webnovel

Kasih Sayang Kakak

Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang dahsyat.

'Duarrr'

Petir menggelegar dengan dahsyatnya membuat listrik seketika padam dan di sekitarku menjadi gelap total.

"Ah sial baru juga aku duduk sudah ada saja hal-hal yang menyebalkan!" Gerutu ku sebal.

Aku meraba-raba lantai karena tidak bisa melihat apa-apa saking gelapnya.

"Rui! Tolong nyalain senter nya!" Kakak tiba-tiba berteriak dari kamarnya.

"Eh, aku tidak tahu di mana senternya Kak!" Jawabku yang juga berteriak.

"Itu di dekat pintu depan sebelah kiri kan ada lemari. Nah kamu ambil senternya di laci!" Jawab kakak.

"Eh, eng... Anu kak, aku tidak bisa melihat apa-apa. Di sini sangat gelap!" Ucapku sambil terus meraba-raba lantai.

"Tunggu kakak akan ke situ!" Teriak kakak sekali lagi dari kamarnya dan setelah itu tidak ada lagi suara teriakan dari kakak.

Aku masih meraba-raba sekitarku dan berusaha mencari senter yang dimaksud kakak.

"Rui! Di mana kamu?!"

Aku kaget bukan main saat suara Kak Guin tepat di belakangku. Sontak aku langsung berdiri dan berbalik badan berusaha mundur beberapa langkah agar tidak bertabrakan dengan kakak.

"I-iya Kak Guin aku disini!" Jawabku yang masih kaget.

"Mana senternya udah ketemu belum?" Tanyanya.

"Belum kak! Aku tidak tahu di mana tempatnya?" Ujar ku sambil terus meraba-raba.

Aku tidak tahu di mana tepatnya posisi Kak Guin sekarang. Apakah dia semakin mendekati ku atau masih berada di tempatnya. Yang jelas aku terus meraba-raba ke segala arah berusaha mencari senter itu.

Saat aku sedang berusaha mencari senter tanpa sengaja tiba-tiba,

"Ketemu!" Celetuk kakak.

"Ehh?!"

Kak Guin tanpa sengaja menggenggam milikku dengan erat yang ia kira adalah senter.

"Loh tapi mana tombolnya? Dan juga kok rasanya sangat aneh?" Ucapnya.

Aku masih kaget sambil berdiri mematung.

"Rui, ini cara nyalain senter nya gimana sih kok tidak ada tombolnya?!" Tanya kakak.

Aku masih terdiam.

"Rui, kamu kok diam saja?" Tanya kakak sekali lagi.

"Em, kak. Sebenarnya yang kakak pegang itu bukan senter." Ucapku sesaat kemudian

"Eh, bukan ya? Terus apa?!"

"I-itu, sebenarnya milikku." ucapku berusaha menjelaskannya dengan selirih mungkin.

"Eh, m-maaf!" Kak Guin yang terkejut segera melepaskan genggamannya.

Suasana menjadi hening sejenak dan hanya menyisakan suara air hujan yang menetes dengan derasnya di luar sana.

"Ayo lanjut cari senternya lagi!" Ajak kakak sesaat kemudian.

"Siap kak!" celetuk ku sambil kembali melanjutkan mencari senter bersama Kak Guin.

Aku meraba-raba lemari yang dimaksud Kak Guin dan tak lama kemudian berhasil kutemukan senter tersebut.

"Eh, kak aku menemukan senternya!" celetuk ku.

"Mana sini!" jawab Kak Guin.

Aku menyalakan senter itu dan menyerahkannya pada kakak.

"Sip, sekarang tinggal cari lilin di dapur!" ucap Kak Guin.

Kami pun berjalan ke dapur untuk mencari lilin. Kak Guin berjalan di depan sementara aku menyusul di belakangnya.

"Mana kak?" tanyaku pada Kak Guin.

"Sabar, ini lagi kakak cari!" jawab kakak sembari mengobrak-abrik lemari makan mencari sebatang lilin.

"Jangan-jangan habis kak lilinnya?" tanyaku yang bosan menunggu Kak Guin mencari lilin.

"Masih ada satu sih kayaknya, kemarin Kak Guin lihat disini. Kamu daripada cuma lihatin begitu mending bantu kakak cari lilinnya!" celetuk kakak.

"Huh, baiklah." jawab ku dengan sebal.

Aku mencari di bagian lain dari lemari makan itu.

"Disini juga tidak ada Kak." ujar ku sambil masih berusaha mencari lilin itu.

"Cari yang serius lah!"

"Ish kakak ini juga sudah ku cari dengan sangat serius. Tapi memang tidak ada disini." gerutu ku yang sebal karena selalu disalahkan oleh Kak Guin.

"Ah, ketemu!" celetuk kakak sesaat kemudian.

"Udah ketemu ya kak? Dimana?" tanyaku.

"Ini disini, ternyata tertutup plastik." ujarnya.

"Fiuhh, syukur lah kalau begitu." jawabku yang telah berdiri di belakang kakak.

Kami pun berhasil menemukan lilin dan menyalakannya di kamar Kak Guin.

"Huh hujannya belum reda juga, kemungkinan bakal lama ini mati listriknya." Gerutu Kak Guin sembari merebahkan diri ke kasur.

"Tidur saja deh kak kalo gitu." Timpal ku yang juga ikut merebahkan diri ke kasur.

"Jam berapa sih memangnya sekarang?"

Kak Guin beranjak dari kasur dan mengambil handphone-nya yang ada di meja belajar.

"Baru juga jam 9 malam masa udah mau tidur?"

Meletakkan handphone-nya kembali ke meja lalu lanjut rebahan lagi di sebelahku.

"Huh bosannya, tidak ada yang menarik untuk dilakukan saat ini."

Gerutu ku sebal.

Kami berdua pun hanya bisa tiduran saja di kasur tanpa bisa melakukan kegiatan lain yang menarik hingga tiba-tiba,

'Duarrrrrr'

Lagi lagi suara petir berbunyi menggelegar, kali ini lebih keras dari yang sebelumnya. Hal itu membuatku kaget dan dengan spontan langsung memeluk Kak Guin yang ada di sebelahku.

"Kak, a-aku takut!" Teriakku di pelukannya.

"Sudah tenang saja ada kakak di sini." Balas memelukku sembari mengusap lembut rambutku.

"Maaf kak aku sangat takut hingga spontan memeluk kakak yang ada di sebelahku!" Ucap ku dengan nada yang gemetar sembari meletakkan kepala di dada kakak.

Phobia ku dari kecil memang dengan petir atau suara dentuman keras yang lainnya. Itu disebabkan karena aku memiliki pengalaman buruk dengan suara dentuman yang keras seperti itu hingga sampai sekarang pun aku masih trauma dengan hal tersebut.

"Kamu tidak perlu takut ya sayang, karena di sini ada kakak yang akan selalu melindungimu meskipun harus mengorbankan nyawa sekalipun."

Ucap kakak sembari mengelus rambutku dengan lembut.

"Kenapa kak?" Tanyaku.

"Karena kakak sayang Rui." Jawab kakak dengan suara khasnya yang menyejukkan hati.

"Makasih kak aku juga sayang kakak!"

Mataku mulai berkaca-kaca saat mendengar kalimat kakak barusan.

Aku tidak berani melawan Kak Guin jika sudah seperti itu. Karena Kak Guin adalah kakak yang baik sehingga setiap ucapan yang keluar dari mulutnya membuat hatiku bergetar dan ingin selalu mematuhinya.

"Iya sayang sama-sama. Pokoknya apapun yang terjadi kakak akan selalu disisiku." Ucap Kak Guin.

Lagi lagi perkataannya membuat hatiku bergetar dan ingin menangis karena menyesal pernah melawannya dulu sementara Kak Guin telah menganggapku seperti aku ini benar-benar adik kandungnya sendiri.

"Hwaaaa, Kak Guin maafkan aku jika pernah membuat hati kakak terluka karena sikapku!" Tiba-tiba saja aku menangis dengan sangat keras.

"Cup cup jangan nangis Rui. Kakak sudah memaafkan semua kesalahanmu kok bahkan sebelum kamu meminta maaf." Ujarnya sambil mencubit pipiku dengan gemas.

"Hwaaaaaa,, kak Guinnnn!" Tangisanku semakin menjadi-jadi.

"Dih malah tambah keras nangis nya, hihi."

Lagi-lagi kakak menjawab sambil mengelus-ngelus kepala ku dengan penuh kasih sayang. Ujung-ujungnya aku pun menangis dalam pelukannya dan akhirnya tertidur lelap.

Next chapter