13 Iba

Mata biru hazel Dean menatapi sosok cantik bak bidadari yang sedang meringkuk di ranjang dengan memakai selimut putih yang tebal, dia adalah Bryana. Sejak kembali dari kamar Carlos, Bryana tetap diam usai Dean membaringkan tubuhnya di ranjang kemudian menyelimuti tubuhnya yang bergetar karena ketakutan dan malu.

Dean duduk di sofa dan memutuskan untuk beranjak kembali ke kamarnya. Bryana mendengar langkah Dean yang hendak keluar kamar.

"Dean," panggil Bryana dengan suara seraknya.

Deàn berhenti kemudian berbalik menatap Bryana yang masih meringkuk memunggunginya. "Ada apa, Nyonya?"

"Aku takut," lirih Bryana.

"Baiklah, saya akan temani anda sampai pagi," ucap Dean kemudian mengunci pintu. Dia kembali ke sofa dan membaringkan tubuhnya, sesekali masih melirik Bryana yang berjarak sekitar lima meter darinya.

Dean dapat melihat dengan jelas tubuh Bryana bergetar seperti sedang menangis, hal itu seakan membuatnya merasa iba, sakit, bersalah dan bodoh. Seharusnya dia menjaga Bryana dibanding membelikan obat untuk Carlos sialan itu. Ah, tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa karena Bryana lah yang menyuruhnya. Untung saja dia cepat datang sehingga nyonyanya itu tidak jadi dilecehkan.

Bryana terus menangis karena takut dan benci dengan apa yang menimpanya. Tangannya meremas sprei untuk menahan suara tangisnya supaya tidak terlalu keras karena tidak ingin didengar oleh Dean.

'Alex sudah menghianatiku, membuatku kehilangan calon anak kedua ku, membuatku hampir mati, lalu kenapa setelah aku nyaman dengan hidupku tanpa seorang pria di hatiku, malah ada Carlos yang sangat lancang menyentuhku? Sebenarnya pria baik itu seperti apa? Kenapa aku selalu di hadapkan oleh pria-pria jahat?' Bryana berkata dalam hati, merutuki nasibnya yang begitu buruk.

Bryana perlahan tertidur dalam isak tangisnya, sedangkan Dean tetap tèjaga menatapi Bryana yang hanya terlihat punggung dan rambutnya, sedangkan sebagian tubuhnya terbungkus selimut.

'Kenapa aku selalu di hadapkan dengan wanita yang tidak bahagia, bergelimang harta tapi memiliki banyak rintangan. Padahal, wanita hanyalah mahluk yang lemah yang seharusnya dijaga, bukan untuk disakiti,' batin Dean sembari menatap Bryana dengan posisi bersandar pada pinggiran sofa berwarna putih polos sepadan dengan sprei pada ranjang tidur Bryana.

Flashback on

7 tahun yang lalu

Dean sedang mengemudikan motor sport nya melintasi sebuah jalanan sepi. Ketika di pertigaan, dia melihat seorang gadis cantik berambut panjang bergelombang, mengenakan rok merah sebatas lutut dipadu dengan atasan semacam kemeja berwarna cream, sedang berlari tanpa memakai alas kaki.

Dean melihat ada dua pria berpakaian serba hitam seperti bodyguard mengejar gadis itu, entah kenapa nalurinya sebagai seorang pria tangguh seakan mendorongnya untuk menolong gadis itu. Dia segera mengemudikan motornya hingga berhenti menghadang dua pria itu supaya tidak mengejar gadis yang kini berhenti dan bersembunyi di belakang Dean.

"Kenapa kalian mengejarnya? Apa dia punya salah atau masalah dengan kalian?" tanya Dean dengan tatapan marah.

"Itu bukan urusanmu, lebih baik kamu pergi karena kami akan menyelesaikan urusan dengan gadis itu!" seru salah satu pria berbadan besar dengan tinggi sekitar 185 cm dan mungkin beratnya 90 kg. Hampir sama seperti Dean.

Dean melirik gadis itu menggeleng ketakutan.

"Tolong jangan biarkan mereka menangkap ku, mereka akan menyakitiku," ucap gadis itu dengan  penuh permohonan sembari memegang pundak Dean.

Dean beralih menatap dua pria itu dengan tatapan begitu dingin dan mengepalkan tangannya. "Jika ingin menangkapnya, kalian harus membuatku jera terlebih dahulu!" tantang Dean.

"Oh, kamu menantang kami? Akan kuremukkan tulangmu saat ini juga."

Kedua pria itu segera menyerang Dean. Salah satunya dengan meninju ke arah wajah Dean. Dengan sigap serangan itu di tangkis kemudian Dean membalas dengan menjegal kakinya hingga jatuh terjengkang. Satu pria lain masih berdiri akan menyerang Dean dari belakang.

"Awas!" Gadis itu memperingatkan Dean yang akan diserang dari belakang.

Dean segera berbalik dan menendang pipi pria itu hingga terjatuh ke aspal. Dean segera menghampiri pria itu dan menginjak punggungnya dengan keras.

"Arggghhh ...!" Pria itu kesakitan.

Pria satunya lagi hendak menyerang Dean dengan sebuah pisau. Dean yang sedang menginjak pria satunya lagi segera menunduk menghindari pisau yang akan ditusukkan ke bagian atas tubuhnya. Dean bergerak cepat melawan pria yang membawa pisau tadi dengan menjegal hingga tersungkur di aspal seperti pria lainnya, dia segera menginjak punggung pria itu sekuat tenaga hingga berteriak kesakitan.

"Arhghh!!"

Gadis itu berdiri di samping motor Dean dengan ketakutan, dia tidak hanya ketakutan pada dua orang yang mengejarnya, tapi juga pada Dean yang begitu buas dan kuat bak singa.

Dean segera mengambil pisau dari tangan pria itu kemudian menodongkan ke leher pria itu.

"Jika kamu berani macam-macam pada gadis itu lagi, kupastikan pisau mu sendiri yang akan menjemput ajalmu," ancam Dean dengan suara menggeram.

Melihat dua pria itu tidak berani melawan lagi, Dean segera mengajak pergi gadis itu untuk menjauh ke tempat yang aman dengan motornya.

Akhirnya dia berhenti pada sebuah sebuah taman kecil, kemudian mengajaknya duduk di sebuah kursi panjang.

"Kamu tidak perlu takut, mereka tidak akan mengejarmu lagi," ucap Dean menatap gadis itu masih ketakutan dan tidak berani menatapnya. 

"Mereka akan selalu mengejarku, sekalipun aku mempunyai banyak pengawal," balas gadis itu dengan mata berkaca-kaca.

"Pengawal? Apa kamu punya pengawal?" Dean mengerutkan dahinya.

"Aku punya pengawal yang selalu menjagaku di rumah atau di manapun, tapi aku merasa bosan dan tidak bebas, ayahku malah semakin mengekang ku. Aku tidak tahu kenapa ini terjadi," jelas gadis itu dengan air mata yang perlahan menetes.

"Apa mereka tadi adalah pengawal mu?" tanya Dean dengan iba, kemudian mengambil sapu tangan di saku jaket kulitnya, memberikan pada gadis itu.

Gadis itu mengambil sapu tangan dari Dean kemudian mengusap air matanya. "Aku tidak mengenal mereka, tapi begitulah yang terjadi ketika aku keluar rumah sendiri, aku tidak pernah terlepas dari sebuah kejaran. Aku tidak tahu kenapa itu terjadi."

Dean menghela napas, menatap gadis itu dengan lembut. "Lalu kenapa kamu pergi tanpa membawa pengawal jika memang selalu dalam bahaya?" tanyanya kemudian.

"Karena aku bosan, aku ingin seperti gadis lainnya. Di rumah, ayahku terlalu banyak membatasi apa yang ingin kulakukan. Makanya aku pergi," jelas gadis itu dengan masih tertunduk.

Dean menghela napas, kemudian mengulurkan tangannya. "Namaku Dean, jika kamu mau, aku bisa menolongmu, mencarikan tempat aman untukmu," ucapnya kemudian.

Gadis itu perlahan menoleh menatap mata biru hazel Dean, kemudian menerima uluran tangan Dean. "Aku Clarissa."

Dean terdiam terpana menatap gadis yang bernama "Clarissa" itu. Matanya kecoklatan, bibir nya sexy dan wajahnya begitu mulus dan cantik tanpa noda atau jerawat sedikitpun. Bahkan sepertinya make up pun tidak ada di wajah Clarissa. Kata "sempurna" tepat untuk menggambarkan betapa cantiknya Clarissa, membuat Dean tak berkedip.

Flashback off

Saat lagi, Bryana terbangun dan melirik ke arah sofa. Dean tidak ada di sofa itu. Bryana buru-buru ke arah pintu, kemudian menguncinya. Dia begitu takut Carlos akan datang saat Dean tidak ada.

Bryana kembali ke tepi ranjang dan menyadari penampilannya masih begitu buruk. Baju yang sobek, rok yang rusak dan bra nya pun juga rusak.

Dia kembali menangis mengingat kejadian semalam saat Carlos dengan brutal akan menggagahinya. 'Semua pria seakan terlihat buruk. Bahkan ayah membuangku ke Indonesia daripada tinggal bersama di London. Hanya kak Raymond yang baik padaku.'

Tok ... tok ... tok,

Bryana terkesiap saat mendengar pintu diketuk, dia merengkuh tubuhnya dengan selimut dan gemetar, bahkan telapak tangannya berkeringat dingin.

"SIAPA?" teriak Bryana.

"Ini saya, Dean."

Bryana dapat mendengar itu sungguh suara Dean. Dia segera beranjak dari kasur dan menghampiri pintu itu, dengan ragu membukanya.

Saat pintu terbuka, Dean melihat wajah Bryana yang pucat dan terdapat airmata di pipinya. Bryana segera kembali ke ranjang, sedangkan Dean menutup pintu itu kembali.

'Dia masih menangis, aku sungguh bodyguard yang tidak becus menjaganya hingga dia trauma,' batin Dean penuh rasa sesal karena kemarin pergi membeli obat terlalu lama.

Dean menghampiri Bryana, kemudian duduk di sampingnya berjarak satu meter.  "Nyonya, maafkan saya, seharusnya saya bisa kembali lebih cepat dan anda tidak akan mengalami kejadian seperti semalam," ucapnya kemudian dengan penuh sesal.

Dean tidak tega melihat janda di hadapannya itu terus menangis, batinnya seakan tersiksa, mengingatkan pada sosok Clarissa yang pernah menangis karena ketakutan.

'Oh tidak, kenapa kamu sungguh seperi Clarissa, aku tidak bisa membiarkan wanita sepertimu menangis,' batinnya.

avataravatar
Next chapter