aku lakukan untuknya.

Sang Malaikat tanpa sayap yang selalu ada untukku.

"Untuk semua yang menjadikan aku atau harapanku untuk menjadi sesuatu. Aku berhutang kepada ibu malaikatku" Abraham Lincoln.

Perasaan mulai tenang dan mencoba bercerita kepada ibu tentang semua yang terjadi, "Semalam mimpi itu seperti nyata. Aku berada disana ibu. Kalian semua menjadi saksi atas pernikahanku. Tapi apa yang terjadi? Tiba-tiba ada orang yang mengganggu acara tersebut. Aku marah dan tak terima. Perasaan itu sampai terbawa saat ini. Hatiku rasanya sesak dan resah ibu,--"

Ibu memotong dan menanggapinya dengan sangat santai, "Memang sudah waktunya untukmu dewasa le. Tapi jangan kamu pikirkan terus. Nanti bisa membuatmu stres, selanjutnya apa yang terjadi? Kerja dan kuliah kacau!" Ucapnya serius dan kedua tangannya sambil memegang kepalaku.

Dengan lirih aku membalas, "Ibu, saat ini aku sedang dekat dengan seorang wanita. Dia itu persis sepertimu. Baik, cantik dan pintar. Tetapi kenapa saat dimimpi wanita yang aku nikahi bukanlah dia dan sama sekali tak tahu wajah dari wanita yang duduk bersamaku di pelaminan. Aku menjadi ragu ketika suatu saat nanti menikah dengan wanita yang sekarang dekat denganku. Apakah memang jodoh atau bukan? Aku tak ingin lagi kehilangan seperti sebelumnya." Sambil kutatap wajahnya dengan melas.

"Boleh ibu tau seperti apa dia? Coba suruh ke sini." Senyum manis dan merayu.

"Seperti....," Jawabku ragu.

"Sudahlah cepat bangun! Bereskan tempat tidurmu yang bau ompol itu!" Canda beliau dan keluar dari kamar. Ibu langsung memotong perkataanku.

"Aku sudah besar ibu. Tak mungkin aku ngompol!" Bergegas lakukan semua yang diperintahnya.

"Sholat dulu le. Sebentar lagi matahari terbit. Utamakan akhirat daripada dunia tipu-tipu ini." Ucap Ibu meneruskan.

"Iya Ibu. Doakan juga anakmu ini menjadi orang yang sukses. Berguna bagi bangsa dan negara. Satu lagi, aku sayang padamu ibu." Aku tersenyum dan sedikit menahan air mata.

Wanita yang aku ceritakan kepada Ibu adalah seseorang yang tak pernah peduli dengan semua kekurangan yang ku miliki. Bahkan ia bersikeras untuk selalu memberi semangat di saat hati mulai ragu dan ingin menyerah. Kehadirannya selalu memberiku motivasi untuk terus bangkit. Dialah wanita kedua yang spesial setelah Ibu. Wanita yang selalu mengajariku bagaimana caranya mencintai semua makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Namun apa daya! Apa yang direncanakan Tuhan tak pernah aku mengerti. Entah dipersatukan atau dipisahkan semuanya masih menjadi sebuah misteri. Manusia hanya bisa berencana tapi tidak bisa memastikan hal itu.

Di mana kami bertemu? Entah.

Waktu itu kalau tidak salah di sebuah tempat dan kami akrab lewat permainan game online. Setelah itu kami memutuskan saling bertukar informasi, mulai dari Whatsapp, Instagram, Facebook dan sosial media lainnya. Akhirnya kami memutuskan untuk bertemu di tempat yang sudah kami sepakati.

Apakah fauzi akan menemukan jodohnya?

avataravatar
Next chapter