12 Part 1. 11. Keterangan? Tidak jelas!

Setelah tak menemukan apapun untuk dimakan. Akhirnya Aku kembali ke tempat Naily yang sedang terduduk sendirian di bangku besi berwarna hijau. Langkah cepat kugerakkan kaki secara bergantian kiri-kanan dan serasa ingin berlari namun malu apabila harus dilihat oleh banyak orang di sekitar ruas Jalan Malioboro.

Dari titik aku berhenti. Pada penghujung Jalan Malioboro atau lebih tepatnya 0 km. Aku mencoba menghitung waktu yang aku perlukan untuk kembali ke tempat di mana Naily sedang menungguku.

Apakah dalam memperhitungkan sesuatu aku selalu benar? Tentunya saja tidak! Beda halnya dalam urusan matematika, berhitung itu suatu yang mutlak.

Dalam hati seketika berkeinginan untuk melakukan hal yang tidak berguna. Seperti menghitung waktu seperti ini. Tak apalah, daripada harus berjalan seperti robot.

"Mulai!" Batinku berkata dan meneruskan langkah menuju utara lumayan cepat.

Tepat seperti yang diperhitungkan. Membutuhkan waktu kurang lebih sekitar 5 menit untuk sampai ke tempat awal kami berpisah. Tadi Aku menyuruh Naily untuk menunggu beberapa saat sampai aku kembali. Kulihat dari kejuahan dirinya yang masih duduk termenung sambil memperhatikan Handphone pada tangan kanannya.

Aku sengaja berjalan perlahan dan menyelinap di sela-sela kerumunan manusia berharap bisa mengagetkan Naily yang sedang fokus bermain HP. Entah tahu atau tidak bahwa diriku sudah berada tepat di sampingnya.

"Hey! Sibuk ngapain kamu?" Dengan nada mengagetkan yang sedikit keras tertuju padanya.

"Apaan coba? Aku udah tau kamu dari tadi yo, bahkan pas kamu sampai di dekat tiang lampu jalan berwarna putih dengan nyala lampu kuning yang sedikit samar." Tatapan biasa Ia tak memperdulikan kejailanku.

"Yang bener? Bohong ih kamu. Kenapa ngga kamu panggil aja aku tadi?" Sedikit kesal dan bercampur dengan rasa malu. Rasanya tak begitu menyenangkan apabila candaan kita itu garing, hambar dan apalah namanya.

"Mana ciloknya? Kok kamu kayake ngga bawa apapun?" Tanya Naily dengan memperhatikan diriku dan berharap aku membawa sesuatu untuknya.

"Ya maaf aku bingung mau beli apa. Kalau cilok kayake ngga kelihatan dari tadi. Apa kita coba kita kesana aja? Sekalian lanjutin jalan-jalan." Ajakku dengan penuh harap dan sedikit capek.

"Boleh! Tapi habis ini kita cari perlengkapan buat tugasku ya?" Ia berdiri dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan.

"Iya! Apapun yang kamu mau akan aku penuhi selagi itu hal yang wajar dan masuk diakal."

"Kayaknya kalau pagi hari kayak gini banyak orang yang suka bohong deh! Haha. Dasar tukang gombal." Ejeknya sambil tersenyum padaku.

"Lah dia malah bercanda. Aku serius dengan apa yang terucap." Tegasku membela diriku sendiri.

"Kalau serius harusnya kamu menikah atau setidaknya melamarku. Hmm!" Dengan serius Ia membalas semua perkataan yang keluar dari mulutku tadi.

Wajahku seketika itu memerah dan sedikit salah tingkah. Entah rasa sedih atau senang yang kurasakan, semua bercampur menjadi satu. Rasa senangnya muncul karenaa Ia mengharapkan suatu hal yang serius dariku. Sedangkan rasa sedihnya, aku belum memiliki cukup mental dan uang untuk memenuhi keinginnya karena alasan masih mempunyai tanggungan lain yaitu membantu orang tua dalam kehidupan sehari-hari.

Aku sudah pernah bilang bahwa diriku bukanlah orang yang berkecukupan, bahkan bisa dikatakan kurang mampu. Tapi Ia tak mempermaslahkan hal tersebut. Setelah mendengarkan ucapan dari dirinya secara langsung membuatku merasa bersalah dan tidak enak hati.

"Baik! Setidaknya beri aku waktu untuk memenuhi keinginanmu ini." Dengan tegas diriku menjawab dan sebisa mungkin untuk meyakinkan dirinya.

"Haha! Bercanda doang zi. Lagian kita ini masih kuliah dan perlu fokus juga soal pendidikan." Ia tertawa dan seolah perkataan yang terucap tadi hanya sebatas candaan.

Aku tahu bahwa itu suatu hal yang sangat serius namun Ia mencoba mengubah topik pembicaraan lain. Dari sini mulai berfikir keras atas semua yang terjadi berusaha memperhitungkan semua itu kedepannya jika Aku adalah seorang lelaki sejati.

Sedikit cemas dan malu aku berkata," Nay, aku serius akan hal yang terucap tadi. Beri waktu aku mengumpulkan uang untuk melamarmu." Ujarku serius.

"Iya aku tahu. Sudah jangan dipikirkan, kita datang kesini tuh mencari hiburan bukan membuat dirimu tertekan. Dari tadi bilang beri aku waktu, beri aku waktu. Memang kenapa dengan waktumu?" Ia berbalik tanya padaku.

"Hnng-. Ngga gitu-."

Ia seketika itu memotong berkataanku."Sudah! Jadi kesana ngga? Keburu siang ini, ayo!" Ajaknya tegas dan Ia pergi mendahuluiku yang masih berdiri mematung tanpa bisa meneruskan perkataan yang ingin aku ucapkan tadi.

"Tunggu nay," Pelan dan langsung menyusul dirinya yang tak mendengar perkataan dariku barusan.

Memberikan penjelasan adalah sebuah jawaban bagi dua insan yang memiliki suatu ikatan lebih daripada teman. Terkadang boleh saja memikirkan sesuatu yang tak masuk akal. Hati memang tak bisa dibohongi dan tak bisa berkata jujur.

"Nay! Tunggu aku dong! Maafkan aku ya?" Sambil memegang tangannya diriku merasa bersalah atas apa yang aku ucapkan tadi.

"Maaf soal apa zi? Emang kamu ada salah?" Ia justru kembali bertanya dan seolah membuang semua pembicaraan tadi.

"Yang tadi!" Ujarku sambil terengah-engah dan sedikit canggung.

"Oalah, udah lupakan aja. Aku tak mau membahas itu kali ini." Dengan berat hati ia mengatakannya dan membuang muka dariku.

Rasa bersalah tentunya tak semudah itu menghilang, namun akan lebih baiknya kujelaskan besok.

"Nay, kita mau mulai mencari bahan di mana?" Tanyaku kebingungan sambil sesekali membenarkan tas yang aku gendong.

"Kita cari dari ujung jalan sini aja yok! Kalau udah dapet sesuai harga dan kwalitas kita langsung aja ke titik 0 km, sesuai diawal tadi." Ia terfokus pada beberapa barang yang tertata rapi di ruas jalan Mall Malioboro.

"Nah itu kayake sesuai dengan apa yang sedang kamu cari. Aku coba kesana aja ya?" Diriku yang menunjukkan beberapa barang yang di sana langsung saja menghampiri tanpa menoleh ke toko sebelah.

"ZI, tunggu dulu ngapa! Jangan langsung dibeli, tanya dulu berapa harganya dan merk apa gitu!" Ia menyuruh dengan menarik tanganku namun tetap saja diriku ke sana.

Setelah menghampiri sang penjual. Aku pun lekas bertanya apakah ini sesuai dengan yang Naily cari atau tidak.

"Permisi, mau tanya." Ucapku dengan nada pelan.

"Monggo mas. Mau beli apa?" Sahut sang Ibu penjual yang sedang duduk diantara barang itu.

"Apa ibu menjual beberapa bahan seperti ini?" Tanyaku sambil menunjukkan beberapa nama yang Aku ingat tadi dari Naily.

"Oh ini! Kalau yang ini ada mas, tapi tinggal warna merah kayak gini. Emang mas e mau cari warna apa?"

"Oh iya. Sebentar ibu, saya tanyakan dulu." Sudah sempat bertanya semuanya, tapi aku tak tahu warna apa yang harus dipilih. Akhirnya aku kembali ke tempat Naily yang masih berdiri di tempat yang sama.

Dengan perasaan tak enak hati dan rasa malu yang harus aku rasakan karena terlalu PD atas sikapku tadi.

avataravatar
Next chapter