13 Part 1. 12. Pertanda

Dengan menahan rasa malu karena terlalu percaya diri atas tindakan yang aku lakukan dan bermaksud kembali menuju tempat di mana Naily berada. Aku melihat dari jarak yang mungkin agak jauh, Ia seolah sedang memandangiku yang berjalan tertatih dan tak memperhatikan jalan.

Setelah aku tahu bahwa dirinya memperhatikan dan entah pandanganku mengarah ke mana. Yang jelas aku tahu bahwa Naily berada di sana dan berdiri dengan membawa tas pada tangan kiri.

Naily hanya terdiam tanpa berkata bahkan tak memanggilku sama sekali. Namun perasaanku mengatakan bahwa ia marah dan aku tak bisa melakukan apapun untuk membela diri. Mencoba mendekati dan memaksa mulut ini agar tersenyum dengan terpaksa.

"Kenapa dengan wajahmu?" Tanya Naily seolah mengintrogasi dirku mencoba untuk tersenyum memaksa sambil menundukkan kepala.

"Tidak apa-apa. Memang kenapa dengan wajahku?" Aku kembali bertanya dan seolah tak mengerti atas apa yang ia katakan lebih tepatnya menghindari amukannya.

"Maksudku kenapa kok senyum-senyum sendiri dan berjalan sambil menundukkan kepala. Lalu tentang bahan yang aku cari apakah sudah ketemu?" Dengan tersenyum seolah sedang mengejekku.

"Itu dia yang jadi masalah. Untuk barangnya ada sih kata si ibu. Tapi bahan yang kamu cari itu warna apa yang kamu butuhkan. Si ibu itu bilang ada kok di sana. Coba ayo kita kesana lagi!" Ajakku sembari memeggang tanggannya.

"Lepaskan tanganku fauzi! Sakit kalau kamu tarik kayak gini." Ia marah dan melepaskan tangannya dari genggamanku.

"Maaf! Aku tak sengaja dan spontan saja ingin memgang tanganmu. Terlalu keras ya aku menariknya?" Merasa bersalah dan mencoba meminta maaf menatap wajahnya.

"Emang kamu yakin bahan yang aku cari ada di sana?" Ia ragu dengan menatapku tak percaya.

"Kalau aku ingat apa yang kamu katakan dan si ibu itu bilang harusnya ada. Yang jadi masalah aku tak tahu warna yang dibutuhkan." Jelasku meyakinkan dirinya agar mau ke sana lagi.

"Yaudah kita kesana dulu. Kalau ibu itu bilang pada kita kalau mau beli yang ini, aku pukul kamu ya?!" Candanya sambil tersenyum menakutkan bagiku. Kemudian Ia berjalan menuju tempat Ibu si pemilik dagangan tadi.

"Ya maaf, jangan gitulah. Atit!" Manjaku merayu.

"Udah diem, jangan mulai kamu ya!" Seolah serius menanggapinya.

"Pizss!" Tangan kuangkat dan membentuk huruf V seoalah menyatakan candaan terhadapnya.

Akhirnya aku mengajak Naily untuk pergi menemui ibu pemilik barang yang di mana sebelumya sudah bertanya padanya tadi.

"Permisi ibu, apakah ada bahan seperti ini yang berwarna kuning emas dan pink?" Tanya Naily memotong percakapan antara sang ibu kepada salah satu pembeli yang sedang menawar sesuatu saat itu.

"Iya mari silahkan. Untuk bahan ini ada kakak tetapi warnanya tinggal putih dan hijau." Sahutnya sambil melihat kearah kami berdua.

"Ah, jadi begitu ibu. Oh ya, kalau bahan untuk pembuatan kerajinan seperti pada gambar ini ada tidak ibu?" Sambil menunjukkan beberapa foto.

"Kalau ini ada kak tinggal beberapa. Coba saya carikan atau mungkin nanti bisa pesan dulu dan bisa diambil lain waktu begitu." Cara bicara dan markeing Ibu itu sangatlah bagus. Seolah kami terhipnotis dan berharap bahwa barang yang kami inginkan ada di tempat tersebut. Tidak perlu basa basi kami pun meneruskan mencari di tempat lain.

"Kalau begitu nanti kami datang lagi aja ibu. Mau jalan-jalan menikmati pagi hari kota jogja yang indah ini hehe." Ucap Naily mencoba menolak secara halus apa yang Ibu itu berikan.

"Kalian pengantin baru ya?" Si Ibu dengan spontan menanggapi.

"Bu-. Bukan!" Tanpa disengaja kami berdua merespon apa yang dikatakan Si Ibu tersebut.

"Nah, buktinya kalian jawabnya bisa barengan gitu. Pepatah mengatakan, kalau dua orang cowok-cewek yang belum menikah dan mengucapkan sesuatu bisa barengan pasti jodoh." Sambil tersenyum manja Si Ibu melihat ke arahh kami berdua secara bersamaan dengan kedau bola matanya sedikit sipit.

"Ah ibu bisa aja." Sahutku malu dan sedikiti salah tingkah atas apa yang Ibu itu katakan.

"Pepatah dari mana yang seperti itu ibu?" Naily menanggapi sambil memasukkan HP ke dalam tasnya.

Tanpa sengaja aku menatap ke arah Naily yang ternyata Ia juga sedang memperhatikanku membalas ucapan Si Ibu. Wajahnya memerah dan ada lesung pipi di samping mulut seolah membuatku berkata dia sangatlah cantik.

"Kenapa zi?" Ucap Naily tiba-tiba.

Aku kaget dan jadi salah tingkah,"Enggak apa-apa!" Berbicara dengan sedikit gelagapan.

"Kamu tadi memperhatikanku terus loh!" Ia sedikit emosi.

"Kami pergi dulu ya ibu. Nanti semisal jadi kami ambil atau pesen." Tanpa memperdulikan Naily berbicara dengan gesit aku berpamitan dan pergi begitu saja.

"Iya kak." Jawab Si Ibu singkat.

"Mari ibu. Zi...! Tunggu jangan pergi gitu aja dong!" Naily berjalan sangat cepat tanpa memperdulikan pejalan kaki lainnya dan langsung mendekatiku serasa ingin marah namun tak bisa. Raut wajah yang menandakan emosi terpancar jelas saat aku melihatnya dan menatap matanya. Kami saling menatap satu sama lain.

"Kamu kenapa?" Sahutku spontan dan kami berdua saling menatap satu sama lain. Dirinya yang memelas penuh dengan emosi atau lebih tepatnya ingin menangis tak tahan juga aku melihatnya.

"Kamu ngga pernah peka dengan apa yang aku mau!" Ucapnya dengan nada lirih. Ia membuang muka ke samping kanan menutupi pandanganku untuk melihat wajahnya.

"Naily sayang, kamu jangan begini terus dong. Aku maunya kamu tuh ketawa jangan kayak gini." Dengan nada sedikit tinggi dan aku lupa bahwa dirinya memang sangat sensitif jika nada yang keluar dari mulutku serasa memarahi.

"Hiks-, enggak kok. Udah ayo kita ke sana aja dulu dan semisal waktunya cukup nanti mampir ke tempat biasanya aku beli bahan buat tugas kerajinan kampus." Ia menahan tangis yang tanpa sadar aku mengetahui walau hanya sekilas mendengarkan sesuatu keluar dari mulutnya.

Tak tega atas semua yang terucap dari mulutku beberapa kali menahan agar tak terlalu banyak bertanya tentang semuanya, "yaudah kita cari tempat duduk dulu gimana?" Rayuku sembari menghiburnya. Banyak sebenarnya yang ingin aku tanyakan. Tetapi akan lebih tepatnya menunggu momen yang sekiranya mood atau perasaan di hatinya berubah menjadi gembira.

"Ngga usah! Tapi fotoin aku di sini dulu ya?"

"Pakai hpmu aja sini." Ucapku menyuruh mengulurkan tangan padanya.

"Nih! Poisimu di sana dan aku tetap berada di tempat."

"Oke." Jawabku singkat.

Tanpa tersadar seorang cewek yang tadinya sedih dan ingin menangis tiba-tiba berubah menjadi tertawa hanya karena ingin foto atau memang perasaan semua cewek begini ya? Setiap saat berubah dan entahlah. Sebagai seorang cowok memang harus lebih pengertian dan perlu tau saja apa yang menjadi kebiasaan cewek.

avataravatar
Next chapter