2 PART 01

PART 01.

Aliando Pov

Sekarang aku sedang di salah satu hotel, gara-gara kejadian di bandara. dasar cewek sialan. Pakai acara tuduhan sembarang. Untung saja para petugas tidak terlalu mencurigakan diriku. Kasihannya cewek ini yang ada di samping ku. Tapi, gara-gara dia juga. Aku diskors sama atasan.

"Om... Kita sekamar? Jangan, loh, om. Gue masih polos," ucapnya.

Dari tadi mengomel mulu ini cewek. Tidak capek ya merepet terus. Aku cueki saja. Toh yang salah dia sendiri. Kenapa harus aku di libatkan. Sekarang lebih baik aku istirahat, banyak yang bisa aku kerjakan selain liburan di Jakarta.

"Om..."

"Ihh ... Om ..."

****

Prilly Pov.

Gue ikuti dia ke mana pun pergi, soalnya gue tinggal di mana? Jakarta hanya tempat liburan gue. Belum lagi, gue sudah nggak kontrak di sana lagi.

Masa bodohlah, gue mengekori dia saja dulu deh. Mana tahu dia baik sama gue. Tapi, dari tadi gue mengoceh, dia diami mulu. Apa ia bisu ya?

"Om... " panggil gue. Gue nggak tahu mau panggil dia apa? Nama saja nggak tahu.

Terus dilihat dari perlihatan gue, usianya 30an deh. Gue panggil mulu. Kok nggak ada jawab sih. Sampai di hotel depan kamar. Jangan bilang gue sama dia tidur barengan. Oh.. tidak. Jangan dulu. Gue masih polos. Tidak mengerti apa itu namanya ena-ena.

"Om ... kita sekamar? Jangan, loh, om ... Gue masih polos," kataku. Tetap diam. Ini orang benar-benar bisu apa, benar-benar nggak peduli sih?

"Om... Dari tadi kok diam mulu sih? Jawab kek atau apa gitu. Capek gue merepet. Sampai berbusa pun tidak di sahuti. Nggak baik, abaikan cewek seperti ku," kataku lagi.

Lah ... dia ngapain buka baju. Aduh ... jangan buka di sini. Mata gue ternoda.

"Aaarhhhh!!!" pekikku.

Gue intip dari sela jari, ya tuhan... Kenapa gue harus jumpa om mesum ini. Tapi, di lihat - lihat. Tubuhnya perfect banget. Atletis. Terus... Sixpack. Seumur hidup gue nggak pernah lihat tubuh seperti itu.

****

Prilly memekik saat Aliando membuka baju nya. Telanjang dada, Aliando menoleh ke belakang melihat Prilly sudah menutup matanya, namun masih mengintip. Aliando menggeleng kepala, senyum kecil. Kemudian, masuk ke dalam kamar mandi.

Prilly terpesona dekat tubuh atletis, sixpack milik Aliando. Prilly sampai merah di wajahnya. Belum lagi dia memukul otaknya.. Pasti mikir hal yang aneh.

Aliando selesai bersih diri nya. Sekarang handuk kecil tergantung di pinggangnya. Rambut basah. Prilly duduk di sofa tidak jauh dari ranjang ukuran medium.

Prilly melirik lagi, matanya mendelik bulat sempurna. Tersipu malu di alihkan pandangannya ke arah jendela.

Aliando benar begitu sexy saat telanjang dada, dan rambut basah habis mencuci rambut. Bagaimana dengan mereka berdua satu kamar. Belum lagi mata Prilly telah ternodai dengan pandangan yang tidak sah itu.

Merasa di dekati oleh seseorang, yang Prilly duduk.. Pandangannya menoleh sedikit. Prilly tidak kuat. Matanya ternoda. Oh tidaakkk ... teriaknya dalam hati.

"Om mau ngapain?" Tiba-tiba Prilly bersuara. Aliando menghentikan langkahnya.

"Memang kenapa?" tanya kembali Aliando.

"Om ... Ngapain ke sini. Mata gue ternoda lagi, om!" jawab Prilly sulit menitipkan matanya.

Aliando mengangkat satu alis merasa bingung. Tidak ia peduli dengan jawabannya. Yang ia perlukan adalah ambil baju dekat di mana Prilly duduk itu.

Saat Aliando mulai mendekat tempat duduknya Prilly. Prilly tercekat mundur menatap aroma sabun di tubuh Aliando. Aliando menatapnya tajam. Prilly terpejam mata. Prilly pasrah jika ciuman pertamanya harus hilang.

Aliando menatap wajah Prilly sekilas, kemudian, di tarik tas tepat di belakang Prilly. Prilly membuka satu matanya untuk mengintip. Aliando sudah memakai bajunya lengkap sana celana.. Prilly merasa lega ciumannya selamat.

****

Malam telah tiba, Prilly uring - uringan di sofa bolak-balik memegang perutnya serasa sakit. Dia lapar. Lapar sangat banget.

"Haduuhh...!!! Lapar!!! Om... nggak cari makan? Gue lapar nih, Om!" seru Prilly menoleh arah Aliando duduk fokus pada laptop-nya.

Aliando tetap diam tanpa menjawab. Prilly bangun dari sofa menatap lurus pandangannya pada Aliando.

"Ck! Cuek banget, jadi manusia," gumam Prilly, berdiri kemudian keluar dari kamarnya.

Dia ambil kartu kamar untuk jaga-jaga jika ia benar-benar sudah selesai mencari makanan. Aliando bisanya menggeleng kepala.

***

Prilly Pov

Cari makanan apa ya, gue benar-benar lapar banget. Kota ini besar sekali. kesasar nggak ya. Hufft ... Nasib gue kenapa bisa begini sih, Tuhan!

Celingak-celinguk, rasanya sana enak. Ah ... Hah?! Punya ide cemerlang. Bilang saja yang bayar Om itu. beres deh.

"Mbak mau pesan makanan, bisa? Tapi yang bayar kamar 704, ya. Saya keponakan dia," ucapku pada pelayan di restoran ini.

Nah, sekarang sudah tersedia makanan di meja gue. Lezat banget. Boleh deh, kalau begini terus. Bisa kapan pun makan suka gue. Hihihi ...

***

Aliando Pov

Ada bel dari arah kamarku, siapa? Bukannya itu cewek ambil kartu. Jangan bilang menghilangkan kartu kamar ini lagi. Benar merepotkan. Ternyata bukan, seorang pelayan dari restoran bawah hotel Jakarta ini. Ada apa ya?

"Dengan Bapak Aliando Syarief Putra?" ucapnya.

"Ya, saya sendiri. Ada perlu apa?" jawabku, dia memberikan bill padaku.

"Apa ini?" tanyaku heran

"Pembayaran makanan, Pak," jawabnya

"Saya tidak memesan makanan. Kenapa saya harus membayarnya?" tanyaku lagi

"Ada seorang wanita berusia dua puluh tahunan katanya keponakan anda. Dia meminta kami menagih pada anda." jawabnya menyebutkan ciri - ciri seorang wanita.

"Apa dia cewek sialan itu?" batinku.

"Bagaimana, Pak?" tanyanya.

"Dia bukan keponakan ku," jawabku bersih kekeh

"Tapi, Pak. Kata nona tadi, kalau Bapak tidak membayarnya dia bakaran hancuri restoran kami. Bagaimana dong, pak." lanjutnya lagi.

Itu dia, sudah kembali dengan wajah berseri-seri. Prilly menggigit tusuk gigi di mulutnya.

Aku menatapnya tajam, tapi malah di cueki. Maksudnya apa-apaan ini. Kenal saja tidak.

"Bagaimana, Pak?" tanya pekerja itu. berdiri terlalu lama.

"Baiklah, berapa semuanya," jawabku.

"Dua juta lima ratus enam puluh tiga ribu delapan puluh lima rupiah koma enam sen." sebut pekerja itu. Aku terbelalak.

"Apa?! Berapa?!" Sekali lagi aku bertanya. Tidak salahkan aku mendengar nilai pembayaran makanan si cewek sialan itu?

Aku mengecek kembali bill di tangan pekerja itu. Ya Tuhan, bangkrut hidup ku. Perut macam apa dia.

"Kembaliannya untuk kamu saja," ucapku.

"Terima kasih, Pak," ujarnya lalu pergi dari kamar inap ku.

Aku kembali masuk dan menutup pintu itu. Cewek sialan itu malah santai duduk di sofa sambil memainkan ponsel miliknya. Tidak ada dosanyakah dirinya.

"Makasih, Om. Sudah bayarin... Sering, ser–"

"Tidak ada!" potong ku langsung.

"Ih ... om. Jangan marah dong. Habisnya gue nggak punya sepersen pun di kantong. Apalagi uangku lenyap gara bayar imigrasi bandara. Kalau gue mati kelaparan di sini, Om mau tanggung jawab. Mau kabari ke mama sama papa gue?" oceh Prilly panjang lebar.

"Di mana rumahmu?" tanyaku.

"Buat apa tanya rumah gue? Gue nggak punya rumah," jawabnya

"Kamu kabur dari rumah? kalau tidak punya rumah." tanyaku sekali lagi.

"Tidak! Siapa bilang gue kabur. Gue mau liburan ke New York. Terus, Om kenapa tidak melakukan penerbangan. Malah santai di sini?" jawabnya lalu kembali bertanya padaku.

"Ini'kan karena kamu juga. Tidak asal menuduh saya ambil obat terlarang," jawabku.

"Sembarang saja, kok gue. Ya gue sebut pria yang baru masuk ke dalam. pesawatkan bukan Om. Ada pria lainnya juga ikut masuk. Terlalu geer jadi cowok," katanya.

Pasrah sajalah hadapi dengan cewek liar ini. Mending aku tidur saja. Biarkan dia mengoceh sesuka dirinya.

***

Paginya, terik matahari telah tinggi menyinari sekeliling kamar menginap Aliando dan Prilly. Prilly tidur di sofa ukuran setara dengannya. Kecil. Tanpa ada selimut untuk menyelimutinya. Rasa dingin atau tidak pun, tidak di rasakan oleh Prilly lagi.

Sedangkan Aliando, tidur dengan nyenyak di selimuti oleh bedcover tebal, serta bantal dan guling menemaninya.

Suara ponsel berbunyi, terdengar oleh Aliando. Aliando membuka matanya mencari ponselnya di nakas tempat ia tidur. Bukan miliknya yang berbunyi. Di cari ponsel siapa yang berbunyi begitu keras.

Ternyata milik Prilly, Prilly tidak bangun-bangun dari tadi. Dengan Suara ringtone ponsel miliknya tidak terdengar atau benar kerbou. Aliando turun dari tempat tidurnya, di ambil ponsel milik Prilly di sebelah tempat ia tidur. Dimatikannya. Lalu, Aliando meletakkan kembali ponselnya seperti semula.

Ponselnya kembali berbunyi lagi. Aliando yang ingin melanjutkan tidurnya, terusik kembali. Di ambilkan di matikan, kalau bisa di matikan langsung. Aliando tidak melanjutkan tidurnya, ia lebih memilih masuk ke bathroom. Beberapa menit kemudian, Aliando keluar dari bathroom telah segar bugar setelah mandi. Aliando tidak pedulikan Prilly yang asyik tertidur tak bangun-bangun. Aliando keluar untuk joging sebentar.

Satu jam kemudian, Aliando kembali dari Jogingnya. Aliando melihat jam tangan miliknya di nakas. Sudah hampir jam 10 pagi. Prilly belum juga bangun. Aliando membiarkannya. Mungkin Aliando berpikir Prilly tukang tidur.

Tidak lama kemudian, Aliando kembali lagi. Dia tadi habis keluar beli beberapa makanan untuk di isi perut. Dia duduk di tempat tidur nya sambil membuka bungkusan. Melirik sebentar melihat Prilly masih juga belum bangun. Aliando turun dari tempat tidur nya, kemudian mendekati Prilly.

"Hei! Bangun!" Aliando mencoba membangunkannya.

Aliando mendekati Prilly di pukul pipinya untuk bangun. Saat di sentuh, rasa panas menyerang kulit Aliando. Aliando memegang kening menggunakan punggung tangannya. Dilihatkan wajah Prilly sangat pucat, berkeringat.

Napas Prilly naik turun semacam sesak nafas. Aliando segera mengangkat tubuh Prilly di pindahkan ke atas tempat tidurnya. Di selimuti Prilly terlebih dahulu. Kemudian Aliando memanggil dokter.

Lalu Dokter datang dan langsung memeriksanya. Aliando menunggu dokter menanganinya. Setelah selesai, dokter itu memberikan resep pada Aliando untuk di tembus.

"Dia hanya gejala Flu saat suhu udara AC terlalu dingin dan penyakit sesaknya kambuh lagi. Jadi obat kamu tembus saja ya," jelas Dokter itu. Aliando menerima resepnya. Kemudian mengantar dokternya sampai di depan pintu.

****

Prilly membuka matanya, kemudian dia bingung sejak kapan berada di tempat tidur.

Aliando baru saja dari apotek membeli obat resep. Prilly bangun dari tempat tidur, di sana Aliando mencegah nya untuk berbaring kembali ke tempat tidurnya.

"Kamu tidur saja di sini," ucap Aliando.

"Tapi, Om ..." kekeh Prilly.

"Kenapa gue bisa di sini, Om. Om yang pindahi gue ya?" Prilly mencoba mengingat, tapi, ia tidak ingat Sama sekali.

Aliando diam tidak menjawab, dia membuka bungkusan makanan yang memang ia beli lagi. Membawa menyerahkan pada Prilly. Prilly menatapnya terheran - heran.

"Om ..." panggil Prilly. Aliando berdiri lebih memilih duduk di sofa.

"Makan saja dulu. Setelah itu minum obat ada di meja sana," ujarnya datar.

Prilly menoleh arah meja di sebelahnya, ada beberapa obat di sana. Dia masih bingung, sebenarnya ada apa sih dengannya.

"Om... Itu obat siapa?" tanya Prilly,

"Obat kamu," jawabnya singkat.

"Obatku. Gue nggak sakit, kenapa beli obat?" tanyanya lagi.

"Sudah di minum saja. Nanti malam kamu tidur di sana saja. Saya tidur di sini." jawabnya datar tanpa ada ekspresi senyum atau bagaimanalah.

"Tapi ..."

"Saya bilang tidur ya tidur. Nanti kamu sakit lagi, saya yang repot," ucapnya kemudian.

Prilly terdiam, Sakit. Di lihat bungkusan obat, sama seperti obat yang di berikan oleh Jo. "Apa sesak nafas gue kambuh lagi," batinnya dalam hati.

Prilly menyuap sendok bubur ke mulutnya. Habis tak tersisa. Sepertinya Lapar banget si Prilly. Setelah itu, Prilly membuka bungkusan obat di masukan ke mulutnya lalu lanjut meminum air putih segelas. Selesai.

Prilly membuang bungkusan ke tong sampah. Di sana Aliando duduk sambil melihat laptop di pangkuannya. Prilly ingin mendekati, tapi ia ragu. Prilly ingin mengambil ponsel dengannya.

Aliando masih fokus pada laptop -nya. Prilly duduk di samping nya. Prilly membuka ponselnya. Di lihat panggilan lima tidak di jawab.

"Apa!!" pekik Prilly spontan. Membuat Aliando menoleh sejenak.

Prilly segera menelepon tapi pulsanya tidak cukup. Prilly terpaksa menoleh Aliando.

"Eh... Om... Boleh pinjam ponselnya. Mau telepon teman. Sebentar saja. Pleasee..." Prilly memohon agar di pinjam.

Aliando meminjamkannya, sebenarnya ia ragu. Setelah itu, Prilly sedikit menjauh dari tempat duduk Aliando. Aliando terus memperhatikan gerak-gerik Prilly mencurigakan.

"Jo... Ini gue, Prilly. Sorry ... ponsel gue kehabisan pulsa. Gimana di sana enak nggak?" tanya Prilly di seberang telepon.

"Enak lah, elo kemana saja. Kenapa gak datang. Banyak orang bule di sini. Ramah banget malahan. Nyesel kalau lo gak datang," jawab Jo di luar telepon.

"Gimana gue bisa ke sana. Sedangkan paspor gue sudah di blacklist. Gara gue terlambat masuk. Belum lagi gue asal tuduh orang. Jadi di blacklist, gimana dong. Gue pengen ikut ke sana," ucap Prilly menyesal tidak cepat ke sana.

Aliando memperhatikan, apa yang dibicarakan telepon itu. Dari larut wajahnya Prilly menyesal tidak bisa ke sana.

"Apa?! gila lo ... lo ngomong begitu. Nggak menyangka gue lo bisa senekat ini. Kenapa lo gak pulang saja ke rumah bonyok lo. Mereka pasti khawatir sama lo," ujar Jo membujuk agar Prilly bisa pulang lagi ke rumah orang tuanya.

"Gue nggak bakal pulang. Kalau bonyok masih jodohi gue sama Kakek – kakek," ucap Prilly memelankan suaranya.

"Eh... Jo. Sudah dulu ya. Gue pinjam ponsel orang lain. Nanti bengkak lagi pulsanya. Nanti kabari gue ya." Sudahi Pembicaraan bersama Jo.

Prilly mengembus napasnya panjang. Membayangkan orang tuanya masih mengotot jodohi pria berkumis. Kalau bukan cara nekat kabur, pinjam uang sama temannya yang bernama Jo ikut menyusul ke New York. Tapi, nasibnya naas harus di blacklist dari bandara. Prilly mengembalikannya pada Aliando.

"Makasih," kata Prilly.

Lalu duduk di samping Aliando lagi. Prilly menculik pandangan di laptop Aliando. Seperti bisnis perusahaan.

"Om... punya bisnis perusahaan ya?" tiba Prilly bersuara selama beberapa menit hening.

"Hmm," dehemnya

"Tapi, bukannya Om, kapten Pilot?" tanya Prilly lagi.

Tak ada tanggapan

"Jadi pilot itu susah ngggak sih, Om." Lanjut lagi Prilly mengoceh.

Tak ada tanggapan lagi

"Sepertinya enak ya, Om. Jadi Pilot apalagi pramugari. Bisa jalan-jalan kelilingi dunia. Gue kapan ya, Om. Om... Gue mau curhat boleh?" tanya Prilly.

Masih tidak ada jawaban dari Aliando. Prilly mulai bercerita, ini tentang dirinya. Bagaimana jadinya ia menerima perjodohan yang bukan keinginannya.

"Om, pernah di jodohi sama orang tua sendiri nggak?" curhat Prilly mulai bercerita.

"Tidak."

"Om, tahu nggak. Kenapa gue lebih memilih kabur dari rumah. Daripada di jodohi orang tua yang bukan dasar keinginan sendiri. Gue tahu, orang tua gue pengin buat hidup lebih normal lagi. Tapi, Om. Rasa nggak, perjodohan itu bukan sekedar janji. Tapi, sekedar penjualan. Gue mau di jual sama orang tua sendiri karena banyak hutang di mana-mana," cerita Prilly membuat Aliando menghentikan aktivitasnya.

Mendengar curhatan Prilly membuatnya teringat masa traumanya. Dia juga pernah di jodohi, tapi semua berakhir karena wanita yang pernah ia cintai lebih memilih hartanya daripada cinta. Sehingga membuat Aliando dingin terhadap wanita mana pun mendekatinya.

avataravatar
Next chapter