14 Panggilan baru

Bryana melirik Dean yang selalu membuatnya nyaman. Oke, mungkin dia berpikir bahwa bodyguard nya itu pria baik seperti kakaknya.

"Kamu tidak salah, Dean. Seharusnya aku yang lebih hati-hati dan tidak terlalu percaya pada Carlos," ucap Bryana dengan sendu.

"Saya pastikan dia tidak akan bisa mengganggu anda lagi, Nyonya, pihak hotel sudah menyeretnya ke kantor polisi," ucap Dean dengan sedikit geram mengingat wajah brengsek Carlos yang begitu membuatnya ingin membunuh pria itu.

Bryana menghela napas lega. "Syukurlah kalau begitu, aku tidak perlu takut lagi."

"Iya, Nyonya." Dean mengangguk ikut lega.

Bryana kembali menatap Dean yang masih saja bersikap sungkan dan formal padanya, dia dapat melihat bahwa bodyguard nya itu bukan sekedar bodyguard dengan tampang seram dan dingin, tetapi memiliki hati yang lembut dan sangat perhatian.

"Dean, tolong jangan panggil aku dengan sebutan 'Nyonya' karena bagiku kamu adalah pelindungku, temanku, pria baik selain kakakku," seru Bryana dengan sendu, dia masih dalam keadaan sedih dan malu, bahkan tubuhnya masih terbungkus selimut karena memakai pakaian sobek.

"Tapi, Nyonya ...." perkataan Dean dipotong oleh jari telunjuk Bryana yang menempel pada bibirnya.

"Tidak ada kata tapi, bagiku kamu adalah temanku. Jangan panggil aku seperti majikanmu lagi," seru Bryana dengan tatapan penuh permohonan.

Dean tercengang merasakan jari telunjuk Bryana yang indah dan mulus menempel di bibirnya, dia juga melihat matanya masih menyimpan kesedihan yang begitu mendalam.

'Kupikir dia bahagia dengan kehidupan penuh dengan harta, tapi ternyata dia tidak jauh berbeda dengan Clarissa yang bergelimang harta namun di matanya selalu menyimpan kesedihan.'

"Dean," seru Bryana karena Dean malah melamun menatapi nya.

Seketika Dean tersadar dari lamunan nya dan menyadari jari Bryana sudah tidak menempel di bibirnya. "Eh, maaf, Nyonya."

Bryana tersenyum tipis melihat Dean yang jadi salah tingkah. "Tolong jangan panggil aku seperti itu lagi, bersikaplah biasa karena kita teman," serunya dengan tersenyum.

Oke, hanya dengan melihat sikap salah tingkah Dean saja, Bryana sudah bisa tersenyum lagi. Lalu bagaimana dengan Dean?"

"Baiklah, kita teman dan aku akan memanggilmu ... Jill," ucap Dean dengan tersenyum canggung.

"Jill?" Bryana mengerutkan keningnya.

"Aku pernah mendengar Tuan Raymond memanggil anda dengan sebutan 'Jill' dan itu memang terdengar lebih simpel dan menarik," jelas Dean dengan semburat kemerahan di wajahnya. Oh god, senyumnya begitu manis dengan wajahnya yang tampan. Kata "sempurna" cukup menggambarkan betapa Dean sangat pantas untuk dijadikan ayah Calvin.

'Ingat, Bryana, dia punya anak, berarti punya istri. Jangan jadi perebut suami orang.' Dewi batin Bryana seolah berkata begitu.

Bryana pun segera memalingkan wajahnya dari Dean. 'Bisa mati aku jika terus menatap senyumnya yang begitu indah, istrinya sangat beruntung mendapatkan pria sepertinya.' batinnya penuh rasa iri.

Entah kenapa suasana jadi awkward, Bryana segera beranjak dari duduknya. "Sebaiknya kamu kembali ke kamar saja, Dean. Aku akan bersiap karena kita akan kembali ke Jakarta jam sepuluh pagi Ini," serunya kemudian.

"Anda yakin berani? Maksudku ... apa kamu berani di kamar sendiri? Jika masih takut, aku akan menunggu di depan pintu." Dean sungguh jadi salah tingkah, tubuhnya seakan gemetar panas dingin dan jantungnya berdegub kencang. Dia sungguh tidak menyangka harus bersikap seperti teman dan senyum Bryana seolah senyum paling indah setelah Clarissa dan Sofia.

"Bukankah kamu bilang kalau Carlos sudah dibawa ke kantor polisi? Lalu kenapa aku harus takut? Pergilah, aku harus mandi karena pakaianku juga sudah tidak jelas di balik selimut Ini." Bryana mengusir, tapi sambil tersenyum, karena merasa gemas pada sikap lugu Dean.

"Baiklah, sa ... eh, aku. Aku akan kembali ke kamarku dan bersiap." Bahkan sekarang Dean terbata-bata. Dia segera beranjak berjalan menuju pintu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Jangan sangka dia punya kutu, tapi dia kelewat salah tingkah karena senyum Bryana begitu menawan hatinya.

Bryana terkekeh melihat Dean yang perlahan tak terlihat karena sudah melewati pintu, dia merasa sudah lebih baik dan memutuskan untuk segera mandi.

Setibanya di kamar mandi, Bryana segera melucuti pakaiannya yang robek kemudian menyalakan shower. Janda muda itu membasuh seluruh tubuhnya dengan kasar di bawah guyuran air shower yang dingin.

"Jejak Carlos sialan itu harus benar-benar hilang dari tubuhku! Aku tidak menyangka dia pria yang sangat hina dan berhidung belang!" Dengan perasaan kesal, Bryana menggosok tubuhnya dengan sabun begitu banyak dan bahkan kulitnya merah karena dia terlalu berlebihan membersihkan noda Carlos yang mungkin tak terlihat, tapi bayangan semalam masih berputar di benak Bryana.

"Andai Dean tidak datang ... aku akan menjadi janda paling menyedihkan! Kak Raymond memang tepat memilihnya sebagai bodyguard untukku, semoga Louis juga bisa menjaga Calvin dengan baik." Tiba-tiba Bryana teringat pada putranya.

Sejak kejadian semalam, Bryana belum menghubungi Calvin atau Lauren. Tiba-tiba dia jadi khawatir, mengingat putranya itu selalu diincar oleh mantan suaminya untuk direbut dan dibawa ke luar negeri.

___

Jakarta

Lauren sudah siap hendak mengantar Calvin ke sekolah. Tentunya dia bersama Louis yang kini juga menjadi supir pribadi untuk Calvin. Meski dirinya seorang baby sister, namun Bryana memintanya untuk berpakaian biasa tanpa harus memakai pakaian khusus baby sister.

Lauren mengenakan celana jeans hitam dipadu dengan atasan blus berwarna biru, membiarkan rambutnya tergerai indah dan memoles wajahnya dengan make up tipis, dia berjalan sambil menuntun Calvin yang sudah rapi memakai seragam sekolah.

Calvin memakai sepatu hitam dengan celana biru dan baju putih yang diberi rompi biru, serta memakai tas bergambar tokoh pahlawan yang identik dengan laba-laba. Bocah itu terlihat begitu tampan dan sangat menggemaskan meski di keningnya masih terdapat bekas luka akibat kecelakaan beberapa hari yang lalu.

Louis yang sedang menunggu di samping mobil, tercengang menatap Lauren yang terlihat lebih menarik dari biasanya. 'Baby sister itu cantik juga ternyata, apa memang aku terlambat menyadarinya,' batinnya dengan terpana.

"Ayo, Louis, Tuan muda keburu terlambat," seru Lauren.

Louis mengangguk, kemudian membukakan pintu.

Lauren dan Calvin segera masuk kemudian Louis menutup pintu itu kembali, dia berjalan menuju pintu kemudi dan segera masuk.

Setelah memastikan semua sudah siap, Louis segera mengemudikan mobil mewah khusus milik Calvin itu menuju sekolah yang jaraknya sekitar 10 km dari rumah Bryana.

"Aunty, kenapa mama tidak telpon?" tanya Calvin sembari mendongak menatap Lauren.

"Mungkin mama sedang sibuk. Cal tunggu saja, nanti sore mama pasti sudah pulang," jawab Lauren dengan tersenyum meyakinkan.

"Telpon sekarang! Aku mau minta dibelikan pesawat yang ada tombolnya!" seru Calvin dengan suara melengking menepuk paha Lauren.

Lauren menghela napas kemudian mengambil ponselnya yang dia simpan di saku celananya. Baby sister itu segera mencoba menghubungi Bryana hingga beberapa kali namun tidak ada jawaban.

"Tidak diangkat, Cal. Nanti saja aunty telpon lagi," ucap Lauren.

Calvin menghembuskan napas kasar kemudian menggeser posisi duduknya agak jauh dari Lauren. Tampaknya bocah itu marah karena mungkin juga merasa rindu pada ibunya.

"Jangan marah, Cal, aunty akan coba telpon lagi," bujuk Lauren kemudian mencoba menelpon Bryana lagi.

Louis fokus mengemudi, sesekali memperhatikan Lauren yang sedang membujuk Calvin. 'Dia bahkan sangat keibuan. Aku jadi penasaran usianya berapa?'

Saat asik melamun tentang Lauren, tiba-tiba pandangan Louis dikejutkan oleh segerombolan orang yang menghadangnya di jalan sekitar 100 meter dari mobil yang di kemudikan nya saat ini.

Ckitttt ...!

Louis menginjak rem mendadak.

Calvin hampir terjungkal, namun beruntung Lauren memegangi tubuh mungilnya.

avataravatar
Next chapter