29 Cahaya Yang Lenyap

Besoknya Kakak jatuh demam setelah aku menyadari jika seluruh tubuhnya sudah sangat panas saat kami terbangun dari tidur.

"Ayo, Kak kita ke dokter saja!"

"Tidak usah, Rui."

"Tapi tubuh Kakak sangat panas."

"Tidak apa-apa, Kakak cuma terkena demam biasa. Nanti juga sembuh dengan sendirinya."

"Huh, baiklah. Aku ambilkan kompres dahulu."

Aku bergegas menuju dapur untuk mengambil handuk mini dan sebaskom air hangat.

"Bagaimana, Kak. Apa sudah merasa lebih enak?" tanyaku setelah memberinya kompres di dahi.

"Iya, Rui. Kakak sudah merasa lebih baik sekarang." jawab Kakak dengan suara yang sangat lemah.

"Hmm, kenapa Kakak bisa demam? Padahal semalam Kakak terlihat baik-baik saja."

"Penyakit itu bisa datang kapan saja, Rui. Bahkan kamu yang hari ini sehat besoknya mati juga bisa saja, dan itu sudah banyak kejadiannya." terang Kakak.

"Tapi, aku tidak pernah menyangka jika Kakak yang harus jatuh sakit seperti ini." Air mataku menetes disamping Kakak yang terbaring lemas.

"Jangan cemas, Sayang. Harusnya kamu beryukur karena Kakak cuma sakit, bukan meninggal." Kakak mencoba mengusap pipiku yang lembab.

"Tetap saja aku merasa cemas saat Kakak sakit seperti ini." Menggenggam tangan Kakak yang mengusap pipiku.

"Tak perlu khawatir, besok juga Kakak sembuh, hihi." tutur Kakak mencoba menghiburku.

"Hmm, baiklah, Kak."

"Ya sudah sana kamu mandi dan bersiap-siap untuk berangkat sekolah!"

"Hari ini aku ingin menjaga Kakak hingga sembuh." jawabku cepat

"Tidak perlu, Rui. Kakak bisa menjaga diri sendiri."

"Tidak, Kak. Pokoknya aku tidak ingin berangkat sekolah hari ini!"

"Hmm, ya sudah deh terserah kamu."

"Kalau gitu aku ke dapur dulu untuk membuatkan sarapan."

Kakak mengangguk pelan sambil tersenyum kecil. "Iya, Sayang."

Aku segera bergegas menuju dapur untuk membuatkan Kakak sarapan.

30 menit kemudian sarapan sudah siap. Aku membuatkan bubur dengan telur mata sapi diatasnya. Khusus untuk Kakak yang sedang sakit.

"Yuk, Kak bangun. Sarapannya sudah siap." ucapku saat berada disamping Kakak yang masih terbaring lemas.

"Kakak lemas sekali, Rui. Tidak mampu untuk berdiri." jawab Kakak dengan lirih.

"Kalau begitu aku bawa saja ya makanannya kesini." Mengambil sepiring bubur di meja makan dan membawanya ke kamar Kakak.

"Yuk, Kak. Aku suapin." Menyodorkan sendok ke mulut Kakak.

Kakak membuka mulutnya dan menelan sesendok bubur dariku.

"Lekas sembuhlah, Kak. Aku sedih jika Kakak sakit seperti ini." batinku.

***

Lima hari sudah berlalu, namun Kakak tidak kunjung sembuh juga. Aku yang tidak mampu berbuat banyak hanya bisa berharap Kakak segera sembuh.

"Kak, kita ke dokter saja yuk! Sakit Kakak semakin parah, loh!" ucapku yang cemas dengan kondisi Kakak saat ini.

"Tidak usah, Rui. Besok juga Kakak sembuh."

"Tidak, Kak! Dari kemarin Kakak selalu bicara jika besok akan sembuh. Tapi buktinya sudah lima hari Kakak tidak kunjung sembuh!" tuturku tegas. "Pokoknya hari ini Kakak harus periksa ke dokter! Aku akan menghubungi Kak Mira untuk meminta bantuan." lanjutku.

Kakak hanya menatapku nanar tanpa ekspresi sedikit pun. Wajahnya terlihat sangat pucat sekali.

Aku mengambil ponsel Kakak untuk menghubungi Kak Mira.

"Halo? Ada apa, Guin?" jawab Kak Mira dari balik telepon.

"Halo, Kak. Ini aku, Rui."

"Oh, ada apa, Rui?"

"Kak Guin sedang sakit, Kak. Bisakah Kak Mira kesini?"

"Hah? Sakit?! Sejak kapan?"

"Sudah lima hari ini."

"Astaga! Mengapa kamu baru memberitahu sekarang, bodoh!"

"Maaf, Kak. Pokoknya segeralah kesini. Kondisi Kak Guin sudah sangat lemah!"

"Baiklah, Kakak akan segera kesana!"

TUT!

Telepon ditutup.

"Tunggu ya, Kak. Kak Mira sedang dalam perjalanan kesini." ucapku pada Kak Guin setelah meletakkan ponsel di meja belajarnya.

Kakak hanya mengangguk pelan tanpa bicara sedikit pun.

Lima belas menit menunggu, akhirnya tiba juga Kak Mira dirumah kami. Aku segera berlari ke depan untuk membukakan pintu.

CKLEK!

"Mana, Guin?!" tanya Kak Mira cepat setelah pintu kubuka.

"Eh, dia ada di kamarnya." jawabku.

Setelah mendengar jawabanku, Kak Mira segera berlari menuju kamar Kak Guin. Aku menutup pintu dan segera menyusulnya ke kamar Kakak.

"Ya ampun, Guin. Bikin cemas saja, sebenarnya kamu sakit apa sih?" tanya Kak Mira pada Kak Guin yang terbaring lemah dengan wajah pucatnya.

"Hanya demam biasa, Mira." jawab Kak Guin dengan suara yang hampir tidak kudengar.

Kak Mira menggeleng. "Tidak mungkin hanya demam biasa! Pasti kamu terkena malaria atau penyakit yang lainnya!"

"Percayalah, Mira. Aku hanya terkena demam biasa dan besok pasti juga sembuh, kok." tutur Kak Guin.

"Kakak selalu berkata seperti itu setiap harinya. Padahal kenyataannya sudah lima hari dia tidak kunjung sembuh juga." sahutku menimpali.

"Ya sudah kalau begitu kita periksa saja, yuk!" Kak Mira mencoba membujuk Kak Guin untuk periksa ke dokter.

Kak Guin menggeleng pelan. "Tidak. Aku tidak mau periksa."

"Guin, kamu harus memeriksakan diri ke rumah sakit atau sakitmu akan semakin parah! Kamu tidak kasihan pada adikmu yang kerepotan merawatmu siang dan malam tanpa tidur?!" hardik Kak Mira.

"Eh, tapi aku tidur kok, Kak." sahutku.

Sontak Kak Mira menoleh kearahku dengan tatapannya yang tajam.

"Eh, m-maaf." Aku menunduk.

Kak Mira kembali menoleh ke arah Kak Guin. Berusaha membujuknya lagi.

"Ayo, Guin! Kamu harus periksa ke dokter. Kami akan mengantarmu!" Kak Mira berusaha membangunkan Kak Guin dengan paksa.

"Ahh, perutku!" Tiba-tiba saja Kak Guin mengerang kesakitan pada perutnya.

"Eh, Guin! Maaf aku tidak sengaja!" Kak Mira tampak panik. Dia menidurkan Kak Guin kembali dengan pelan.

"Ahh, perutku sakit!" Kakak terus mengerang kesakitan.

Kami berdua semakin panik saat Kak Guin merasakan sakit pada perutnya.

"Rui! Panggil ambulan!" teriak Kak Mira.

"Eh, aku tidak tahu nomornya!"

"118! Cepat, Rui!!" teriak Kak Mira sekali lagi.

"Eh, baiklah, Kak!"

Aku segera mengambil ponsel Kak Guin yang berada di meja belajar, lalu segera menghubungi ambulan untuk keadaan gawat darurat.

"Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?"

"Tolong, Pak! Kakak saya mau melahirkan!"

"Baik, kami akan segera mengirimkan ambulan. Bisa diberitahukan alamat rumah Kakak anda?"

"Ah, sebentar!"

Dengan cepat kubuka isi dompet Kak Guin dan mengambil KTP-nya untuk memberitahukan alamat rumah kami.

"Baik terima kasih. Ambulan akan segera tiba dalam 15 menit. Harap menunggu dengan sabar."

Tak lama kemudian telepon segera ditutup.

"Ambulannya akan segera tiba dalam lima belas menit lagi, Kak!" jelasku pada Kak Mira.

"Lima belas menit?! Tidak bisa lebih cepat sedikit kah?!"

"Aku tidak tahu. Pihak operatornya yang berkata seperti itu!"

"Huh, baiklah! Kuharap Guin bisa bertahan selama itu!"

Sementara Kak Guin masih terus mengeluh kesakitan pada perutnya. Kak Mira mencoba membantu dengan menyuruhnya menarik nafas dalam-dalam lalu hembuskan dengan perlahan.

Lima belas menit menunggu lama, ambulan pun akhirnya tiba di depan rumah kami. Aku dan Kak Mira, dibantu seorang petugas ambulan, membawa tubuh Kak Guin yang sudah sangat lemah itu ke dalam ambulan.

"Bertahanlah, Guin. Sebentar lagi kita akan sampai dirumah sakit!" ucap Kak Mira saat kami menemani Kak Guin di dalam ambulan.

***

Sesampainya di rumah sakit Kakak segera dibawa masuk ke ruang UGD lalu kemudian dipindah ke ruang bersalin. Aku dan Kak Mira yang tidak diperbolehkan masuk, hanya bisa menunggu dengan gelisah sembari berharap jika Kak Guin baik-baik saja.

"Tenanglah, Rui. Kakakmu akan baik-baik saja." ujar Kak Mira mencoba menghiburku. Namun tak mengurangi sedikitpun rasa cemas dan gelisahku pada Kak Guin saat ini.

"Bagaimana aku bisa tenang saat Kak Guin hendak melahirkan saat ini!" jawabku spontan.

"Iya, Kak Mira tahu! Kakak juga cemas dengan keadaan Kakakmu  saat ini! Tapi setidaknya tenanglah dan berharap jika Guin bisa melahirkan dengan selamat! Karena tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain berharap!" bentak Kak Mira padaku.

"Huh!" Aku memalingkan wajah sebal darinya. Bisa-bisanya Kak Mira mengajakku berdebat di situasi genting seperti ini.

Tak berapa lama menunggu, tiba-tiba keluar seorang dokter bersalin menemui kami.

"Permisi, apakah kalian kerabat dari pasien bernama Aguinna Clarista?" tanya beliau.

"Betul, Dok!" jawabku cepat.

"Kalau boleh tahu, siapa suami dari beliau?" tanya dokter itu sekali lagi.

"Saya, Dok! Saya suaminya! Bagaimana dengan kondisi Kak Guin?!"

"Tenang dulu, Mas. Sebelumnya saya ingin menyampaikan kabar baik dan buruk terlebih dahulu." ujar dokter tersebut.

"Eh, kabar buruk?" sahut Kak Mira yang ikut menyimak pembicaraan.

"Kabar baiknya apa, Dokter?" tanyaku yang sudah tidak sabaran.

"Kabar baiknya, anak anda telah lahir dengan selamat dan berjenis kelamin perempuan." ucap dokter itu menjelaskan.

"Eh, perempuan?! Syukurlah!"

Hatiku berdecak senang. Mataku berbinar-binar saat mendengar kabar dari dokter tersebut. Tidak menunggu lama lagi aku segera menerobos masuk ke dalam ruang bersalin dan mendapati bayiku yang sedang digendong oleh seorang perawat.

"Anda siapa?" tanya perawat itu saat melihatku masuk.

"Saya ayah dari anak tersebut." jawabku cepat.

"Oh, kalau begitu selamat atas kelahiran anak anda." ucap perawat tersebut sembari tersenyum takzim padaku.

"Bolehkah saya menggendongnya?" tanyaku.

"Boleh, Mas. Silahkan!" perawat tersebut menyerahkan bayi itu padaku dan membiarkanku yang menggendongnya.

Aku menerima bayi tersebut dengan tangan gemetar karena rasa yang teramat bahagia. Lalu mendekati Kak Guin yang sedang tertidur di ranjang pasien.

"Kak, lihatlah anak kita telah lahir dengan selamat! Lucu sekali bentuk wajahnya. Dan kabar baiknya lagi, dia berjenin kelamin perempuan. Jadi kita bisa menamainya Alita, Kak!" ucapku disamping Kak Guin yang sedang tertidur.

"Rui."

Kak Mira menyusulku masuk ke dalam ruangan. Bersama dengan dokter tadi. Air matanya tampak menetes, mungkin karena perasaan bahagia yang sama sepertiku.

"Hei, Kak! Lihat anak pertamaku! Wajahnya lucu sekali." tuturku Pada Kak Mira yang berjalan mendekat.

"Rui, kamu yang kuat, Ya!" ujar Kak Mira yang menangis tepat di depanku.

"Eh, apa maksudnya, Kak?!" Aku masih tak mengerti apa maksud dari kalimat Kak Mira.

"Kakakmu—" Kak Mira tampak tidak mampu untuk melanjutkan kalimatnya. Air matanya semakin deras membasahi pipi.

"Kak Guin kenapa, Kak?!" tanyaku penasaran.

"Kakakmu, dia sudah tiada."

Seketika kalimat Kak Mira membuatku tersentak.

"Eh apa maksudnya?! Jelas-jelas Kak Guin sedang tertidur sampingku! Kak Mira jangan mengada-ada!" bentakku.

"Mas, mohon tenangkan diri anda dulu. Apa yang dikatakan beliau adalah benar." Dokter itu tampak membenarkan pernyataan Kak Mira yang membuatku semakin tidak percaya.

"Eh, i-ini bohong kan, Dok! Jelas-jelas Kak Guin sedang tertidur pulas disini! Lihatlah perutnya saja masih bergerak!" Menunjuk Kak Guin yang terbujur disampingku.

"Jadi inilah kabar buruk yang ingin saya sampaikan. Tubuh istri anda sangat lemah membuatnya tidak kuat menahan kontraksi saat proses melahirkan. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, namun takdir berkata lain. Istri anda telah dinyatakan meninggal selama proses persalinan."

Penjelasan dokter tersebut bak petir yang menyambar di siang bolong.

Aku diam mematung. Kaki dan tanganku seolah mati rasa, membuat pegangan pada bayi itu terlepas, namun dengan sigap segera ditangkap oleh perawat tersebut. Air mataku mengalir tiada henti. Dadaku terasa sesak, nafasku mulai tidak beraturan.

"Kak Guin?! Tidak, dia belum mati! Dia masih hidup! Dia hanya tertidur untuk beberapa saat!"

Aku berteriak histeris. Memeluk tubuh Kak Guin yang telah kaku dan juga dingin.

"Rui, sudahlah! Ikhlaskan saja kepergian Guin!" Kak Mira yang masih menangis memelukku dari belakang.

Tidak, Kak! Kak Guin masih hidup! Kakak juga tahu itu kan?!" ucapku yang masih menangis histeris.

"Hkks, sudah, Rui. Apa yang dikatakan Bu Dokter itu benar! Kamu harus menerima kenyataan jika Kakakmu sudah tiada!" teriak Kak Mira.

"Hkks, Kak Guin! Bangun Kak! Kenapa Kakak tega meninggalkan Rui?! Kakak sendiri kan yang bilang jika kita akan selalu bersama baik senang maupun susah?!" rengekku sembari mengguncang tubuh Kakak yang tidak bergerak sama sekali.

"Rui, jangan begitu! Kak Mira tidak tega melihatmu menangis seperti ini!" Kak Mira mencoba menghentikanku.

Dokter dan para perawat itu hanya melihat kami dengan tatapan iba. Turut berbela sungkawa atas kepergian Kak Guin untuk selamanya.

Hari itu mungkin menjadi hari yang paling kelam bagiku. Aku sudah tidak tahu lagi tujuan hidupku selanjutnya. Setelah Mama dan Papa, Kakak lah harta terakhir yang paling berharga bagiku setelah mereka. Mengapa semua orang yang kusayangi selalu direbut dariku? Apakah Alita juga akan pergi meninggalkanku? Apakah aku memang ditakdirkan untuk hidup sebatang kara di dunia ini?

Jika memang benar begitu, aku berharap lebih baik sampai disini saja hidupku. Aku sudah tidak bersemangat lagi untuk menjalani kehidupan di dunia ini bila tanpa Kakak. Bagiku, Kakak adalah satu-satunya cahaya yang menerangi hidupku selama ini dan sekarang cahaya itu telah redup. Meninggalkanku seorang diri di ruang hampa yang begitu gelap nan sunyi ini.

avataravatar