2 Part 1. 1. Kota Kelahiran Kota Pempek

(02-06-2018.)

Namaku Fauzi Adami. Anak pertama dari 2 bersaudara. Sejak kecil aku diajarkan untuk selalu menghormati orang yang lebih tua. Bukan berarti takut dengan orang yang lebih tua umurnya dariku. Hanya saja bagaimana cara menghormati dan mempunyai sopan santun terhadap mereka.

Sulit rasanya untuk anak pertama menjadi contoh bagi adiknya. Jika terjadi sesuatu padanya sebagai seorang kakak selalu saja yang pertama disalahkan. Entah, itu hal sepele atau serius. Memang itu yang sering terjadi.

Kakak adalah contoh pertama bagi adiknya. Bagaimana perilaku kakak kepada adiknya akan selalu ditiru dan dilakukan kepada orang lain.

Keluarga kami bukanlah orang terpandang. Kehidupan kami terbilang tidak berkecukupan. Aku lahir di kota dengan julukan kota pempek yang menjadi kuliner khas di sana. Tumbuh dan berkembang diberbagai kota yang penuh dengan kenangan. Aku bukan flora atau fauna. My Name Is Fauzi!

Kita mulai dari kota pempek. Tak lain tak bukan, Kota Palembang.

Kota dengan jembatan merah yang sangat panjang dan membentang luas menghubungkan kedua daratan. Jembatan itu adalah Jembatan Ampera (Amanat penderitaan rakyat). Jembatan di Kota Palembang, Provinsi Sumatra Selatan, Indonesia. Jembatan Ampera yang telah menjadi semacam lambang kota dan terletak di tengah-tengah Kota Palembang. Menghubungkan daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi.

Bisa dibilang masa kecilku selalu berpindah tempat. Mulai dari satu kota ke kota yang lain. Rasanya sangat tak menyenangkan ingin melupakanpun tak bisa. Memang tak begitu jelas mengingat satu persatu masa kecil yang pernah aku alami.

Hal ini aku dapatkan sebagian dari cerita kedua orangtua. Mereka mulai bercerita saat aku sudah nalar atau dalam bahasa indonesia mulai paham akan baik dan buruk.

Hidup mencari arti dari sebuah kehidupan adalah hal yang harus dilakukan oleh setiap manusia. Dimana setiap pandangan manusia itu berbeda. Baik dan buruknya dunia tergantung dari diri kita yang akan melakukan sesuatu.

Kembali pada tahun 1998. Jika mendengar tahun tersebut. Tak lain tak bukan adalah Krisis Moneter. Tahun 1998 seolah menjadi momen kelam bagi negara Indonesia dan rakyatnya. Di tahun tersebut Indonesia harus mengalami krisis moneter (krismon) yang kemudian berdampak ke segala bidang.

Di saat yang sama, kondisi semakin diperparah karena tuntutan para mahasiswa yang meminta Presiden Soeharto mundur dari jabatannya setelah berkuasa sebagai orang nomor satu Indonesia selama 32 tahun.

Tapi kali ini aku bukan cerita tentang krisis moneter melainkan cerita hidupku sendiri.

Flashback

(10-12-1998.)

Aku lahir pada tahun 1998 dan dimana saat itu sedang terjadinya demo mahasiswa secara besar-besaran diberbagai kota.

Saat keluargaku berada di Kota Palembang. Rumah kami berdekatan dengan Sungai Musi. Jarak bangunan rumah hanya beberapa meter dari bibir sungai. Walau ini hanya mendengar dari cerita Ayah. Coba saja saat disana usiaku sudah dewasa pasti akan sangat menyenangkan.

Saat pergantian air sungai (Pasang/Surut) warga disana memiliki salah satu cara untuk menangkap ikan. Apabila terjadinya surut, mereka akan membuat sebuah lubang yang besarnya seperti kolam. Setelah itu, saat pasang datang lubang yang tadi telah dibuat akan terlintas oleh air sungai dan beberapa ikan.

Saat pasang datang dan ikan-ikan mulai mengikuti arus. Selanutnya ikan-ikan itu otomatis akan masuk didalamnya. Warga di sana baru bisa melihat isi dari kolam setelah terjadinya surut air sungai.

Diantara ikan-ikan tersebut terdapat ikan bernilai ekonomis seperti ikan belida, ikan patin, ikan baung, ikan betutu, dan ikan semah. Bukan untuk dijual melainkan untuk konsumsi sehari-hari. Ada juga ikan gabus yang biasanya sering ditemui. Namun harganya tidak begitu mahal dari ikan lainnya, karena cara memperolehnya sangatlah mudah dan rasanya hambar.

Apabila warga dusun ingin melihat laut cukup dengan keluar rumah dan menengok sedikit kearah utara. Memang sebenarnya jarak antara rumah kami dengan pesisir pantai sangatlah jauh. Akan tetapi saat Kapal Ferry melintas suara terompetnya itu masih terdengar jelas dan masih menggema ditelinga. Serta terlihat kapal-kapal nelayan yang sedang pulang dari berburu ikan. Walau tidak begitu jelas dan samar, aku tahu itu adalah kapal para nelayan.

Rumah kami didesain layaknya sebuah panggung. Terdapat sela-sela ruangan yang ada di bawah. Biasanya tempat tersebut justru digunakan sebagai kandang ternak unggas. Saat pasang terjadi semua ternak dipindahkan samping rumah dan dikurung. Sebab itulah, jika terjadinya pasang surut air sungai bukanlah masalah bagi kami warga pesisir Sungai Musi.

Bicara soal makanan, tidaklah etis jika tidak ada pempek dengan menyebut nama Kota Palembang. Pempek atau empek-empek adalah makanan yang terbuat dari daging ikan yang digiling lembut yang dicampur tepung kanji atau tepung sagu, serta komposisi beberapa bahan lain seperti telur, bawang putih yang dihaluskan, penyedap rasa, dan garam.

Kedua orangtuaku pernah berkata. Saat aku masih bayi, aku bukanlah anak yang cengeng pada umumnya. Jadi saat orang lain menggendongku katanya aku sama sekali tidak menangis dan bahkan tertawa riang. Setiap kali orangtuaku bekerja aku selalu diasuh oleh tetangga sekitar dan saat mereka pulang baru dikembalikan.

Kadang warga di sana sering berburu hewan hutan seperti babi dan yang sekiranya merusak pekarangan serta sawah yang dikelola. Terkadang kalau salah satu dari warga dusun mendapatkan sebuah buruan yang lumayan besar, mereka akan merayakan sebuah pesta. Biasanya perayaan itu hanya sekedar kumpul bersama.

Hewan yang diburu seperti celeng atau sejenis babi hutan, ular dan apapun yang merugikan para petani. Dikarenakan warga disana mayoritas muslim maka ada dua pilihan daging yaitu ayam dan babi. Tak perlu resah dengan daging apa yang dimakan karena sudah dibedakan sebelum semuanya menyantap riang.

Ayahku berkata kalau dirinya pernah memakan daging babi hutan karena tidak tahu. Katanya rasanya enak dan bikin nafsu makan tinggi. Dan ia baru sadar setelah salah satu temannya.

"Anakmu apa tidak masalah kamu kasih daging celeng?" Terangnya.

"Loh bukanya ini daging kerbau?" Heran Ayah tak mengerti sama sekali.

"Aku kira kamu tahu kalau itu daging celeng. Makanya dari tadi aku perhatikan kamu kok tumben berani makan daging itu. Ternyata kamu ngga tahu to! Haha." Serunya sambil tertawa terpingkal-pingkal.

"Wah kampret kamu. Untung saja kamu juga memberitahuku kalau daging tersebut. Tapi rasanya enak dan bikin nagih." Jelas ayah menyelesaikan makan dan mengganti piring nasi serta lauk yang sekiranya sesuai bagi kami.

Semuanyapun kembali menyantap makanan yang telah tersaji di depan mereka. Walau perayaan yang tidak begitu besar. Namun yang dinanti adalah momen kebersamaan antar sanak saudara dan juga tetangga.

Ada tiga alasan yang membuat kami harus pindah dari Kota Palembang menuju Kota Bengkulu. Pertama, Ayah terkena sakit malaria sewaktu musim penghujan datang. Kedua, banyak sekali alat rumah tangga dan beberapa unggas sering dicuri. Terakhir, kami disuruh paman dari Ibuku untuk tinggal dirumahnya selama beberapa waktu untuk mengurusi perkebunan mereka.

Apa yang ada dipikiran mereka saat itu sama sekali tak bisa kupahami. Semua yang ada di Kota Palembang mereka jual dengan harga murah. Mulai dari rumah, hewaan ternak, kebun dan sawah. Kami tidak memiliki apapun, selain hasil penjualan aset-aset yang habis terjual.

Saat itu usiaku sekitar setahun. Memang keluargaku dulu sudah berencana untuk pergi setelah aku lahir. Alhasil, setelah setahun kami benar-benar meninggalkan Kota Palembang menuju Kota Bengkulu.

Manusia akan memiliki ingatan pertama saat mereka mulai tumbuh. Ingatan yang dimaksud adalah suatu ingatan datang saat kecil dan akan selalu teringat oleh otak sampai kapanpun.

Aku mulai mengingat apa yang pernah aku alami selama di Kota Palembang. Hanya satu yang benar-benar aku ingat dan saat itu masih berumur kurang dari setahun.

Ingatan itu adalah saat Bibi atau adik dari Ibuku sedang memberikan sesuap bubur padaku. Aku selalu bertanya, apakah ini memang ingatan atau hanya khayalanku?

Tapi saat beranjak kanak-kanak, aku selalu bertanya tentang ingatan tersebut. Ternyata benar adanya bahwa mereka selalu menitipkanku pada tetangga atau sanak saudara disana.

Sepanjang perjalanan menuju Kota Bengkulu tidaklah semudah yang kalian kira. Jalanan yang berliku-liku membuat kami sedikit merasakan goncangan. Perjalan menuju kesana membutuhkan waktu sekitar 10 jam lebih jika menggunakan bus jurusan antar kota. .

Kami berangkat Pukul 05.00 WIB atau setelah subuh dan harus berjalan menuju terminal sekitar setengah jam. Walau saja aku masih digendong oleh Ibu. Karena saat itu jalanan masih beralaskan tanah yang sedikit becek dan ternyata memang malamnya hujan.

Ada perasaan tak enak saat perjalanan berlangsung. Aku yang biasanya jarang menangis disaat siang mulai datang tiba-tiba saja menangis karena kepanasan di dalam bus.

Kata Ayah kendaraan yang melintas tidaklah banyak sebelum kita dapat keluar dan melintasi jalan antar kota. Untuk kendaraan pribadi saja masihlah sedikit yang memiliki, kalau memang bukan orang yang terpandang pasti memilih untuk naik kendaraan umum yang penuh dengan desakan dan bau yang tidak sedap.

Tibalah kami di rumah simbah atau paman dari ibuku tepat pukul 16.00 WIB. Kami dijemput menggunakan mobil Kijang Tua berwarna biru tua bersama dengan keluarga disana.

Itulah secuil kisah dariku saat berada di Kota Palembang. Dari kecil aku memang sudah pindah-pindah tempat untuk sekolah. Bukan keluargaku yang berpindah tempat, melainkan diriku seorang. Entah alasannya aku tak tahu, bahkan sampai sekarang.

avataravatar
Next chapter