webnovel

Pangeran Es

"Sebenarnya, Den Elvan juga pemakan apa saja sih, Non. Hanya saja kalau di rumah dia memang lebih sering meminta masakan ikan," jelas sang Bibi.

Nesya mengangguk paham. Kenapa dia malah bertanya tentang lelaki miskin tersebut. Tidak penting banget, orang kampung 'kan memang sukanya ikan, batin Nesya.

Lanjut makan sesuap demi sesuap, sedikit lagi ayam di dalam nampan habis dilahap Nesya. Namun masuknya sang suami lagi-lagi mengganggu, terlebih wanita itu benci sekali melihat wajah Elvan.

"Bibi permisi ke dapur dulu, Non," pamit Bi Titin.

"Eh, Bi," cegah Nesya. "Ini bawa saja, saya sudah enek makannya. Nggak selera kalau lihat muka dia." Mendorong nampan tersebut, Nesya pun menatap tajam Elvan di depannya.

Sang Bibi terdiam dengan pandangan sama tertuju kepada sang Majikan. Namun Elvan dengan santainya justru mengangguk pada wanita paruh baya tersebut.

"Baik, Non. Bibi permisi." Pergi dengan membawa nampan, si Bibi berhenti sesaat di depan sang Tuan rumah. "Permisi Den," sopannya.

Elvan mengulas senyum lembut. "Terima kasih, Bi," paparnya.

"Sama-sama, Den."

Hilangnya sang Bibi dari pintu membawa kaki Elvan semakin mendekat pada ranjang sang istri. Berdiri di samping Nesya yang sudah memilih rebahan memunggunginya, lelaki berpenampilan sederhana tersebut pun selalu tersenyum lembut menanggapi gadis judesnya.

"Sudah kenyang?" tanyanya.

"Kenyang gue kalau lihat muka lo."

Setidaknya Nesya masih mau menanggapi dirinya. "Masih sakit?" lanjut Elvan bertanya.

"Makin sakit kalau lihat muka lo."

"Mau aku panggilin Dokter?" tawar Elvan.

Dan diamnya Nesya, Elvan anggap sebagai jawaban iya. Merogoh saku, lantas ia pun menelpon seseorang tanpa sedikit pun menjauh dari sana.

"Lo bisa ke rumah gue?" tanya lelaki tersebut pada benda mati yang sudah tertempel pada pipi dan telinga.

"Kenapa? Lo sakit?"

"Jangan banyak tanya, pokoknya lo sekarang ke rumah secepatnya."

"Iya-iya." Nada sahutan di seberang sana pun terdengar kesal. Namun Elvan sepertinya sudah biasa. Mematikan ponsel, ia pun kembali bersikap lembut pada Nesya yang ternyata sudah menelentangkan tubuh dan menatap kepadanya.

"Sebentar lagi Dokter Mirza akan datang ke sini, nanti ada Bibi yang menemani kamu di sini."

Elvan berbalik. Namun Nesya segera mencegat kepergian suaminya itu.

"Lo mau ke mana?"

Elvan kembali berbalik dan menghempaskan napas dengan sesalnya. "Aku ada urusan sebentar," terangnya.

"Di luar?" lanjut Nesya bertanya.

Antara mengangguk dan menggeleng, lelaki itu tampak ragu memberikan jawaban. "Di kafe depan komplek." Akhirnya dia mengatakan dengan jelas tempatnya.

Memilih tidak bertanya lagi, Nesya pun kembali memunggungi Elvan.

Sementara lelaki itu, tampak sudah di desak oleh waktu. Dia menganggap toh Nesya juga tidak peduli sekalipun dia tidak balik juga.

"Aku pergi ya?" Menutup pintu, ia tinggalkan sang istri begitu saja.

Nesya memberenggut kesal. "Dia yang bikin aku sakit, malah pergi begitu saja," gerutu gadis itu. "Mana tanggung jawab yang katanya jadi suami?"

Ceklek!

Pintu terbuka. Nesya pun segera memejamkan mata karena dia mengira Elvan-lah yang kembali ke kamarnya. Namun prasangkanya salah.

"Permisi, Non. Saya bawa Dokter Mirza ke sini."

Nesya segera menelentang dan mencoba duduk. Ternyata Sang Bibi dan seorang lelaki tampan berjas putih masuk ke dalam kamarnya.

"Jangan bangun," cegah Dokter muda itu. Segera mendekat pada ranjang, dia refleks memegang kedua bahu Nesya dan meletakkan tas kerjanya begitu saja.

Bak di film drama. Dua orang berbeda jenis itu pun sontak saling melempar tatapan. Terpaku dalam satu garis lurus, netra yang sama-sama coklat tidak berkedip menyelam ke bola mata terdalam.

"Ehem!"

Deheman bariton menyadarkan keduanya, lantas saling menarik diri, Nesya maupun Mirza menatap pada asal suara.

"Elvan." Saking kagetnya, Nesya sampai menyebut nama suaminya, padahal biasanya dia memanggil Elvan dengan sebutan "Si Cowok Miskin"

"Lo nggak jadi pergi?" tanya Mirza begitu saja.

Wajah datar lelaki itu mampu membekukan Nesya. Lirikan tajam sang suami membuat ciut nyali. Apa dia marah? batinnya.

Kring!

Sebelum Elvan menjawab pertanyaan Mirza, dia pun mendapat panggilan pada ponsel yang berada di genggamannya. Memilih menjawab begitu saja, tanpa melihat nama di layar dia tahu itu siapa.

"Maaf Pak, tadi saya lagi di jalan. Ada apa, Pak?"

Tanpa ekspresi, mata Elvan masih menyorot sang istri. "Tidak jadi. Saya akan segera sampai ke lokasi," tegasnya.

"Baik, Pak."

Lantas menoleh pada Mirza setelah ponsel mati. Dokter muda itu sudah mendapatkan jawabannya dari pembicaraan Elvan di telpon.

"Gue hanya ingin mastiin kalau lo datang ke sini dan periksa teman gue dengan benar." Namun Elvan tetap memberikan alasan kenapa dia kembali ke kamar itu.

Teman? Sukma Nesya rasanya tidak terima, tapi apa mau di kata. Toh dia yang minta untuk merahasiakan semuanya.

"Wo! Pasti dong gue datang, mana mungkin kalau lo yang panggil gue nggak datang. Apalagi buat periksa pasien secantik ini."

Lirikan Elvan benar-benar menusuk tajam jantung Nesya. Tidak banyak bicara. Lelaki yang biasa ramah tamah itu pun tidak seperti biasanya. Berbalik dan pergi begitu saja, dia bahkan tidak pamit pada siapa pun juga.

Apa dia marah ya? batin Nesya.

Rasa takut pun menghantui, sebab sikap Elvan tidak seperti biasanya.

Dia marah juga bodoh amat, Nes. Malah bagus kalau sampai dia mau ceraikan lo 'kan?

Bisikan itu pun membuat Nesya senantiasa acuh. Tidak peduli lagi pada Elvan yang juga menghilang, dia fokus pada Dokter Mirza yang mulai memeriksanya.

Sementara lelaki berjas putih tersebut sudah mengenal lama Elvan. Menatap Nesya dengan dalam, batinnya pun bicara untuk menebak kenyataan.

Dia cemburu, wanita ini pasti bukan hanya sekedar teman. Lagi pula si cowok kulkas itu mana pernah bawa wanita ke rumahnya selain ....

"Dokter, anda tidak apa-apa?"

"Ah!" Mirza tersentak dari lamunan akibat teguran Nesya. "Apa yang sakit?"

Lebih baik dia melakukan tugasnya dengan benar sebelum si pangeran es mengamuk padanya.

Nesya mengeluhkan perutnya yang memang agak nyeri karena kebanyakan muntah tadi. Dia juga menceritakan kalau ia alergi ikan dan oleh sebab itulah dia muntah-muntah dan sakit sekarang.

"Pasti si pangeran es itu ya yang paksa kamu makan ikan?" tebak Mirza tepat sasaran.

Nesya melirik sang Bibi sembari mengangguk. Memang pada kenyataannya seperti itu 'kan? Elvan yang memaksanya makan ikan.

"Dasar lelaki kejam, dari dulu tidak pernah berubah. Hanya saja saya tidak mengerti dengan dengan nasibnya, selalu dikejar-kejar wanita, apalagi si ...."

"Oh iya, saya lupa. Dokter Mirza mau minum apa? Biar saya buatkan."

Kali ini Bibi harus ikut campur dan menyela pembicaraan Mirza. Semoga Dokter itu segera sadar kalau dia hampir keceplosan membuka masalah pribadi sahabatnya.

"Ah iya! Saya mau kopi, Bi." Mirza menampilkan deret gigi rapi, dia tahu maksud sang Bibi dan dia bersyukur tidak sampai keceplosan tadi.

Cih! Kalau dia memang banyak yang ngejar, kenapa maksa gue buat nikah sama dia. Lagian siapa sih yang terobsesi sama cowok miskin itu, batin Nesya.

Dan dia pun harus menyimpan rasa penasarannya tentang nama yang hampir disebutkan oleh Dokter Mirza.

***

Hai-hai gaes!

Maaf baru bisa up ya? Soalnya aku lagi ada kejar target di aplikasi sebelah. Next semoga bisa lebih perhatian sama novel ini. Salam hangat dari author ya.

Next chapter