17 Bertukar cerita di bawah rembulan

Saat waktu menunjukkan pukul sembilan malam, Bryana berdiri di atas balkon depan kamarnya sembari menatap bulan yang bersinar sendiri tanpa bintang yang menemani.

Bryana melihat satu bintang terlihat begitu kecil mampu bersinar seakan menemani sang rembulan dari kejauhan, entah kenapa dia jadi teringat antara dirinya dengan pria yang beberapa hari ini selalu menemaninya, siapa lagi kalau bukan Dean?

Bryana merasa kembali mempercayai adannya pria baik selain kakaknya, ada harapan untuk mendapat ayah yang baik untuk Calvin. Apakah yang Bryana maksud adalah Dean?

Bryana menunduk menatap halaman rumahnya yang tampak tidak terlalu terang, pandangannya tertuju pada pria yang sedang berjalan sambil membawa senter dari arah samping kanan rumahnya.

"Dean," gumam Bryana, entah kenapa ada perasaan yang tidak bisa membuatnya menahan diri untuk menemui bodyguard nya itu.

Bryana berjalan keluar kamar menuruni tangga, kemudian berjalan menuju keluar rumah. Dia melihat Dean sedang duduk di kursi panjang samping rumahnya, tepatnya di dekat bunga-bunga yang tidak lagi mekar.

'Apa dia sedang sedih?' batin Bryana bertanya-tanya, karena Dean terlihat murung dengan menyandarkan punggungnya pada kursi sembari menatap bulan.

___

'Aku hanyalah bintang kecil yang berharap bisa menyentuh rembulan yang begitu indah bersinar, aku hanyalah pria miskin yang terjebak mencintai majikannya sendiri, aku akan tersiksa menahan rasa ini setiap hari,' batin Dean dengan penuh sesal.

'Clarissa, aku tidak tahu harus bagaimana, aku ingin mencari pengganti mu, mencari sosok ibu yang pantas untuk Sofia, tapi kenapa sosok itu ada dalam diri majikan ku? Aku butuh dirimu yang selalu memberi nasihat kepadaku.' Dean memejamkan matanya, berharap Clarissa datang dan memberi jawaban atas keresahan di hatinya.

"Dean."

Mata Dean seketika terbuka ketika mendengar namanya dipanggil, mengira Clarissa telah datang, namun saat menatap wanita di hadapannya mulai dari bawah ke atas, ternyata adalah Bryana yang tersenyum manis padanya.

"Apa kamu akan tidur di sini?" tanya Bryana sembari mendudukkan dirinya di samping Dean.

Dean kembali menegakan posisi duduknya, sesekali dia melirik Bryana yang tampak cantik natural dengan mengenakan piyama berwarna putih dengan bagian dada agak terbuka, menjepit sebagian rambutnya ke belakang. Kata "anggun" sangat mencerminkan penampilan Bryana saat ini.

"Aku hanya sedang mencari udara segar saja, kebetulan aku baru selesai memeriksa kondisi sekitar rumah," jelas Dean sembari memputar-putar santernya.

"Apa semua aman?" tanya Bryana sembari melirik sekeliling.

"Aman," singkat Dean.

Hening sejenak, mereka berdua tetap diam seakan bingung mau berkata apa. Janda dan duda itu masih dalam perasaan yang sama tapi belum yakin untuk menyatakannya.

"Besok, kamu akan pulang ke sini atau bermalam di rumah dengan putrimu?" tanya Bryana ngawur, karen dia tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana.

"Jika kamu mengijinkan, aku akan menginap di sana dan kembali ke sini sebelum kamu berangkat ke kantor," jawab Dean tanpa menoleh. Dia mencoba menghindari menatao Bryana yang selalu meruntuhkan imannya.

"Aku akan mengijinkan, demi putri mu," ucap Bryana dengan tersenyum menatap Dean yang terus menunduk seolah tidak ingin menatapnya.

"Terima kasih," ucap Dean kemudian berkata, "sebaiknya kamu masuk, angin malam tidak baik untuk kesehatan."

"Justru aku sedang gerah, makanya aku keluar," balas Bryana malah menyandarkan punggungnya pada kursi.

Hening sejenak, Bryana melirik Dean yang masih menunduk sambil memegang santernya, sedangkan Dean mulai berkeringat dingin karena terus mencoba menahan diri untuk tidak tertarik pada Bryana yang dari aroma parfumnya saja sudah menggodanya.

"Ngomong-ngomog, berapa usia putri mu?" tanya Bryana memecahkan keheningan.

"Lima tahun," jawab Dean.

"Waw, sama persis dengan Calvin." Bryana tersenyum heran akan kebetulan itu, kemudian dia bertanya, "apa dia sudah sekolah?"

"Sekolah TK," jawab Dean.

"Siapa yang mengantarnya setiap hari?" tanya Bryana lagi. Astaga, boss itu mendadak menjadi seperti wartawan yang haus akan informasi.

"Dia diantar neneknya," jawab Dean kemudian menegakkan kepalanya karena lelah menunduk. Dia menoleh menatap Bryana yang tampak sudah lebih baik, namun memar di wajahnya masih terlihat.

"Apa kamu sudah merasa lebih baik?" tanya Dean.

"Sudah, justru aku yang penasaran akan dirimu, kamu terlihat seperti sedang tidak baik-baik saja. Kenapa?" Bryana malah balik bertanya, dia menatap Dean yang juga menatapnya. Ketika kedua mata saling bertemu, mereka saling tersenyum dan memalingkan wajah. Janda dan duda itu seperti ABG yang malu-malu tapi suka.

'Karena aku tidak bisa menghindari mu,' jawab Dean dari hati.

"Aku tidak sedang sedih, aku memang seperti ini," jawab Dean dengan tersenyum meyakinkan.

Bryana mengangguk paham, karena awal mula dia bertemu Dean memang suka memasang wajah datar seakan menyimpan kesedihan. Janda muda itu jadi penasaran akan perkataan pria di sampingnya yang sempat mengatakan istrinya sudah meninggal.

"Maaf jika aku lancang atau terlalu ingin mengerti masa lalu mu, tapi aku sungguh penasaran. Istrimu kapan meninggal dan itu karena apa?" tanya Bryana dengan sangat hati-hati.

"Saat melahirkan putriku," jawab Dean sesingkat mungkin, kemudian menatap langit. "Dia pergi lebih cepat, di saat anak kami sangat membutuhkannya," lanjut nya dengan tabah.

Seketika Bryana bergeming menatap Dean, dia membayangkan pria gagah di sampingnya itu menggendong bayi merah tanpa ibu. Oh god, matanya mulai berkaca-kaca membayangkan betapa hancurnya hati bodyguard nya yang terlihat tangguh itu.

"Aku pikir hidupku paling menderita akibat suatu perceraian dan penghianatan, ternyata takdir mu lebih pahit," ucap Bryana bernada sendu.

"Itu sudah lama dan aku mencoba untuk melupakannya, meski sulit," balas Dean dengan tersenyum meyakinkan menoleh menatap Bryana. "Hey, kenapa kamu menangis?" tanyanya dengan sedikit heran.

"Aku ... aku hanya terlalu sedih membayangkan nasibmu yang lebih buruk dariku," ucap Bryana sembari mengusap air matanya dengan kasar, dia pun tertawa karena terlalu mudah terharu.

"Itu memang menyedihkan, tapi sekarang aku sudah merasa lebih baik," balas Dean kemudian memalingkan wajah nya. 'Dan itu karena dirimu, aku merasa lebih baik kerena ada kamu di sisiku,' lanjutnya dalam hati.

"Syukurlah, karena memang kamu harus bangkit demi puteri mu." Bryana menghela napas lega.

Dean mengangguk dan jadi penasaran akan kisah hidup Bryana, tapi dia sungkan untuk bertanya, meski Bryana menganggapnya sebagai teman.

Drett ... drettt,

Ponselnya yang berada di saku piyama bergetar, Bryana segera mengambil ponsel itu dan melihat ada panggilan masuk dari Alex, dia segera mengabaikan panggilan itu dan malah me-nonakfifkan ponselnya.

"Kenapa dimatikan?" tanya Dean dengan menaikkan alisnya.

"Dia sumber masalah, aku malas bicara dengannya," jawab Bryana dengan ketus, sikap humble nya seakan pudar.

"Sumber masalah?"

"Dia ayahnya Calvin, mungkin hanya akan bicara bahwa aku harus menyerahkan Calvin kepadanya," jelas Bryana kemudian beranjak dari duduknya. "Aku harus segera masuk, lebih baik kamu juga masuk jika tugasmu sudah selesai," serunya kemudian.

"Kamu duluan saja, aku akan istirahat sampai waktu yang ditentukan," balas Dean.

"Memangnya jam berapa ditentukan?" tanya Bryana dengan menunduk menatap Dean.

"Jam tiga dini hari," jawab Dean kemudian beranjak dari duduknya. "Aku akan ke pos satpam untuk minum kopi," pamitnya.

Bryana terdiam di tempat menatap punggung Depan yang semakin menjauh, dia membayangkan pria itu harus bekerja ekstra dalam menjaga keamanan.

"Kak Raymond sangat keterlaluan, menentukan waktu tidurnya hingga jam tiga dinihari, lalu pagi harus menjaga ku. Astaga, matanya akan seperti mata panda jika seperti itu setiap hari," gerutu Bryana kesal pada kakaknya yang hanya memberi jadwal istirahat bodyguard nya sangat sebentar.

avataravatar
Next chapter