1 Bab 1 Kematian Mendadak

Isak tangis terdengar memenuhi rumah besar itu. Di ruang tengah, sebuah peti mati telah berada di ruangan tersebut sudah beberapa jam lalu. Peti mayat tersebut dikelilingi oleh rangkaian bunga indah yang mengelilinginya dan di depan peti itu tengah berdiri sosok wanita dengan menatap sendu ke peti itu.

"Sabar, Neng. Yang ikhlas agar jalannya mudah di sana!" ucap pelayat wanita pada seorang wanita muda dan duduk tak jauh dari sosok yang terbaring serta tak bergerak sejak 3 jam lalu.

Mata bulatnya menatap datar pelayat yang berceloteh dan mengelus bahunya pelan. Tak ada niat dia membalas ucapan orang itu dan masih saja bungkam. Matanya bahkan tak menoleh sedikit pun serta tak terlihat ada tetes air mata di pelupuk matanya. Beberapa orang pelayat yang melihat wanita muda itu hanya memasang raut bingung serta iba padanya dan bergeser perlahan untuk menjauhi dia yang seperti patung.

"Apa dia stress karena suaminya meninggal, ya?" bisik kasak-kusuk dari mulut beberapa wanita yang duduk tak jauh darinya.

"Sepertinya begitu, Jeng. Namanya juga ditinggal mati suami. Baru saja menikah tadi pagi, tapi sudah ditinggal mati. Matinya tragis pula!" Gunjingan terus terdengar silih berganti dan masih bisa ditangkap dengan jelas oleh wanita muda itu yang tak minat berbicara.

"Kasihan, ya, Jeng. Baru nikah dan masih muda sudah jadi janda," timpal wanita satunya.

"Iya, janda muda."

"Lebih tepatnya janda bengsrat, Jeng?" ralat wanita yang terlihat lebih tua.

"Iya, Jeng. Kasihan, ya. Susah kalau sudah takdir. Semoga dia bisa bawa diri di tengah masyarakat yang akan mencemoohnya dengan segala omongan tak baik dan akan dituduhkannya kelak. Maklumlah, kebiasaan masyarakat kita pasti menganggap miring seorang janda. Semua gerak-gerik diamati dan digunjingkan. Banyak salahnya jadi janda. Apalagi macam Neng Elle yang bening begini!" timpal wanita berperawakan tambun.

Kedua wanita itu menatap terus pada sosok Elle yang hanya diam seolah tuli. Matanya hanya menatap tanpa ekspresi peti jenazah yang beberapa jam lalu telah sah menjadi suaminya. Matanya mengerjap lambat dengan bibir tertutup rapat. Tak ada air mata, apalagi suara isak tangis keluar dari bibir tipisnya yang merah. Dia menelan ludahnya pelan dan menautkan jari-jari tangan serta menatap datar cincin yang melingkar di jari manisnya, lalu tersenyum tipis. Senyum tipis itu tentu nampak oleh beberapa orang pelayat yang tak beralih padang dari Elle sejak tadi dan berkerut kening.

"Ya Tuhan. Sepertinya dia benar-benar gila, Jeng!" oceh wanita tadi sambil menyenggol tangan kiri temannya yang tambun.

"Apaan, Jeng?" tanya wanita itu.

"Dia malah senyum-senyum sendiri macam orang gila. Coba itu lihat!" katanya menjelaskan apa yang barusan dia lihat.

Mata wanita itu langsung beralih pada Elle diikuti pelayat lain yang ikut mendengar cicitan itu dan mulai ikut berkasak-kusuk akan apa yang mereka lihat.

"Dasar wanita aneh. Suami meninggal bukannya nangis, malah cengengesan!" bisik pelayat lain.

"Iya, ish! Sudah bisa diduga model janda begini ke depannya akan seperti apa!" timpal lainnya.

"Ya, pasti janda gatel dong!" sambung wanita satunya dengan bibir yang nampak menyan-menyon akibat ocehannya dan nampak begitu sinis.

Elle tak tuli. Beberapa keluarga yang ada di sekitar jenazah juga bisa mendengar gunjingan itu. Mereka hanya mampu menahan emosi di tengah duka cita yang tengah terjadi dan sebagian menatap iba pada Elle yang bernasib tak baik. Tak berapa lama, seorang pria dengan peci hitam menghampiri jenazah dan memeriksa tepat di depan Elle, hingga beberapa orang ikut mendekat dan sontak membuat Elle mundur.

"Ayo angkat petinya!" Dengan hati-hati mereka membawa peti itu untuk segera dibawa ke tempat pemakaman. Seorang wanita berjalan cepat mendekati Elle yang kembali duduk dengan tenang dengan jari bertautan satu sama lain serta menunduk.

"El, ayo ke kamar!" ajak wanita itu lembut berbisik di depan telinganya karena wajahnya nampak pucat.

Elle menoleh dan menatap wanita itu sejenak dan mengangguk pelan. Dia bangun perlahan di mana tangannya dipegang oleh wanita itu seolah khawatir jika Elle pingsan atau terjadi hal tak diinginkan. Mereka melewati para pelayat yang memandang Elle dengan tatapan bermacam-macam. Ada yang memasang raut iba dan ada pula seolah mencibirnya. Namun, Elle tak perduli dan tetap melangkah yakin menuju kamar.

Tak berapa lama, sampailah Elle di kamar yang cukup besar dan telah dihias dengan indah layaknya kamar seorang pengantin. Wanita itu mendudukkan Elle di tepi ranjang dan kembali berucap.

"Mau minum teh hangat?" tanyanya pelan.

Elle menatap datar dan mengangguk pelan kemudian.

Wanita itu mengulas senyum tipis dan beranjak dari kamar untuk menuju dapur. Kini, tinggallah Elle sendirian di kamar dan termenung menatap pintu kamar yang ditutup. Elle menarik nafas pelan. Matanya menyisir setiap sudut ruangan itu yang nampak indah dan serba putih, lalu bergumam.

"Kau belum mati, Kak."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Elle kembali terdiam. Dia menatap ranjang dengan tatapan sendu, bahkan dia membayangkan jika ada suaminya tengah duduk dan tersenyum ke arahnya. Seolah nyata, Elle tersenyum menatap balik ke ranjang kosong tersebut, lalu berjalan mendekat dan duduk di tepinya. Tangannya terangkat dan mendarat pada kasur, lalu mengelusnya dengan lembut.

"Sprei ini sengaja kupilih agar menjadi saksi saat malam pertama kita. Apa Kak Ben suka?" tanya Elle seolah Ben ada di hadapannya.

Elle menarik sebuah bantal dan memeluknya erat seperti itu adalah Ben yang selama ini dia cintai. Baginya, sosok Ben benar-benar nyata karena selama hidup Elle, hanya Ben, sosok pria yang ada dan berani mendekatinya karena sifat Elle yang pendiam dan sulit didekati.

Tak lama berselang, Emina akhirnya masuk kembali ke kamar sambil membawa cangkir berisi yeh hangat serta roti dengan selai coklat yang senfaja dia buat agar Elle memakannya, meskipun sedikit saja.Emina menghampiri Elle yang tengah memeluk bantal itu dengan erat. Emina bisa lihat dengan jelas, jika mata Elle terpejam begitu erat. Dia lihat ada setetes air mata di sudut bibirnya. Emina tertegun dan berdiri menatap iba padanya tanpa berkata. Antara bingung dan sedih, Emina tak harus berkata apa guna menenangkan Elle. Terlihat dia menarik nafas panjang dan akhirnya duduk di samping Elle yang tak terganggu sama sekali.

"Dek, ini teh hangatnya. Diminum dulu!" ucap Emina dengam suara lembutnya.

Elle membuka matanya perlahan dan mengangkat kepalanya guna menoleh pada Emina tanpa melepas bantal yang ada dalam pelukannya.

"Ayo!" seru Emina lagi.

Tanpa menjawab, Elle meraih cangkir itu tanpa melepas bantal dan dia biarkan ada di pangkuannya. Dia meneguk teh itu perlahan, lalu menyerahkan kembali pada Emina yang langsung meletakkannya ke nakas.

"Aku mau lihat pemakaman itu, Kak!" ucap Elle pelan dengan wajah datarnya.

Emina bergeming untuk sesaat. Dia menatap wajah Elle yang tak berbinar. Matanya terlihat sayu dan kosong seperti tak ada ruhnya. Emina tersenyum kecil dan mengangguk. Tak ada alasan bagi Emina untuk menahan Elle agar tak menghadiri pemakaman suaminya sendiri.

"Ayo!" sahut Emina lembut.

Elle mengangkat bantal dalam pangkuannya dan meletakkan kembali ke posisi semula. Bahkan, dia mengelus sebentar dan mengulas senyum. Hal itu tentu dilihat oleh Emina yang terenyuh. Hatinya merasa miris melihat sikap Elle yang dia yakini tak percaya akan kematian Ben karena mendadak dan begitu tragis. Siapa pun pasti akan tak percaya jika orang tercinta harus menghadap pada Tuhan dengan cara seperti itu.

Elle akhirnya bangun dari duduknya. Tangan kiri Emina tak segan meraih lengan Elle guna menyalurkan kekuatan padanya dan menjaga jikalau Elle tumbang akibat rasa sedihnya yang bisa meledak setiap saat. Meskipun suara tangis tak keluar dari bibir ranum Elle, tapi Emina yakin, jika hatinya sangat kalut. Mereka keluar kamar dan menuju depan rumah di mana mobil jenazah sedang bersiap menuju pemakaman. Satu demi satu, kerabat dan kolega masuk ke mobil untuk ikut serta mengantarkan Ben ke peristirahatan terakhirnya.

avataravatar
Next chapter