14 Tindakan Nyata

Karena cukup kelelahan, Kristina menolak bergabung dengan kami. Tapi setelah kuberi tahu bahwa Ibu membuat karedok, ia berharap makan siang yang terlambat itu akan setimpal.

Jadi, ya, tekad yang membulat itu mendapat dukungan penuh dari Josh. Itulah yang membuatku kemudian mengirim pesan pada Ibu lagi. Menanyakan apa yang dimasaknya hari ini setelah lebih dulu memastikan jam kerjanya di kantor notarisnya sudah selesai.

Saat kami tiba, Ibu tengah meniriskan minyak dari gorengan yang baru dia angkat. Dapurnya dipenuhi aroma wangi makanan yang membuat perutku melilit dan menyadari bahwa aku saking laparnya.

Ibu menyambut kedatangan kami dengan wajah ceria. Itu jelas masuk akal, karena masakan yang ia masak akan mendapat kredit sempurna dari empat mulut yang kelaparan.

Di dapur, Ibu tidak sendirian. Ziya sedang membuat enchilada gara-gara teman sebangkunya seorang gadis keturunan Meksiko. Sejak kemarin, Ziya tak berhenti membicarakan gadis itu yang sangat menggemari Mastercheff. Tentu saja gadis Meksiko itu telah menyumbang dampak positif lebih banyak di awal kehidupan barunya. Meskipun dari caranya memasak, aku merasa tidak yakin.

"Kamu mau makan itu sendirian?" aku mendengar Ibu berkata demikian saat aku memindahkan gorengan yang sudah ditiriskan ke wadahnya yang baru.

"Ya," jawab Ziya sambil memasukkan potongan ayam dan jamur ke dalam tortilla, lalu menggulungnya dengan amat hati-hati. Tentu saja, ia tidak lepas tangan. Dia mencontoh langsung dari YouTube melalui ponsel.

"Itu banyak sekali. Kak Lala dan temennya mungkin mau nyobain." Ibu menolehku. Sementara aku, tanpa gagasan menaikkan alis membalas ibu.

Ziya menggeleng. "Aku enggak mau ngeracunin mereka."

"Paling nggak, sisain buat gue karena gue udah lihat," kataku, sedikit menekan tanpa berusaha menyembunyikan kenyataan bahwa aku hanya berpura-pura menginginkannya.

Ibu menolehku lagi dan tersenyum. Tapi Ziya melengos.

"Jangan protes tapi," katanya kemudian.

"Ya. Janji," kataku.

"Kalau protes, apalagi ngetawain gue, entar muka lo bakal ditumbuhi jerawat segede jamur kancing."

Mataku menyipit menatapnya.

"Tapi kalau gue enggak ngetawain lo ... atau protes, tapi besoknya gue jerawatan, lo tetep harus tanggung jawab. Masakin gue lagi enchilada sampai jerawat gue sembuh sebagai kompensasi."

Ibu tersenyum sambil geleng-geleng.

"Ogah. Jerawat lo ya urusan lo sendiri. Kenapa harus gue yang repot. Lagian," Ziya menolehku, pandangannya membuat aku merasa tak yakin bahwa itu adalah adikku yang kemarin dulu masih minta dibelikan jepitan rambut. "... enchilada enggak bikin jerawatan. Lo makan enggak makan juga bakalan tetep jerawatan. Jangan nyalahin makanan untuk segala hal buruk yang menimpa lo."

"Terserah lo deh. Yang penting jatah gue jangan lupa," kataku. Aku dan ibu berpandangan putus asa.

Sebelum pergi, aku melihat Ziya mengambil mangkuk dan mengisinya dengan makanan yang baru pertama kali kulihat secara langsung itu. Lalu menyimpannya untukku.

Saat kembali ke meja makan, Kris mengambil dua potong tempe goreng tepung yang kubawa dan memindahkan ke piringnya. Selanjutnya, kami makan tanpa banyak bicara. Erik seperti biasa membantuku mencuci piring setelah kami selesai makan. Dia bahkan berlama-lama di tempat cuci karena Ibu dan Ziya belum membersihkan semua alat masak yang baru saja mereka pakai.

Seperti saat kami makan, baik aku maupun Erik tidak banyak bicara. Bahkan nyaris mulutku terkunci rapat sepanjang tanganku melap piring bersih yang menjadi bagianku seperti kemarin. Kata-kata yang kudengar dari mulutnya hanyalah kalimat pendek seperti, "Mungkin nggak sih nyokap lo pengin ikut Mastercheff?" Jawabanku hanya berupa gumaman pendek. Dia lalu menimpali pertanyaannya sendiri dengan jawaban yang layak. "Ya kalau minat mungkin sekarang lagi di karantina kali, ya."

Itu kata-kata terakhir yang aku dengar sampai kemudian, saat pekerjaan kami selesai dan aku hendak kembali ke depan, Erik menahanku. Dia meraih tanganku yang sesegera mungkin kulepaskan.

Dia menatapku serius. Jarak kami kurang dari tiga puluh senti.

"Lo keberatan?" tanyanya. Kata-katanya penuh tekanan di antara permohonan yang tidak ia tutup-tutupi.

Aku membalas tatapannya tanpa ragu. "Soal?"

"Ini."

"Ini?"

Aku tertawa. Lalu kutonjok bahunya sedikit agak keras. "Jangan konyol. Gue bukan jenis orang seperti itu."

Senyuman Erik terbit. Tapi itu tidak cukup memuaskan. Bahkan, aku mulai merasa bersalah dibuatnya.

"Sip. Gue lega dengernya. Tapi, dari tadi lo diem terus. Gue ajak ngomong cuma iya-iya doang. Apa ya itu nggak bikin gue kepikiran?"

Aku tertawa lagi. Agak keras. "Duh, sensian amat, Mas?"

Erik mengangkat bahu.

Pada detik itu, kurasa pandangannya semakin lama membuat jengah. Kuhela napas untuk mengenyahkan rasa grogi.

"Sejujurnya gue tadi banyakan diem karena yang lain juga pada diem. Bukannya lo juga?" kataku defensif. Tanganku gatal ingin menonjoknya lagi. Tapi sebisa mungkin kutahan.

"Kalau pas di meja makan sih gue ngerti. Pasti karena Kris lagi capek-capeknya. Tapi sesudahnya ...."

Tatapanku membuat Erik berhenti. Dia menelan ludah, lebih tepatnya menelan kembali kata-kata yang sudah setengah jalan ia muntahkan.

"Sebenernya bakalan lebih masuk akal kalau lo nanya langsung ke intinya," kataku. Suaraku agak bergetar. "... karena kalau tiba-tiba lo gini juga malah bikin gue bingung."

Erik menelan ludah kedua kali. Dia lalu mengangguk.

"Gue udah tanya langsung kan tadi."

"Dan udah gue jawab."

Pandangan kami kali ini berlangsung agak lebih lama. Erik seperti hendak menghindar. Atau entah apa, menyudahi percakapan seolah-olah bahwa kesalahpahaman ini tidak pernah terjadi.

Sayangnya, aku tidak semudah itu. Jadi aku tak mau berhenti. Malah aku yang kini mengejarnya. Jelas tak bisa kubiarkan selagi aku memiliki segudang kesempatan. Tak peduli di sudut benakku muncul tawa sinis yang menertawakan jika aku hanya seorang jago kandang. Peduli setan!

"Oke biar gue perjelas," cetusku seraya menjaga tatapan seriusku. "Mungkin ya, pas di lapangan tadi gue nolak lo mau main ke sini. Tapi begitu semuanya sepakat, gue juga enggak bisa sekolot itu nolak kalian. Well, seperti kata nyokap gue. Rumah ini terbuka buat kalian. Kapan aja mau datang silakan. Even gue nolak lo, sejak kemarin ortu gue udah nerima kalian semua sebagai tamu, jadi ... gue bukan satu-satunya orang yang bisa mempersilakan lo semua buat datang ke sini. Bahkan kami nggak ada alasan buat nolak lo. Seenggaknya belum. Gue rasa, sih."

"Panjang ya," ujar Erik seraya tersenyum. Nada bicaranya kembali seperti biasa. Mungkin karena ia memahami betapa seriusnya aku, sehingga ia mencari cara bersikap aman. Hanya saja, ia keliru lagi jika aku menganggap ini sebagai hal "biasa-biasa" saja.

"Ya. Dan itu yang sekarang bikin gue sensi." Aku mengalihkan pandanganku ke lain tempat.

"Sorry." Aku mengagumi nada sesalnya.

"Ya." Kataku. Aku berharap ini berakhir di sini.

"Lo beneran marah?" Erik mendapatkan lagi tatapanku.

Sejujurnya, aku tidak cukup mengerti itu "jenis kesalahpahaman macam apa". Atau, "reaksi marah" yang bagaimana ketika rasa jengkel menguap dari dasar perutku.

Tetapi, saat kemudian kusimak lagi nada penyesalan dari dalam suaranya, aku menyadari betapa konyolnya kesalahpahaman itu sekaligus betapa naifnya diriku karena kami bahkan belum saling bicara selama aku bicara dengan Joshua dan Kristina. Lebih singkat, aku baru melihat lapisan luarnya. Yang kukagumi dan membuatku merasa iri. Lebih pantas, walaupun seharusnya bukan aku saja yang berkaca diri, kubiarkan saja dia berperilaku semaunya selagi itu tak melampaui tepi batas. Toh, itu akan memberi tahuku bagaimana cara berhadapan dengannya.

"Tadi ya gue marah. Tapi sekarang udah nggak."

"Maaf." Erik berusaha kembali mendapatkan tatapanku.

Aku menarik napas. Aku tak bisa berbohong. Tak mau berbohong. "Apa gue sampai perlu bilang ntar jangan diulangi lagi?"

Erik mengangguk.

"Perlu. Sumpah itu bakal bikin gue semakin lega," ujarnya, memohon.

"Kalau gitu jangan pernah ulangi lagi." Aku menghela napas. Kata-kata itu tidak membuatku merasa lega. Tapi aku tak bisa berbohong. "Dan ingat saja apa yang sudah gue bilang ... gue bukan satu-satunya orang yang punya hak nerima elo atau siapa pun kalau mau main ke sini. Bebas. Lo ada nyokap atau bokap yang bisa diajak ngobrol kalau mau ke sini. Nggak harus selalu gue."

Erik mengangguk. Lagi.

"La ... sungguh, sori."

"Iya. Gue udah maafin lo."

Kami diam sejenak. Erik membuang muka.

"Tapi lo harus denger penjelasan gue, La. Sungguh La, yang kayak gini udah sering banget. Maksud gue ..." Erik menggantung kata-katanya agak lama. Jelas tidak bermaksud membuatku tertarik atau apa. Tetapi, aku mengerti jika posisi ini pasti menyulitkannya.

"... sejak nyokap gue nggak ada, gue ngerasa tiap kali ada orang yang ngabulin permintaan gue tuh ... malah bikin gue jadi negative thinking. Mengira kalau mereka ngelakuinnya dengan terpaksa. Atau lebih parahnya lagi ... mereka hanya mengasihani gue lantaran gue anak yatim. Gue bukannya sok mandiri atau gimana, La. Tetapi, diperlakukan kayak gitu tuh nggak enak banget."

Erik menelan ludah. Tatapanku, kurasa itu sedikit membuatnya merasa terhakimi. Tapi aku tidak bermaksud begitu. Walaupun jujur, aku menikmati sensasi berpikir demikian.

"... saat nyokap pergi, gue minta sama Tuhan buat mulangin nyokap. Tiap hari gue nggak pernah berhenti minta. Tapi biar gue udah berdoa lebih banyak daripada yang seharusnya, Tuhan tetep aja nggak mau ngebalikin nyokap. Gue marah. Jadinya gue juga kesel kalau gue harus meminta-minta sama orang. Walaupun gue juga nggak berhenti untuk minta-minta."

"Gue ngerti, Rik."

"Maaf, La."

Aku mengangguk. Mencoba tersenyum. Lalu kubiarkan ia meraih tanganku dan menyalaminya. Walaupun pada akhirnya, permintaan maafnya yang kesekian kali malah membuatku seolah-olah akulah yang telah bersalah padanya. Sehingga aku harus bertanggung jawab memberikannya ampun.

Dulu aku pernah mendengar ayahku berkata agar aku menjauhi laki-laki yang lebih sering meminta maaf ketimbang memberikan tindakan nyata. Sekarang ini, saat akhirnya aku berhadapan dengan kemungkinan itu, aku berusaha mencari tahu seperti apa bentuk tindakan nyata tersebut. Dan melihat Erik, kurasa ia bukan jenis laki-laki yang dimaksud Ayah. []

avataravatar
Next chapter