14 14. Sulit Dipercaya

Saturnus langsung melempar Handphonenya ke sembarang arah di atas kasur King sizenya. Moodnya yang tadi membaik karena dihibur Lea, sekarang mendadak hancur juga karena Lea. Kenapa Lea begitu menyebalkan? Entah kenapa ia mendadak tidak peduli pada perasaan Lea. Pasti Lea sedang bersedih sekarang karena ia memutuskan telepon secara sepihak.

Tak lama kemudian, Handphonenya berdering kembali. Saturnus berdecak kecil, pasti itu Lea lagi. Kenapa sih Lea tak pernah kapok mendekatinya? Padahal ia sudah jelas-jelas menolak Lea mentah-mentah. Namun kenapa Lea masih tak menyerah juga? Harus bagaimana Saturnus mengusir Lea, agar Lea mau pergi? Saturnus dibuat bingung sendiri oleh sikap Lea.

Ia mendekat mengambil Handphonenya yang terus-terusan berdering tanpa henti. Ia melihat layarnya, nomor tak dikenal. Ia ingat... Itu nomor yang sama, itu nomor Lea. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ingin sekali ia memencet tombol merah, namun tak tega. Tapi jika ia memencet tombol hijau, ia masih marah pada Lea. Serba salah rasanya.

Saturnus tak bergerak, tak memencet salah satu tombolnya, ia melihat layar Handphonenya yang terus-terusan menyala-nyala tanda ada panggilan masuk. Beberapa kali panggilan berakhir, namun selang beberapa detik panggilan itu muncul lagi. Saturnus membiarkannya, ia tak berniat mengangkat telepon atau me-rejectnya. Biarkan saja, biar Lea mengiranya ketiduran. Semarah apapun ia pada Lea, ia tetap tidak tega memperlakukan Lea seperti itu. Maafin gue Lea.

Ketika panggilan berhenti, dengan cepat Saturnus mengubah setelan teleponnya menjadi mode pesawat, agar Lea tak bisa menghubunginya lagi, setidaknya dalam waktu beberapa jam kedepan. Saturnus sedang tak ingin diganggu. Ia ingin sendiri dan meredakan emosinya. Ia sangat susah mengontrol emosinya, baru seperti itu saja ia sudah menganggap kesalahan Lea itu fatal, jika begini mana bisa ia berkomitmen dengan perempuan? Bisa-bisa baru berpacaran, belum ada satu hari langsung putus.

Saturnus menaruh Handphonenya yang sudah tak berdering-dering seperti tadi di kasur King sizenya, dan setelahnya Saturnus ikut merebahkan dirinya di kasur itu. Ia mendongak menatap langit-langit kamarnya. Berpikir sejenak, apakah ia sangat jahat pada Lea barusan? Pasti Lea disana sedang panik memikirkannya yang tidak mau mengangkat telepon. Tapi, Saturnus keukeuh menganggap dirinya tak bersalah, baginya Lea yang salah.

Saturnus memejamkan matanya, berharap rasa bersalah yang ada di hatinya itu segera menghilang, namun ternyata tidak. Rasa bersalahnya terhadap Lea semakin terasa jika ia semakin mengabaikannya. Saturnus tak bisa kembali tidur. Ia membuka kelopak matanya kembali, mengambil Handphonenya dan menonaktifkan mode pesawat itu. Sepi, tak ada apapun. Mungkinkah Lea sudah kembali tidur atau menyerah menghubungi Saturnus? Mungkin saja...

Saturnus bingung sendiri sekarang, apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus menunggu Lea meneleponnya? Atau ia sendiri yang menelepon Lea? Tidak... Ia tak mau menelepon Lea, gengsinya terlalu besar. Tapi... Saturnus hanya ingin minta maaf saja atas ke-egoisannya tadi. Apakah ia pantas dimaafkan? Apakah Lea mau berbaik hati memaafkannya? Ia sadar dirinya terlalu egois ke Lea, harusnya ia tak semarah itu. Lagian Lea hanya sedikit mengencangkan volumenya, tidak berkata kasar padanya.

Saturnus tediam...

Baiklah... Untuk kali ini saja ia yang akan menelepon Lea duluan, kali ini saja. Semoga Lea memaafkannya... Saturnus akan menelepon Lea sebentar saja, hanya untuk meminta maaf, lalu setelah itu ia akan langsung mematikan telepon dan lanjut tidur. Saturnus merasa dirinya lelah dan ngantuk. Tak tahu kenapa, ia merasa gugup. Ia tak pernah menelepon perempuan duluan. Kali ini? Sepertinya Lea sudah membuatnya benar-benar kehilangan kewarasannya. Tapi diterima atau tidak permintaan maafnya, itu urusan belakangan.

Saturnus mencari nomor tak dikenal itu, lalu meneleponnya,

Sambungan terhubung...

Dan sambungan diterima oleh sang pemilik nomor...

"Halo... Siapa ini?" tanya Lea dengan suara seraknya dan mata yang setengah terpejam. Ia sama sekali tak melihat siapa yang menelepon, ia hanya menggeser tombol hijau saja...

Benarkah itu Lea? Kenapa suaranya begitu serak? Apakah Lea habis menangis? Jika iya, pasti itu karena dirinya. Saturnus memang jahat. Ia ingin marah pada dirinya sendiri karena sudah menyakiti, membuat Lea terluka dan membuat Lea menangis karenanya. Bodoh banget sih lo Saturnus, ucapnya dalam hati.

"Halo... Siapa ini? Salah sambung ya?" tanya Lea lagi dengan suara yang sama, tidak berubah. Ia merasa bahwa suaranya sangat mengerikan, pasti ini karena ia menangis sejak tadi karena Saturnus tak kunjung mengangkat teleponnya. Parahnya lagi nomor telepon Saturnus tiba-tiba tidak aktif. Ia jadi ketakutan dan kebingungan sendiri. Benarkah Saturnus semarah itu padanya? Saturnus sangat sensitif, harusnya ia lebih berhati-hati berbicara pada Saturnus, apalagi mood Saturnus sedang tidak baik tadi.

"Enggak... Enggak salah sambung..." ucap Saturnus membuka suara dengan nada yang sedikit lembut dari biasanya. Apakah Lea tak menyadari bahwa ia sedang berbicara pada Saturnus? Ah! Memalukan sekali rasanya menelepon perempuan seperti ini. Ini sama sekali bukan dirinya, Saturnus merasa dirinya berubah menjadi lebih manis jika sudah dihadapkan pada Lea. Ada apa dengan Lea? Kenapa harus Lea yang membuatnya berubah?

"Ah?" tanya Lea langsung memelototkan matanya tak santai. Suara itu... Bukankah itu suara Saturnus? Tidak. Tidak mungkin. Mungkinkah ia sedang bermimpi sekarang? Kenapa begitu cepat ia bermimpi? Padahal ia baru memejamkan matanya beberapa menit saja, untuk menenangkan diri. Memberhentikan tangisnya karena Saturnus mengabaikannya. Mata Lea terbuka sempurna, ia langsung melihat layar Handphonenya dan disana tertera sebuah nama yang mampu membuatnya menahan nafasnya, "SaturnusKU." Tidak! Ini tidak mimpi, ia tidak sedang bermimpi. Saturnus meneleponnya. Apakah benar ini Saturnus?

"Kenapa Lea? Lo gak enak badan? Kenapa suara lo tiba-tiba serak seperti itu?" tanya Saturnus sedikit menaruh perhatian pada Lea. Lea menangis juga karena dirinya kan? Kenapa perempuan begitu cepat menangis? Padahal Saturnus tak berniat membuat Lea menangis. Kapan Lea bisa tidak peduli padanya? Mungkinkah suatu saat nanti, Lea berhenti menyukainya? Ia harap... Lea bisa berhenti menyukainya, agar ia tak merasa bersalah lagi karena tak bisa membalas perasaan Lea.

"Ini siapa?" tanya Lea masih tak mempercayainya. Benarkah yang diajaknya berbicara ini adalah Saturnus? Tapi... Mana mungkin Saturnus menghubunginya duluan? Rasanya sangat sulit dipercaya, namun ini kenyataan. Kenyataannya adalah yang meneleponnya sekarang memang benar Saturnus. Tak bisa dibantah lagi, Lea sangat bahagia.

"Gue? Saturnus Alexius Gyama. Kenapa? Apa lo lupa sama gue? Lo lagi tidur ini ya? Berarti gue ganggu dong ya? Yaudah gue matikan saja teleponnya ya?" tanya Saturnus berniat mematikan teleponnya. Mungkin Lea capek dan butuh waktu sendiri. Ia memilih mengurungkan niatnya untuk meminta maaf sementara waktu. Saturnus akan menunggu hingga Lea tenang, agar Lea bisa berpikir jernih, tak seperti dirinya yang terlalu egois.

"Eh... Jangan di matikan teleponnya Saturnus. Enggaklah Saturnus, mana mungkin Lea bisa lupa sama Saturnus? Itu sangat tidak mungkin Saturnus, tak akan mungkin terjadi. Lea bukan tidur Saturnus, Lea hanya pejamkan mata sebentar agar Lea bisa lebih tenang sedikit. Perasaan Lea campur aduk sedari tadi. Saturnus sama sekali gak ganggu Lea kok, Lea malah senang karena Saturnus telepon Lea." ucap Lea dengan suara seraknya dan berusaha berbicara lebih pelan, agar Saturnus tak marah lagi padanya.

"Baiklah jika begitu. Lo kenapa? Kok suara lo serak begitu? Padahal tadi... Suara lo masih baik-baik saja." tanya Saturnus sedikit memaksa. Ia ingin mendengar sendiri dari bibir Lea, bahwa dugaannya tidak salah. Ia ingin tahu, apakah Lea tadi menangis dan itu karenanya?

avataravatar
Next chapter