1 Lima menit saja, aku bisa melakukannya. 

Suara tembakan pada ruang latihan terdengar begitu lantang. Sudah banyak peluru yang bertebaran di atas lantai, dan sudah banyak papan latihan yang penuh dengan lubang.

Tampaknya Arvita belum puas, dia mengisi kembali senjata api berbahayanya dengan banyak peluru timah mematikan. Tangannya sudah merentang lurus kearah lawan yang ada dihadapannya, meskipun itu hanyalah papan latihan berwujud manusis.

Sorot mata Arvita begitu tajam, seraya ia menarik napasnya dengan perlahan dan mulai menarik pelatuknya dengan segera.

DOR!!

Suara rentetan peluru kembali terdengar, untung saja Arvita mengenakan kacamata dan penutup telinga khusus untuk pelindung.

Sudah dua jam Arvita melakukan hobi barunya yaitu menembak, tenaganya sudah cukup terkuras habis, karena sebelumnya dia baru saja berlatih bela diri.

Kali ini dia sudah mengganti pakaiannya, mengenakan mantel panjang berwarna putih yang tebal. Saat itu musim salju baru saja tiba, sehingga cuaca dingin tidak bisa dihindari.

Arvita baru saja keluar dari tempat latihan menembak, berjalan ke arah parkiran dan mengeluarkan kunci mobilnya, dia menekan tombol sambil berjalan ke arah mobil SUV putih yang mewah.

Saat Arvita masuk dan baru saja meletakkan tas ranselnya yang besar, ponselnya segera saja berdering dengan nyaring.

"Ya?" ucap Arvita baru saja menerima panggilan masuk dari seoran kepala pelayan.

"Nyonya Armand, kau ada dimana?" tanya Cornelia sedikit panik.

"Aku akan tiba sebentar lagi? Apa ada masalah?" tanya Arvita sambil menjalankan mesin mobilnya.

"Uhmm... Nyonya? Tuan Armand baru saja pulang dan tiba dari luar kota. Dia sedang mencarimu saat ini," jawab Cornelia gugup.

Arvita terhenti sejenak untuk berdiam sambil berpikir, "Hh... baiklah. Katakan saja jika aku akan tiba dalam tiga puluh menit," ucapnya sambil mematikan ponsel.

***

Sesampainya dikediaman mewah dan besar, tempat dimana Arvita tinggal bersama dengan putra dan suami tercintanya. Tempat yang seharusnya membuatnya betah, tapi tidak untuk saat ini, meskipun sudah dua tahun ia berada di Netherland, tapi tetap saja Arvita merasa asing ditempat tersebut.

Armand sudah berada didalam kamarnya, dan dia menunggu Arvita untuk masuk kedalam kamar mereka. Dia sendiri terkejut ketika Cornelia mengatakan jika Arvita sudah keluar semenjak pagi, dan melakukan beberapa aktifitas olahraga yang menurutnya tidaklah terlalu penting.

"Armand? Kau sudah kembali, kenapa lebih cepat?" tanya Arvita yang baru saja masuk kedalam kamarnya. Dia sadar jika Armand sedang duduk sambil menatapnya dengan wajah masam.

Pria itu melirik ke arah jam tangannya dan kembali melihat ke arah Arvita. "Kenapa kau tidak memberitahuku, kalau kau mengundang ayah dan ibumu untuk datang ke sini?" tanya Armand.

"Ah... kau marah mengenai hal itu? Aku pikir kamu akan marah karena aku meningalkan Ben hari ini?" tanya Arvita heran.

Armand beranjak dari duduknya sambil mendekat ke arah Arvita, melemparkan pandangan berbinar dan tiba-tiba saja memberikan pelukan untuk istrinya.

"Aku lihat Ben baik-baik saja, dan aku justru mengkhawatirkanmu sayang," ucap Armand dan memberikan kecupan singkat pada bibir Arvita.

"Uhhmm... sungguh? Kau tidak marah padaku? Bukankah kau berkali-kali mengatakan agar aku tidak melakukan kegiatan olahraga seperti itu... dan.."

"Ssstt..." Telunjuk jari Armand sudah menempel erat pada bibir Arvita.

"Jelas aku tidak bisa melarangmu, bukan? Lakukan saja selama kau merasa senang, dan itu bisa membuatmu tidak bosan," ucap Armand tersenyum.

"Kenapa Cornelia gugup sekali tadi saat bercerita, aku pikir kau sudah memarahinya," ucap Arvita dan ia belum bisa lepas dari pelukan suaminya.

"Bukankah dia selalu seperti itu? Atau mungkin karena wajah tampanku yang membuatnya menjadi gugup," ucap Armand telalu percaya diri.

Arvita akhirnya memberikan senyuman lebar untuk Armand, sambil dia memainkan sisi rambut Armad. "Mengenai kedua orangtuaku, mereka memang akan datang berkunjung ke sini. Aku harap kau tidak marah. Kau tahu kan... terakhir aku pulang ke Indonesia adalah satu tahun lalu, dan ini sudah tahun keduaku berada di Netherland," Arvita mulai menjelaskan.

"Ya, aku paham dan tidak marah. Hanya saja, aku merasa tidak berguna karena tidak tahu mengenai kedatangan mereka. Seharusnya kau bisa memberitahuku, aku bisa menyiapkan pesawat terbaik untuk mereka," ucap Armand dan mulai memainkan bibir istrinya dengan usapan jari yang lembut.

"Aku hanya tidak ingin mengganggumu, sayang... lagi pula kedua orangtuaku bukanlah pemilih. Pesawat dengan fasilitas apapun, asalkan mereka bisa tiba dan menemui Ben, pasti sudah membuat mereka senang," ucap Arvita.

Tapi tatapan Armand tidak lepas dari bibir Arvita, bahkan sepertinya Armand tidak mendengar Arvita yang terus berbicara.

"Armand? Apa kau tidak mendengarku berbicara?" tanya Arvita kesal.

"Vita? Kamu terus saja berbicara. Apa kamu tidak tahu, betapa aku sangat merindukanmu!" Armand lebih kuat memegangi pinggang istrinya.

"Kau baru saja keluar kota selama tiga hari? Dan... Armand!" Arvita tidak bisa melanjutkan perkataannya, karena tiba-tiba Armand sudah menggendong dengan mudah.

Armand mengarahkan istrinya menuju tempat tidur mereka, meletakkan dengan hati-hati tubuh Arvita agar bisa berbaring, setelahnya dia mulai merangkak diatasnya.

"Kau tahu apa yang selalu aku rindukan darimu, Vita?" tanya Armand dengan tatapan menggoda, dan tangannya mulai melepaskan kancing kemeja yang dikenakan istrinya.

"Uhmm... Apa? Kau tidak mungkin rindu dengan kebawelanku, kan?" jawab Arvita terkekeh.

Armand memajukan tubuhnya hingga kedua wajah itu semakin mendekat, "Bagaimana kalau aku jawab iya. Apapun yang berhubungan denganmu sudah membuatku sangat gila, dan aku benar-benar tidak bisa berhenti memikirkanmu," ucap Armand dengan senyum menggoda.

"Gombal, kamu pikir aku bisa dirayu seperti itu?" ucap Arvita terkekeh dan tidak percaya.

"Baiklah aku akan membuktikannya kepadamu, seberapa gila aku sekarang," Armand sudah melepaskan semua kancing dari kemeja Arvita.

Pemandangan dua bukit indah itu sudah terlihat jelas olehnya, tertutup dengan brukat hitam transparan, dan hal itu membuat Armand tidak bisa menahan hasratnya.

"Baiklah, kalau begitu kita bisa membuktikannya. Kau tahu kan... setelah berolahraga, staminaku akan menjadi lebih kuat. Kau yakin bisa meladeniku?" ejek Arvita dengan kedua tangannya sudah ia kalungkan pada leher Armand.

"Mari kita buktikan," ucap Arman dengan desahan pelan. Dia memberikan kecupan bibirnya pada bibir Arvita yang membuat hasrat dan gairahnya semakin meninggi.

Dua bibir itu saling berpagutan dengan kecepatan yang menggila, keduanya sudah saling membelai tubuh lawan masing-masing. Setiap desahan halus yang terdengar, menandakan keduanya mulai menikmati percintaan mereka yang baru saja dimulai.

Tok... tok... tok...

Suara ketukan pintu terdengar, tapi keduanya tidak berniat untuk menghentikan permainan cumbu mereka.

Tok... tok... tok...

Kedua kalinya suara ketukan pintu itu terdengar, kali ini Arvita menoleh ke arah pintu kamar. "Ya?" teriak Arvita lantang, dan Armand masih saja mencoba untuk terus mencumbunya.

"Nyonya? Makam malam sudah siap, dan Ben terus saja mencarimu." Terdengar suara Cornelia dari balik pintu kamar.

"Ya... Ahh..." Arvita sedikit mendesah, ketika kecupan bibir Armand sudah menurun hingga ke dadanya. "Armand, hentikan!" pinta Arvita.

Cornelia yang mendengar dari balik pintu merasa bingung dan aneh, "Nyonya? Apa anda butuh bantuanku?"

"Ehh... Tidak Co... Tidak Cornelia," sahut Arvita tampak sulit berbicara, karena Armand berusaha untuk melepaskan celana panjang yang ia kenakan. "Aku akan segera kebawah nanti, kau pergi saja sekarang," ucap Arvita dengan lantang.

"Baik, Nyonya," jawab Cornelia sambil berlalu dengan perasaan yang bingung.

"Armand!" Teriak Arvita kesal, ketika suaminya sudah berhasil melepaskan celana panjangnya.

"Tidak sekarang, kita bisa melakukannya nanti. Lebih baik kita makan malam terlebih dahulu," ucap Arvita berusaha untuk beranjak bangun.

Tapi Armand menunjukkan wajah tidak suka, "Kita lakukan sekarang saja, nanti malam kita bisa melakukan lagi,"

"Hah? Kau ini, tidak... aku harus bertemu dengan Ben. Lagi pula, apa kau tidak rindu dengan putramu sendiri?" tanya Arvita berusaha untuk beranjak bangun dari tidurnya, tapi... lagi-lagi Armand semakin menekan tubuh Arvita dengan kuat.

"Kita lakukan dengan cepat, setelah itu kita makan malam," bujuknya dengan senyuman manis.

Sesaat Arvita seperti tergoda dan ingin melakukannya dengan Armand. "Tidak... kita akan terlalu lama keluar nanti,"

"Sepuluh menit saja," Armand masih saja berusaha membujuk.

"Tidak, nanti malam saja," tolak Arvita.

"Lima menit saja, aku bisa melakukannya."

"Apa, lima menit? Apa kau yakin bisa melakukannya?" Tawa Arvita seperti menyindir, tapi hal itu membuat Armand semakin bersungguh-sungguh.

"Ok, mari kita buktikan sekarang," tantang Armand.

avataravatar