6 Lima - Senang Mendengar Kata ‘Kita’

“Aku tidak ingin munafik dengan membohongi diriku sendiri. Tetapi aku senang kau menyebut perumpamaan antara kau dan aku dengan kata ‘kita’.”

~~~~

Selepas acara pernikahan, Kakek Retno mengumpulkan anggota keluarga besar Djamil di ruang aula besar.Ruangan ini terdapat di gedung hotel yang sengaja disewa kakek, lengkap dengan segala perlengkapan pernikahan.Adel bahkan baru tahu, bahwa Kakek Retno ternyata kaya raya. Buktinya, kakek bisa menyewa salah satu ruangan di hotel yang Adel taksir akan mencapai sekitar 50 juta. Belum lagi ditambah dengan tetek-bengek pernikahan ini.

Adel benar-benar tidak menyangka sebelumnya.

"Kamu harus siap-siap untuk pulang ke rumah."

Meiti menyentuh lengan Adel dan itu cukup menyadarkan Adel dari lamunannya.

"Hah, akhirnya!" Adel mengembuskan napasnya lalu mulai mengangkat gaunnya yang kebesaran dan berjalan ke pintu keluar.

"Eh, kamu mau kemana?" tanya Meiti menahan lengan Adel yang main pergi saja.

Adel menghentikan langkahnya, berbalik. Kemudian bertanya, "Kenapa lagi,Bunda? Katanya mau pulang?"

Gadis itu melebarkan matanya yang sedari tadi mengantuk. Adel juga ikut menepuk-nepukkan telapak tangannya ke pipinya. "Adel udah ngantuk nih, Bunda," rengek Adel.

Bunda memutar bola matanya. "Kamu harus ikut sama mobil suami kamu," katanya.

"Lho, kita enggak pulang ke rumah kita?" tanya Adel bingung.

"Enggak. Kita pulang ke rumah kalian, rumah baru kalian lebih tepatnya," ralat bunda. Ia menyentuh pelan-pelan bahu Adel, kemudian memandangnya lama. Tidak pernah menyangka akan secepat ini melepas gadis kecilnya untuk membina keluarganya sendiri.

Adel melebarkan matanya. "Apa? Rumah baru kita? Rumah aku sama dia?" tanya Adel sambil menunjuk Beni yang sedang mengobrol dengan ayahnya di sudut ruangan.

"Kamu enggak boleh nunjuk Beni gitu dan manggil dia dengan namanya aja, Adel! Kalian kan beda enam tahun, setidaknya kamu harus manggil dia 'Mas Beni'." Bunda mengingatkan.

Adel menatap bundanya dengan tatapan protes.

"Aku harus manggil dia Mas?" tanyanya tidak percaya.

Meiti geram dengan sikap Adel dan tiba-tiba menepuk lengan Adel gemas. "Udah, jangan protes!" tegur bunda.

"Ih, apaan sih, Bunda? Keluarga ini tuh juga udah berkonspirasi nikahin anak di bawah umur kayak Adel, dan sekarang ... Adel harus nurutin perintah aneh bunda lagi? Enggak! Adel enggak mau! Big no!" sergah Adel. Gadis itu bersungut-sungut menatap bundanya.

Meiti berpikir sejenak kemudian berkata, "Ya sudah, terserah kamu mau manggil dia apa! Pokoknya bunda minta agar kamu menghormati Beni, karena dia suami kamu. Awas ya! Bunda enggak mau anak Bunda jadi istri yang durhaka karena enggak hormat kepada suaminya!"

Bunda tidak mau kalah, ia menyilangkan tangannya di depan dada. Sambil menatap Adel jauh lebih garang. Adel yang sudah ditatap bundanya seperti itu menciut. Akhirnya gadis itu kalah dengan tidak elegan. Ia mencebikkan bibirnya.

"Bunda, Beni pinjem Adelnya sebentar, boleh?"

Beni menghampiri dua wanita yang sedang berdebat itu. Mengetahui bahwa dua orang itu dalam situasi panas, Beni bertanya dengan nada sangat lembut.

"Beni mau bicarain tentang rumah baru kita," ucap Beni menekan kata 'kita' dan mengerling pada Adel yang masih memasang wajah cemberutnya.

Ewh Apaan sih pake kedip-kedip segala?

"Iya, boleh, dong," ucap bunda seraya mendorong Adel dengan antusias pada Beni.

"Ih, Bunda! Jangan dorong-dorong Adel bisa enggak, sih?" rajuk Adel. Malas juga lama-lama berdebat dengan bundanya.

"Udah sana," kata bunda. Ia mengambil langkah mundur diam-diam. "Bunda tinggal dulu, ya?" sambungnya lalu berjalan cepat meninggalkan Adel dan Beni.

Adel menatap Beni jengah. Gadis itu berkacak pinggang dan mengentak-entakkan kakinya yang kini dibalut dengan heels 5 cm. "Coba jelasin semuanya!"

"Apa?" tanya Beni dengan polos.

"Tentang rumah kita," sambung Adel, suaranya mengecil saat menyebut kata 'kita'.

"Aku juga enggak tahu, Del. Sumpah! Tadi itu kakek tiba-tiba nyamperin aku, dan ngasih kunci ini," kata Beni sambil menunjukkan kunci di genggamannya. "Pas aku tanya, kata kakek, ini kunci rumah," tambahnya. Pelan-pelan menghadapi tingkah judes Adel.

"Benar kamu enggak tahu apa-apa?" tanya Adel sarkastis.

"Kamu enggak lagi nuduh aku sekongkol dengan kakek, kan?" tuduh Beni sambil mengacungkan jarinya ke depan hidung Adel.

Adel menampik jari Beni lalu menyugar rambut poninya. "Ya, barang kali," lanjut Adel. Gadis itu tersenyum sinis. Membayangkan jika Beni memang bersekongkol dengan kakek untuk membuat mereka tinggal serumah, membuatnya bergidik.

"Enak saja! Aku enggak pernah punya pikiran sepicik itu, Del. Lagian kamu kege-eran banget sih. Buat apa aku maksain untuk serumah sama kamu?" sindir Beni. Ia menyenggol lengan Adel pelan.

Adel yang ingin menyela terpaksa harus menahan kalimatnya ketika Beni kembali bersuara.

"Jangan-jangan ... kamu kali yang pengen banget serumah sama aku?" tanyanya menggoda Adel.

Adel speachless, digodain cowok ganteng ternyata berpengaruh ya, sama jantungnya. Buktinya sekarang jantungnya memompa darah yang ada di tubuhnya dengan cepat, hingga darah itu menyebar ke area sekitar pipi chubby-nya.

“Aduh! Malu-maluin aja, sih! Masa harus blushingdi depan cowok narsis ini, sih?” batin Adel bergejolak. Ia berdehem kecil untuk menetralisir detak jantungnya.

"Alah, enggak usah ngelak deh. Tuh, mukanya sampai merah begitu," goda Beni sambil mencolek dagu Adel. Ia mengerling. Siapa yang bilang usia tua membuat seseorang menjadi dewasa? Buktinya saat ini Beni malah bertingkah kekanakan.

Adel yang kesal mengusap-usap dagu bekas colekan Beni dengan kasar lalu berkata, "Percaya diri banget jadi orang! Ke laut aja, sana!" Beni melongo.

"Bunda! Adel digodain sama cowok narsis itu tuh, Bunda!" Adel berteriak lalu berjalan keluar ruangan sambil mengentakkan kakinya ketika melihat rombongan keluarga Djamil berbondong-bondong meninggalkan aula, termasuk bundanya.Beni hanya tertawa melihat kelakuan Adel.

Sepertinya ini menyenangkan! Beni kini tahu, bahwa menggoda Adel akan menjadi semenyenangkan ini.

~~~~

"Rumah ini punya dua kamar tidur, di mana kamar mandinya terletak di kamar masing-masing. Jadi kalian tidak perlu berebut kamar mandi saat mandi," kata ayah Adel saat mereka memasuki rumah. Rumah yang dibelikan kakek Retno ini adalah bagian dari perumahan elit yang terletak di kawasan Malioboro. Kawasan perumahan ini sengaja dipilih kakek karena letaknya yang dekat dengan sekolah Adel dan strategis untuk bepergian.

Apalagi Beni yang biasanya hidup di kota metropolitan seperti Jakarta tidak mungkin jika harus menetap di daerah pedesaan seperti rumah kakek. Selain itu, kawasan perumahan ini cukup dekat dengan rumah Adel yang dulu. Jadi, bunda dan ayahnya bisa menjenguk mereka kapanpun mereka mau.

Adel tersenyum pada ayah dan bundanya ketika mereka sampai di ujung pintu.

"Jadi istri yang baik untuk suami kamu, ya,Nak?" Bunda mengelus bahu Adel. Gadis itu malah merengut setelah bunda menyampaikan pesannya.

Ayah Adel mendekat pada Beni lalu membisikkan sesuatu. Setelahnya barulah cowok itu terkekeh lalu mengangguk, "Baik, Ayah."

Adel sebenarnya sedih ketika dihadapkan dengan kenyataan ia harus berpisah dengan bundanya. Adel dengan semua sikap manjanya masih membutuhkan sosok bundanya. Apalagi kenyataan bahwa ia yang belum siap mental untuk menjadi seorang istri. Namun, sekali lagi ia mengingat pesan bundanya ketika mereka akan melakukan ijab kabul.

Kamu akan bisa, kalau kamu terbiasa

Ya. Adel yakin, ia akan menerima kodratnya sebagai istri Beni dan akan berusaha agar menjadi istri yang baik untuk suaminya. Lagipula ini pilihannya sendiri, bukan?

"Woi! Masih mau berdiri di pintu aja?"

Pertanyaan orang di belakangnya menyadarkan Adel. Gadis itu terkesiap dan bergegas meninggalkan tempatnya tadi melamun.

"Aku mau pilih kamar yang ini!" seru Beni pada Adel yang masih berada di ruang tengah.

"Kamarnya luas, cocok buat aku yang cowok," tambah Beni sambil menerawang kamar di depannya.

Adel berlari kecil lalu ikut melongokkan kepalanya ke dalam kamar setelah berhasil menyingkirkan tubuh Beni yang menjadi penghalang di tengah pintu. "No! I choose this one!" teriak Adel sambil merentangkan tangannya lebar-lebar menghalangi cowok itu yang akan merangsek masuk ke kamarnya.

"Enak saja! Aku yang pilih duluan, Adel" sahut Beni tak mau kalah.

Adel bersungut. "Tetapi kamar ini luas, aku mau menaruh meja belajar di sudut ruangan sana," bantah Adel, menunjuk sudut ruangan. "Aku juga butuh kamar ini karena keperluanku banyak," lanjutnya.

"Sejak pertama kali masuk ke rumah ini, aku sudah langsung jatuh cinta sama kamar ini. Jadi, kamu tempatin kamar yang satunya saja sana!" keukeuh Beni.

Adel yang masih berdiri di ambang pintu kemudian menatap ke arah yang ditunjuk Beni. Tepatnya ke kamar di bawah tangga yang ukurannya lebih kecil dari kamar yang mereka perebutkan. Kamar yang mereka perebutkan ini sebenarnya hanyalah sebuah kamar biasa yang masih dalam keadaan polos. Karena hanya memiliki kasur berukuran king size dan sofa bed di pinggirnya. Sedangkan kamar di lantai dua itu gunanya sebagai kamar tamu, dan Adel enggak mau susah payah naik turun tangga. Rencananya jadwal hari ini mereka hanya tidur dan besok baru mereka akan mengatur tata letak kamar.

Adel bahkan masih mengenakan riasan pengantinnya. Beruntung tadi ia merengek meminta dilepaskan gaun pengantinnya, karena Bunda Meiti sebenarnya melarang Adel untuk melepas gaunnya di hotel.

Kata bunda, pamali.

"Adel, aku beri kamu pilihan, kamu mau malam ini tidur di kamar di bawah tangga itu atau tidur di sofa ruang tamu?" tanya Beni sambil menunjuk masing-masing benda yang ia sebutkan.

Adel mengeluh, lalu menggeleng keras, "Enggak ada pilihan lain?" tanyanya dengan wajah memelas.

"Di kamar itu auranya serem. Ngeliatnya aja aku udah takut," tambah Adel.

Beni mengusap dagunya sambil berpikir. Sedetik kemudian ia menyeringai. Dan seharusnya Adel merasa ada yang aneh sekarang.

"Ada," katanya. Mata Adel langsung berbinar mendengarnya.

"Kamu bisa tidur seranjang sama aku," katanya, diakhiri dengan senyuman seringaian mengerikan di wajah tampannya. Sumpah ya! Adel baru sekali ada orang yang menyeringai semenyebalkan itu.

Detik selanjutnya Adel pura-pura pingsan di tempatnya.

~~~~

avataravatar
Next chapter