14 Part 1. 13. Aku Salah?

"Nai..! Kamu ngga capek apa foto terus?" Keluhku dengan mengubah posisi tas yang semula di punggung menjadi depan dada.

"Uzi..ku! Kapan lagi bisa puas-puasin gini. Toh besok harus sibuk nugas akhir kuliah juga. Masih banyak yang aku perbaiki juga." Jelasnya menenangkan.

"Kita udah setengah jam lo di sini. Maksudnya kenapa ngga mau pindah ke tempat tujuan kita?" Melirik sinis menghadapnya.

"Bentar lagi ya? Fotoin aku kayak gini dong, biar candid gitu. Sekali lagi aja please!" Rayu Naily menatap melas ke arahku berdiri.

"Iya-iya! Sini aku fotoin dan posisi kamu mau di mana? Apa harus deket tiang lampu biar kelihatan tinggi? Haha!" Gurauku sedikit meledek.

"Boleh! Coba ya, kalau jelek ulangi sampai gambarnya bagus!" Suruh Naily memaksa. Ia pun bergegas berjalan menempatkan posisi pada tiang lampu warna hijau yang berada tak jauh dari tempat berdiri.

"Ye..! Gambar bagus atau enggaknya tergantung fotografernya siapa..! Wkwk" Candaku sambil mendekati dan menempatkan posisi bak seorang fotografer handal.

5 menit berlalu. Entah berapa foto yang sudah ada di dalam hpnya.

"Ah lama. Mana mungkin cewek kalau foto cuma sekali. Bilangnya aja sekali ini mah sampai habis penyimpanan mana bisa berhenti." Gerutuku dengan sedikit kesal tanpa mengucap sepatah kata saat sedang fokus ngefotoin. Siapa lagi kalau bukan Naily.

"Udah yuk zi! Kita pindah tempat aja. Siapa tahu dapet spot yang bagus. Mana HP ku? Pinjam sebentar, aku mau lihat hasilnya." Ajaknya lalu mendekatiku melihat hasil dari karya tanganku.

"Bukannya istirahat dulu malah pindah tempat. Hadeh!" Sahutku mengeluh padanya.

"Yaudah kita cari yang seger-seger aja dulu." Menatap lemah ke arahku .

"Lihat kamu aja udah seger kok. Hehe!" Mata sipit dan bibir melebar, itu yang aku rasakan saat mentertawakannya.

"Apasih! Ngga jelas banget kamu, hummbh." Ia sedikit malu dan memalingkan badan dari pandanganku. Wajahnya yang memerah nampak jelas kulihat sambil sedikit tersenyum malu.

"Canda aja Nayli!" Balasku lalu berdiri serasa bersiap untuk melanjutkan ke tempat tujuan.

"Iya-iya, aku tahu."

Kami pun meneruskan perjalan menuju tempat tujuan sambil menikmati keramaian Jalan Malioboro. Apakah hari biasa akan seramai ini? Bergumam dalam hati dan selalu memikirkan hal lain.

Rasanya Kota Jogja sudah dipenuhi oleh bermacam-macam orang. Mungkin sebentar lagi akan menjadi kota dengan destinasi wisata dan penduduk yang sangat padat. Yogyakarta atau lebih sering disebut Jogja, mendapat berbagai macam julukan seperti Kota Pelajar, Kota Gudeg, Kota Perjuangan, Kota Pariwisata, maupun Kota Budaya.

Peran Kota Yogyakarta untuk Indonesia memang sangat besar terutama pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan, maka tidaklah berlebihan jika pemerintah pusat memberi status khusus sebagai Daerah Istimewa.

Yah, mau bagaimana juga Jogja tidak ada habisnya untuk soal romantisme. Banyak kenangan yang sulit terlupakan walau hanya sekejap saja menyempatkan diri ke Jogja walau hanya sekedar berwisata maupun berkunjung.

"Nay-li..!" Panggilku menggoda.

"Kenapa zi, mau ngegombal lagi kamu?" Balasnya sambil melihat kearahku yang bingung.

"Ngga kok hehe." Senyum palsu keluar dari diriku.

"Kirain ada apa. Heh! Jadi beli yang seger-seger nggak?" Memegang tangan sambil menyeretku untuk berjalan mengikuti dirinya kepada seorang penjual es cincau yang sedang menunggu pembeli di sudut jalan pojok toko bertuliskan "Es Cincau Seger 5000-an" yang berwarna hijau beroda empat. Mau tak mau harus menuruti keinginannya itu.

"Pelan-pelan nanti jatuh lo kamu." Suruhku menasehati.

"Iya zii..! Pegangin ini sebentar dung aku mau ambil sesuatu dari tas.

"Mana sini aku pegangin."

"Tapi bo'ong." Ia berlari mendahuluiku menuju Si penjual es cincau.

"Aiish! Nih orang cuma membohongiku ternyata. Awas kamu ya!" Teriakku padanya dan tak memperdulikan orang-orang di sekitar.

Tibalah kami berdua memesan 2 buah es cincau dan duduk bersebelahan dengan gerobak tersebut. Untuk ukuran gelasnya mungkin tidak terlalu besar dan juga kecil yang pasti cukuplah meredakan rasa haus yang mebandel.

"Enak ngga zi esnya?" Bisik Naily di telingaku tiba-tiba.

"Eh aku kira kamu lagi ngapain. Enak kok, untuk seukuran tempat wisata, hehe." Aku salting dan entah apa yang sedang aku pikirkan tadi.

"Jangan mikir yang aneh-aneh. Siapa juga yang mau cium kamu. Hehmm!" Jawabnya malu.

"Lah! Aku ngga bilang lo. Ya siapa coba, yang tiba-tiba berbisik di telinga pada jarak yang sedekat ini." Jelasku dengan sedikit kesal.

"Cie marah nih? Besok ada saatnya yah." Ia kembali menikmati es cincau yang berada di tangan kiri dan tangan kanan memegang sendok.

"Ngga tuh biasa aja. Ah apaan kamu." Menundukkan kepala sambil membayangkan suatu apa yang Naily katakan.

Beberapa menit telah berlalu. Setiap menit itu kami hanya diam tanpa berkata satu sama lain. Hanya menikmati segelas es cincau yang hampir habis..

"Zi mau pesen lagi ngga? Aku jadi betah nih di sini. Haha!" Naily ngeledek sambil melihatku yang menghabiskan sisa es pada gelas kaca.

"Mau dibungkus?" Tanyaku kembali.

"Esnya?" Singkatnya dengan serius.

"Bukan, kamu yang aku bungkus pakai plastik si abang." Jawabku kesal dan kembali minum, padahal sudah habis dari tadi.

"Kenapa lo kamu?" Suaranya yang kebingungan tak mengerti maksud dan tujuanku

"Mau dibungkus ngga esnya?" Serius

"Engga deh." Naily berdiri dan membayar 2 buah es pada si Abang Cincau.

"Yaudah kita lanjut lagi aja ya? Takut kepanasan. Eh, maksudku takut kalau panas nanti tidak baik untuk kesehatan banyak polusi." Blibet berbicara padanya.

"Halah bilang aja ngga mau panas-panasan. Berapa bang semuanya?" Membalas diriku dan melanjutkan obrolan kepada Si Abang Cincau.

"10 ribu kak. Mau tambah lagi tidak?" Seru marketing Si Abang Cincau.

"Tidak usah bang. Cukup itu aja." Naily mengulurkan uang rupiah 10-ribuan berwarna ungu tua kepada Si Abng.

"Terima kasih neng." Balas Si Abang meneruskan.

"Mari bang!" Ucapku dan melewati Si Abang dan beberapa pelanggan yang berada di sana.

"Ya monggo." Si Abang mepersilahkan dan menuju kursi kami untuk mengambil gelas kotor.

Berjalan dengan santai dan nyaman. Sekiranya tujuan sudah berada di depan, "Kita mau ngapaian Nai sampai sini?" Tanyaku kebingungan dan melihat kearahnya serius.

"Ya duduk aja di sini sambil melihat para pejalan kaki dan motor yang sedang melintas." Apa yang Ia jawab serasa pasrah dan juga lelah.

"Kamu kayake capek banget, kenapa? Padahal tadi semangat sekali pas beli es cincau." Hiburku singkat.

"Entah kenapa aku tiba-tiba jadi kepikiran orang rumah." Ia menjelaskan sambil berjalan menundukkan kepala.

"Kamu tunggu di sini dulu, kita pulang aja gimana? Toh udah sedikit lega sampai tempat tujuan. Gimana kalau aku ambil motor dan bawa ke sini aja" Aku pun meminta untuk mengambil sepeda motor yang berada di parkiran paling ujung Jl Malioboro.

"Iya udah aku tunggu di sini saja ya? Toh aku capek banget dan sedikit pusing habis minum es tadi.

"Iya tunggu." Berjalan dengan sangat cepat dan juga terburu-buru. Merasa bersalah, karena memintanya untuk membelikanku sebuah minuman.

avataravatar
Next chapter