6 Part 1. 5. Keadaan

Karena ada batas pengunjung untuk setiap ruangan dan hanya beberapa yang boleh masuk. Aku, Mbah Putri dan Mba Lia yang masuk terlebih dahulu sedangkan yang lain menunggu di luar. Bisa saja mereka masuk namun secara bergantian atas ijin pihak rumah sakit.

"Selamat malam Pak! Apakah ini ruangan atas nama pasien mas damar?" Tanya Mba Lia pada seorang lelaki paruh baya.

"Iya mba. Saya burhan sekaligus wali dari mas damar. Kalau boleh tau anda siapa ya?" Dengan rasa penasaran sambil melihat kearah kami yang dilanjutkan dengan bersalaman.

"Perkenalkan nama saya Lia. Ini ibu saya dan anak kecil ini adalah adik saya yang kemarin sore tertabrak oleh mas damar." Senyum Mba Lia

"Oh, Iya. Mari masuk dulu buk. Lantas bagaimana sekarang keadaannya dik. Kenapa sampai ikut kesini?" Tanya Pak Burhan dengan rasa ingin tahu lebih lanjut.

"Saya mau melihat keadaan mas damar pak."Jawabku dengan rasah takut dan bersalah.

"Adik bisa lihat sendirikan?" Jawabnya sambil mengacungkan tangannya pada seorang pasien.

"Maaf pak atas kelancangan adek saya." Terang Mba Lia.

"Iya tidak apa-apa." Tiba-tiba raut mukannya berubah.

"Untuk adik saya sendiri memang secara fisik luka yang dialaminya hanya bagian tangan dan kaki. Tidak terlalu parah. Sebentar lagi juga sembuh pak, luka lecet juga tidak terlalu parah. Tapi entah apakah tekanan psikologisnya terganggu atau tidak belum diketahui." Jawab Mba Lia sambil menoleh kearahku berdiri.

"Maaf untuk semuanya, tapi Syukurlah kalau adiknya baik-baik saja. Ohya, ada yang bisa saya bantu?" Senyum Pak Burhan.

"Kami kemari hanya ingin menjenguk mas damar. Ingin tahu bagaimana kondisi beliau saat ini." Mba Lia melirik pada pasien yang masih tak sadarkan diri.

"Mari duduk dulu buk, mba dan dek. Sampai lupa mempersilahkan duduk. Tapi hanya sebatas ini, maklum ruangannya sempit." Pak Burhan mempersilahkan kami duduk pada sisi kiri dekat pintu masuk ruangan. Kami semua duduk pada tikar yang sudah terpampang memenuhi lantai.

"Iya Pak." Jawab Mba Lia.

"Keadaannya lumayan parah dan akan memakan waktu yang lama untuk bisa pulih seperti semula. Luka pada bagian kepala sisi kanan atas kuping dan ada 12 jahitan. Ibu lihat sendiri keadaannya sekarang masih terbaring tak sadarkan diri." Pak Burhan menerangkan dengan wajah yang sedih.

"Kami datang kesini untuk menjenguk sekaligus meminta maaf kepada pihak keluarga atas apa yang kami lakukan." Mbah Putri menenangkan suasana.

"Iya buk. Namanya juga musibah, tidak pernah ada yang tahu kapan dan dimana akan terjadi. Mungkin ini teguran bagi kita agar tetap selalu hati-hati dimanapun berada."

"Untuk kasus ini mau secara hukum atau bagaimana pak kedepannya? Soalnya kemarin sempet ada polisi juga yang berada di tempat kejadian kecelakaan." Tanya Mba Lia dengan sedikit cemas.

"Nanti kita pikirkan lagi saja. Apabila pasien sudah membaik dan bisa diajak bicara. Jangan dipikir pusing mba, hanya Allah yang mengatur segalanya. Tidak apa-apa saya yang seharusnya meminta maaf kepada adik ini." Melirik kearahku.

"Baiklah kalau begitu. Bapak asli mana kalau boleh saya tahu?" Basa basi Mba Lia mencari topik agar tak canggung.

"Kami asli bengkulu dekat pesisir pantai." Pak Burhan menajwab.

"Woalah yang deket terminal tua itu ya?" Saut Mbah Putri.

"Nah itu, beberapa meter dari sana sudah masuk ke dusun kami."

"Woah gitu to. Pak burhan, sebelumnya kami sekeluarga mohon ijin untuk selalu kabari kami tentang keadaan mas damar ya!" Mba Lia memberikan sedikit uang dan bingkisan kepada pihak keluarga sebagai tanda permintaan maaf.

"Terimakasih atas doa dan pemberiannya. Kami akan selalu memberikan kabar tentangnya. Untuk masalah ini mungkin kita selesaikan secara kekeluargaan saja. Toh kalau pakai jalur hukum lebih ribet lagi masalahnya. Ini juga musibah dan jangan terlalu dipikirkan. Untuk adik, maaf ya kalau mas damar sudah membuat adik seperti ini." Beliau menjelaskan dengan menatap kearahku.

"Iya pak." Jawabku singkat karena takut apabila dimarahi.

"Kalau begitu kami pulang dulu pak. Selamat malam. Mari!" Kami pergi meninggalkan ruangan pasien dan kembali bergabung bersama yang lain di parkiran.

"Mari!" Pak Burhan menutup kembali pintu ruangan pasien setelah kami pergi.

Disepanjang Rumah Sakit. Aku tak berhenti bertanya tentang keadaannya. Dan orangnya itu yang mana tak tau.

"Mba kelanjutannya bagaimana?" tanyaku sambil berjalan melewati lorong rumah sakityang menuju tempat parkir.

"Kelanjutan apa?" Herannya.

"Itu. Orang yang nabrak aku." Tegasku.

"Hmm. Kamu lihat orang yang tiduran di kasur tadi?" Mba lia menjelaskan dengan mengingatkan aku kembali bahwa yangm terbaring itu adalah orangnya.

"Yang pakai selang banyak banget itu tadi?"

"Iya. Yang itu. Kamu lihat sendirikan? Tenang le jangan terlalu dipikirkan. Mba tadinya juga khawatir tentang keadaannya."

"Emang mba ngga khawatir sekarang?" Melirik kearahnya.

"Justru tambah khawatir le kalau tahu keadaanya saat ini!"

"Sudah-sudah ngga enak kalau membahas perihal orang sakit di perjalanan. Nanti kita selesaikan saja di rumah. Tole lain kali lebih hati-hati ya. Kalau terjadi seperti ini banyak yang direpotkan?" Mbah Putri menengahi sambil menjelaskannya padaku yang masih kurang tau akan hal yang semacam itu.

"Iya mbah. Tole akan lebih berhati-hati! Maaf sudah membuat kalian semua repot." Dengan menggandeng tangan Mba Lia sepanjang lorong Rumah Sakit.

Setibanya kami di parkiran.

"Loh udah datang to? Bu supi dan rombongan baru saja naik. Apa kalian tidak berpapaasan disana?" Tanay Mbah Kakung keheranan.

"Kung, jadinya kita nunggu mereka baru bisa balik?" Mbah Putri berkata dengan tegas.

"Hmm. Iya, maua bagaimana lagi? Kita kan satu rombongan mosok mau ditinggal." Jelas Mbah kakung.

"Lia cari makan dulu mom/yah! Mau pergi sama tole." Kami pergi meninggalkan mereka berdua di parkiran.

Letak kantin umum Rumah Sakit berada di sebelah utara masjid atau 100 meter kekanan dari tempat kami berkumpul tadi. Menu yang disajikan tidak jauh berbeda dari warung makan pinggir jalan. Yah namanya juga tempat makan darurat bukan restaurant pada umumnya.

Sesampainya dikantin.

"Tole mau makan apa?" Tanya Mba Lia sambil melihat kearahku.

"Soto ayam aja. Jangan pakai sambel." Melihat menu apa saja yang

"Minumnya?"

"Susu putih tanpa gula."

"Tidak mau nambah apa? Gorengan dan semacamnya?"

"Hmm. Boleh kalau gitu-."

"Buk Soto Ayam 2, tempe mendoan sepiring dan minumnya susu putih satu, teh anget satu ya." Belum selesai aku bicara Mba Lia udah pesen duluan. Tapi yasudah kalau gitu toh kami cuma berdua. Tapi kok satu piring mendoan?

"Oke. Sama apalagi neng?" Tanya ibu penjual kantin.

"Mba kok pesenya banyak amat sih?" Heranku.

"Halah kamu di rumah biasanya gimana? Satu bungkus mie aja kamu kurang." Ejeknya kepadaku.

"Mbaa... Itukan di rumah. Ah.." Merasa malu dan salah tingkah.

"Haha. Tole-tole. Kamu yang habisin nanti ya?" Suruhnya dengan mengambil pesanan. Kami duduk dan mencari meja yang sekiranya kosong.

"Ngga ah. Aku masih kenyang."

"Cie ngambek cie. Iya deh, mba minta maaf. Tapi habisin ya?" Rayunya sambil mengusap kepalaku.

"Iya.. iya." Kamipun duduk di tengah kerumunan para pembeli. Sambil menunggu rombongan yang lain.

Kamipun berbincang-bincang tanpa henti. Tak terasa waktu sudah berada pada angka 9 atau pukul 21.10 WIB. Kami memutuskan untuk kembali bersama Mbah kakung dan Putri diparkiran supaya mudah dalam memantau.

avataravatar
Next chapter