9 Part 1. 8. Pergi

Haripun berganti dan jam dinding kamar sudah menunjukkan pukul 06.10 WIB. Saat itulah diriku terbangun tanpa melihat sisi kamar dan langsung menuju luar. Aku kira masih di rumah Kakung dengan suasana yang berbeda dan tanpa menengok sekitar, kenapa tamppilannya berbeda dari biasanya.

Tanpa pikir panjang Aku berlari keluar dan berkata, "Ibuk! Dimana?" Suasana nampak berbeda dari hari biasanya. Betapa kagetnya aku. Tangga yang biasa kulewati tiba-tiba menghilang dan berubah menjadi rata keramik dengan warna putih.

"Kemana tangganya? Dan ini dimana? Ibu-ibu-ibu!" Teriakku. Aku kebingungan sambil terus memanggil nama Ibu.

Dari hadapanku muncul seorang wanita dengan pakaian tidurnya.

"Kamu siapa?" Tanyaku.

"Walah dek, kamu belum tau mbak to?" Jawabnya sambil tersenyum.

"Loh mba? Mba siapa sih? Kok berada disini?" Akupun kebingungan setengah mati.

"Aku ini anaknya bude. Kamu sekarang ada dirumah bude. Kamu ngigo ya?" Ia bertanya dan menuju kearahku seakan ingin memegang.

"Ayah! Ayahku di mana?" Sambil menahan tangis dengan nafas tersedu. Bagian dada rasanya sangat sakit. Sesak seperti tertekan sesuatu di bagian dada kiri.

"Tenang dulu. Ayahmu baru keluar. Dia lagi di rumah paklik sekarang."

"Sungguh?" Harapku

"Iya beneran. Sekarang kamu cuci muka dan makan ya! Itu udah bude siapkan tadi. Mbak sekarang mau mandi dan berangkat sekolah. Kamu makan aja sendiri ya?"

"Memang pada kemana?"

"Ya bude dan pakde udah berangkat kerja. Mas ifin sudah berangkat barusan. Tinggal mba yang di rumah. Namamu siapa dek?" Diapun bergegas mengambil handuk dan menuju ke kamar mandi.

"Fauzi mba." Jawabku singkat dan menuju keran air terdekat.

Aku yang selesai cuci muka lanjut menuju meja makan untuk mengambil beberapa menu yan sudah disediakan. Betapa terkejutnya aku. Berbeda sekali saat berada di rumah kakung. Apa yang ada di sini sangat banyak. Oh aku inga! Kalau di rumah kakung kami selalu makan di tempat yang berbeda. Hanya ada aku, ayah dan ibu. Keluargaku dan Kakung memang selalu berpisah walau dalam satu rumah yang sama.

"Makan yang banyak ya dek! Mba udah selesai mandi dan langsung sekolah. Jangan nangis kalau dirumah sendiri ya? Kalau ingin sesuatu tinggal ambil aja yang ada dan jangan keluar rumah sembarangan." Ia keluar dari kamar paling belakang dan menuju kearahku yang sedang duduk menikmati sesuap nasi.

"Mba mau kemana? Ngga mau kalau aku sendiri di rumah." Aku turun dari kursi dan berlari kearahnya dengan memegang tangannya secara paksa dan menyeretnya agar tak pergi dari rumah.

"Adeeek! Lepaskan tangan mba sekarang! Mba tuh mau sekolah, takut telat ini."

"Ngga mau. Hue-hue.—" Tiba-tiba dari depan terdengar suara.

"Assalamualaikum!" Ternyata itu Ayah yang pulang dari tempat Paklik.

"Nah itu Ayahmu. Dia udah pulang," jelasnya.

"Beneran? Ayah--.!" Teriakku sambil berlari menuju depan. Kemudian Mba Mery datang dari belakang dan menyapa Ayah.

"Waalaikumsalam paklik. Merry kira masih nanti pulangnya. Nih fauzi nangis dari tadi." Ejeknya padaku.

"Bohong! Aku ngga nangis kok." Aku mencoba membela diri sambil memeluk Ayah dari belakang.

"Terimakasih ya. Udah mau berangkat sekolah?" Tanya Ayah.

"Iya paklik. Merry berangkat dulu. Asslamualaikum." Ia pergi meninggalkan kami dengan membawa tas pada punggungnya.

"Waalaikumsalam." Jawab Ayah singkat.

Kamipun masuk kedalam dan berlanjut berbincang dalam masalah sekolah yang akan Aku masuki kali ini. Duduklah kami di meja makan semula tempatku menyantap makanan tadi.

"Yah kenapa aku harus sekolah di sini sih?" Heranku bertanya sambi kembali memakan nasi yang belum sempat kuhabiskan tadi.

"Kemarin bude sudah bilangkan sama kamu. Ayah ngga mau kalau kamu TK di sana. Ayah tidak mau kalau nantinya kamu tidak ada yang memperhatikan. Lebih baik kamu bersama bude dan bersekolah dengan sebaik-baiknya di sini. Ayah akan mengunjungimu sesekali kalau ada waktu senggang. Paham?!" Ayah menatapku dengan serius.

"Tapi ayah kemarin sudah janji akan tetap di sini dan kenapa sekarang seolah ingin meninggalkanku? Ayah jahat! Fauzi ngga mau sekolah disini titik." Marahku sambil berlari menuju kamar dengan keadaan menangis tersedu.

"Le tunggu dengarkan kalau ayah sedang bicara. Le mau kemana?" Tangannya serasa ingin menggapaiku tapi tak sampai.

Pada tempat yang berbeda atau lebih tepatnya aku sudah berada di dalam kamar,"Hiks-hiks-. Ayah jahat, katanya akan menemani sampai selesai TK. Tapi sekarang seolah mau meninggalkanku disini begitu saja.

"Le dengerin dulu to kalau ayah lagi bicara." Teriaknya dari balik pintu kamar yang telah aku kunci dari dalam.

Aku hanya terdiam dan seketika itu juga aku tertidur.

"Uh—jam berapa ini? Sepertinya aku habis menangis tadi." Ucapku dengan kepala yang sedikit pusing. Kuputuskan untuk bangun dari tempat tidur dan langsung membuka pintu kamar yang telah terkunci dari dalam. Melihat jam dinding yang sudah menunjukan pukul 13.00 WIB. Seketika itu aku terkejut karena sudah sangat lama aku tertidur.

"Udah bangun?" Sahut Ayah dari ruang Tv. Aku terkejut dan tak melihatnya sama sekali kalau ia ada di sana.

"Hmm! Aku mau makan. Lapar." Jawabku sinis tanpa ada expresi sedikitpun padanya.

"Ya sana. Menunya masih seperti tadi pagi." Ayahpun melanjutkan meninton TV sambil memikirkan sesuatu dipikirannya.

Perlahan Aku berjalan menuju dapur dan membuka tudung makan yang terdapat pada meja makan dan kulihat masih seperti awal saat aku tinggalkan. Ternyata belum ada yang berubah sama sekali.

Tak terasa hari sudah mulai gelap dan waktunya untuk tertidur. Setelah apa yang terjadi pagi tadi akhirnya Ayah tidur di ruang tamu yang mana sofa menjadi kasurnya.

Tring-tring-tring!

Sebuah arloji besar berbunyi sangat keras. Aku kaget, kenapa suaranya begitu bising yang mana kemarin sama sekali tak terdengar olehku. Kulihat jam itu berbunyi karena menunjukkan pukul 06.00 WIB. Aku mencari Ayah dimanapun tak aku temukan. Akhirnya aku tanya pada Bude.

"Bude, ayah di mana?" Tanyaku penasaran.

"Ada kok tadi di belakang. Coba kesana." Suruhnya padaku.

Aku berlari menuju kebun dan apa yang aku lihat? Tak ada orang sama sekali. Selanjutnya aku kembali pada Bude dan bertanya.

"Bude, ayah ngga ada!" Ucapku gelisah dan resah.

Ia hanya diam tanpa berkata sedikitpun. Aku berlari menuju kamar seketika itu. Benar saja! Tidak ada pakainnya sama sekali. Tas yang kemarin aku tempati sebagai bantalan waktu di bus menhilang entah kemana. Aku berlari menuju bude kembali.

"Bude ayah mana? Dia ngga ada bude..! Bude.! Hiks-hiks.. Ayah-ayah-ayah." Akupun menangis sambil menyebut nama Ayah berulang kali.

Akupun menangis sambil menyebut nama Ayah berulang kali.

Bude memelukku sambil berkata, "Ayahmu pulang ke tempat kakung subuh tadi saat kamu tertidur. Kamu di sini, bude janji akan menjaga fauzi selalu. Udah jangan nangis. Nanti bude beliin mainan sama mas ipin."Tenangnya padaku dan menuntunku menuju kamar untuk menenangkan pikiran.

Itulah momen pertamaku saat ditinggalkan hidup tanpa di samping orang tua. Awalnya sulit merelakan, tapi lama-lama kebiasan walau diumurku yang terbilang masih kecil.

avataravatar
Next chapter