webnovel

Makan Ikan Atau Kelaparan

Elvan menghempaskan tubuh penat ke sofa yang berada di kamarnya. Menghela napas berat, walau di rumah sepertinya dia harus kembali ke rutinitas awal.

Bekerja. Itu sudah pasti. Membuka benda canggih yang berlipat seperto buku, lelaki dengan balutan kaos putih dan celana joger itu pun berkutat dengan mouse dan dashboard laptopnya.

"Argh. Kenapa laporan satu ini belum beres juga. Angga bagaimana sih," omelnya.

Lantas merogoh saku, ia mengeluarkan benda canggih pribadinya. Memanggil salah satu kontak, Elvan membawa ponsel yang melekat di telinga ke arah balkon kamar.

"Hallo, Bos!" Rupanya sambungan telpon Elvan sudah terhubung dengan orang kepercayaannya.

"Kenapa laporan proyek yang di kalimantan belum selesai juga? Kamu tahu 'kan seberapa penting proyek itu untuk perusahaan kita?"

"Maaf, Bos. I-Ini m-masih s-saya kerjakan."

"Maaf-Maaf! Pokoknya saya tidak mau tahu! Besok pagi-pagi, saya tunggu laporan itu di meja saya. Kalau belum beres juga, maka kamu harus terima konsekuensinya!"

Tut-tut-tut!

Elvan menarik napas dalam dengan sebelah tangan memijat pangkal hidung. Kalau sudah berurusan dengan kantor, maka bangkitlah sisi lain dari dirinya.

***

"Siapa yang marah-marah?"

Nesya yang sedang meminum jus jeruk pun membawa langkah kakinya ke balkon. Mendengar ada suara keributan, ia penasaran ada apa gerangan.

Tidak mendengar jelas apa yang lelaki itu teriakkan. Nesya hanya mendapati Elvan berdiri di balkon sebelah dengan ponsel yang baru saja ia alihkan dari kuping ke genggaman.

"Konsekuensi?" gumam wanita itu yang hanya mendengar akhir kalimat Elvan. "Dia bicara sama siapa ya?"

Kepergok memerhatikan sang suami. Nesya pun jadi salah tingkah sendiri.

"Dia pakai acara lihat ke sini lagi," gumam Nesya.

Elvan yang tadinya kusut mengulas senyum lembut. Melambaikan tangan, ia pun mengedipkan sebelah mata guna menggoda.

"Ish. Dasar cowok miskin! Genit! Sok kegantengan!"

Bergidik geli. Nesya pun berbalik dan menghentakkan kaki, masuk ke kamar lagi ternyata sudah ada sang Bibi dan satu orang lelaki yang membawakan barang-barangnya.

"Taruh mana Non?" tanya lelaki itu.

"Taruh di situ saja, Pak," suruhnya.

Setelah menaruh dua koper milik Nesya, lelaki itu pun pamit keluar. Sementara si Bibi, sesuai perintah Elvan, dia membantu wanita itu menata barang-barangnya dalam kamar.

"Saya mau mandi dulu, Bibi lanjutkan saja ya," ujar Nesya yang sudah mengambil seperangkat alat mandi dan baju ganti. Masuk ke dalam kamar mandi, lagi-lagi dia disuguhkan kemegahan yang luar biasa.

Ruangan yang cukup luas dengan fasilitas lengkap. Ada dua wastafel tersusun di sana, satu kaca rias yang sangat besar, sebuah kloset duduk dan rak penyimpanan peralatan mandi.

"Gila! Ini gila." Nesya menggigit bibir dalamnya. Menapakkan kaki pada lantai marmer putih nan bersih. Dia menggeser sebuah pintu tabung kaca yang berdiri tegak di tengah-tengah. Di dalamnya terdapat shower, spa uap, dan juga bangku melingkar yang juga terbuat dari marmer.

"Di hotel mewah saja gue nggak pernah nemu kamar mandi semewah ini," komentar Nesya.

Keluar dari dinding kaca. Yang paling penting bagi Nesya adalah bathtub mewah yang dikelilingi bebatuan alam. Diletakkan di dekat jendela kaca berframe kayu jati.

"Wow! Gue benar nggak mimpi tinggal di sini 'kan?" gumamnya yang masih merasa tidak percaya, sebab masih terngiang saat Elvan mengatakan gubuk pagi tadi.

Menaruh baju dan handuk pada sofa yang sengaja disediakan untuk bersantai di sana, Nesya pun mengisi air pada bathtub. Menambahkan sabun dengan wewangian mawar, dia siap merendam diri, menikmati kemewahan ruangan ini.

***

Elvan menggelengkan kepala dengan senyum yang masih menghiasi bibirnya. Sang istri masih saja mengatainya "Cowok miskin" padahal sudah ia suguhkan kemewahan nyata yang ia punya.

"Apa dia benar-benar berpikir ini rumah orang lain?"

Ckck. Elvan pun memilih membiarkan saja pikiran konyol Nesya. Lantas kembali bekerja, ia berkutat lagi dengan laptop dan dokumen-dokumen lainnya.

***

12.54 WIB.

Elvan merasakan perutnya sudah mulai keroncongan. Menghela napas, ia pun beringsut meninggalkan berkas-berkas.

"Bibi masak apa ya?"

Keluar dari kamar, Elvan sontak turun dan memeriksa dapur.

"Wangi sekali, Bi," celetuknya yang sontak mengejutkan wanita paruh baya yang sedang bolak balik menyajikan makanan.

"Den Elvan." Si Bibi pun menghela napas. "Untung Bibi nggak jantungan," protesnya.

"He-he. Maaf, Bi."

Elvan semakin mendekat, melihat ada beberapa menu di meja makan, perutnya pun meronta ingin segera makan.

"Sudah siap, Den. Bibi Panggil Non Nesya dulu ya?"

"Biar Elvan saja, Bi."

Lelaki dengan balutan kaos putih polos itu pun berbalik dan melangkah lebar ke tangga. Berjalan ke arah kamar sang istri, ia pun mengetuk pintu.

"Nes," panggilnya.

"Nesya!" Mengeraskan sedikit suara karena tidak ada respon sedikit pun dari dalam sana.

"Apa dia tidur ya?" gumam Elvan. Mencoba sekali lagi, lelaki itu memanggil keras nama sang istri. "Nes! Ayo makan!"

"Sebentar!"

Akhirnya ada suara dari dalam. Mundur selangkah, Elvan menunggu sang istri membuka pintu lebih dulu.

Selang berapa lama, muncullah seorang wanita dengan balutan jumpsuit salur. "Ada apa?" tanyanya ketus.

Elvan meneguk saliva, menelan semua kata-kata. Kini fokusnya goyah, terganggu dengan penampakan bidadari di depannya. Nesya tampil menggoda dengan baju tanpa lengan, apalagi bagian paha yang hanya tertutup celana setengahnya.

"Eh cowok miskin! Ada apa?"

Nesya menyadarkan Elvan yang akhirnya gugup menggaruk kepala. Salah tingkah, lelaki itu pun segera meliarkan mata.

"I-Itu. A-Ayo kita makan," ajaknya.

"Owh."

Nesya berjalan lebih dulu. Mendahului sang suami yang susah payah agar tidak menatap kemulusan sang istri.

Sabar, Van. Meski dia sudah sah milik kamu, tapi kamu sudah janji tidak akan menyentuhnya kalau tidak ada cinta dan izin langsung dari Nesya, batinnya.

Beriringan masuk ke ruang makan. Nesya menatap seksama menu makanan. "Kok ikan semua?" celetuknya.

"Kenapa Non? Non Nesya tidak suka ikan?" tanya sang Bibi.

"Saya tidak suka ikan. Amis, banyak durinya."

"Kalau gitu biar saya masakin yang lain sebentar, Non."

"Tidak usah, Bi," cegah Elvan.

"Lho! Gue makan apa?" protes Nesya. "Lo mau pesanin gue makanan?" selidiknya.

"Kamu harus belajar makan ikan," ujar Elvan yang lantas menarik kursi dan duduk manis di sana.

"Nggak! Gue nggak bisa makan ikan," debat Nesya. "Gue jijik sama ikan. Oke! kalau lo nggak mampu belikan gue makanan lain, gue bisa beli sendiri."

Nesya mengeluarkan ponselnya. Membuka aplikasi yang menyediakan jasa membelikan makanan dan diantar sampai lokasi.

"Percuma. Kamu juga belum tahu alamat ini 'kan?" Elvan mulai menyendok nasi dan menaruhnya di atas piring. Mengambil satu ikan kakap yang berlumur kuah asam manis bawang.

"Gue bisa cek di maps," balas Nesya.

Elvan pun mengeluarkan ponsel dalam sakunya. Menghubungi seseorang, ia pun berbicara dengan lantang.

"Pak! Tolong jangan biarkan satu kurir pun masuk mengantar makanan."

Bola mata Nesya sontak melebar sempurna. Menatap tajam Elvan yang dengan santai menyimpan lagi benda canggihnya.

"Tidak ada pilihan lain. Makan atau kamu akan kelaparan," tukas Elvan yang lantas melanjutkan aktifitas dengan menu-menu yang sudah disediakan.

Next chapter